Judul:
Little Stories
Pengarang:
Adeste Adipriyanti, Faye
Yolody, Rieke Saraswati, Rinrin Indrianie, Vera Mensana
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: 2014
Tebal:
264 halaman
“Aku tak boleh lupa, ketika aku
bersedia menjadi istri Gelar, artinya aku juga menikahi mama mertua beserta
brongkosnya.”
Kumpulan
cerpen ini terdiri dari 4 tema yang penulisnya “menyumbang” satu cerpen di
setiap tema. Tema-tema tersebut adalah: kuliner, prompter, demonstrasi dan tema
bebas.
Tema Kuliner : (Gohu Buat Ina, Bakcang
Terakhir, Brongkos Mertua, Sup Suzie, Semangkuk Bakso Tahu)
Overall semua cerpennya menarik tapi saya
kurang suka dengan cerita Bakcang Terakhir *ide ceritanya ya, bukan gaya
penulisannya*, ada juga yang terlalu misterius (Sup Suzie). Dan cerpen favorit
saya di tema ini adalah cerpen yang berjudul Semangkuk Bakso Tahu yang menguras
emosi dan “Brongkos Mertua”.
Tema Prompter: (Pisau, Lemparkan Saja
Ke Sungai, Melankolia, Sang Ilalang, Serunya Membunuh Orang Gila)
Tema
prompter adalah tema yang kalimat awalan dari cerpennya telah ditentukan. Dan ada
2 kalimat awalan di tema ini. Keduanya amat sangat menarik. Dan cerpen favorit
saya adalah cerpen terakhir; “Serunya Membunuh Orang Gila” yang ditulis oleh
Faye Yolody.
Tema Demonstrasi: (Teror di Kaki Bukit,
Menunggu Ayah, Surat yang Tak Pernah Selesai, Aparat, Firasat Sang Ayah)
Di
tema ini cerpen yang berjudul “Aparat”-lah yang paling saya suka. Cerpen ini
membawa pembacanya melihat peristiwa demonstrasi dari sudut pandang para
aparat. Dan cerpen lain yang menurut saya unik adalah “Teror di Kaki Bukit”
yang menceritakan demonstrasi dalam bentuk yang amat berbeda.
Tema Bebas: (Nama Untuk Raka, Berdua
Saja, Pasien, Lorong, 12 Juli)
Dari
keempat tema, tema inilah yang paling saya sukai. Cerpen-cerpennya semuanya
punya ide cerita menarik. Dua paling favorit adalah “Nama Untuk Raka” dan “12
Juli”.
“Orang miskin seperti kami seharusnya
memang tidak perlu sakit.”
Saya
sangat kagum dengan kelima penulis yang berkontibusi di dalam kumpulan cerpen
ini. Saya tidak tahu pasti apakah buku ini merupakan karya pertama mereka, tapi
jika memang iya bagi saya pribadi tulisan mereka menjanjikan sebagai karya debut.
Semua
cerpennya ditulis dengan sangat baik, kalimat-kalimatnya enak dibaca dan yang
penting adalah tulisan mereka masing-masing punya karakter tersendiri. Yang
paling mudah dikenali adalah tulisan mbak Rieke Saraswati. Walaupun
cerpen-cerpennya yang absurd itu bukan selera saya. Tapi justru karena cerpen-cerpen
absurdnya, mbak Rieke telah berhasil menonjolkan karakter tulisannya.
Cover-nya oke, dominasi warna hijaunya bikin
adem. Typo-nya juga tidak terlalu banyak yang
saya temukan. Cuma sedikit heran dengan label “Metropop” yang diberikan untuk
kumcer ini. Menurut saya sik, kurang cocok. Karena cerpen-cerpennya jauh sekali
dari kesan metropop *yah walaupun ada beberapa yang cukup cocok dengan label
itu*, apalagi kalau dibandingkan dengan kumcer metropop yang pernah saya baca:
Autumn Once More.
MEMORABLE QUOTES:
- “Tujuh ribu pun terkadang mahal saat kau tak bisa membelinya.” – Hal. 74
- “Lha wong tempat tinggal orang yang masih hidup saja bisa digusur, apalagi yang sudah mati?” – Hal. 151
- “Semua yang menyangkut kehidupan manusia bukanlah urusan kecil.” – Hal. 193
- “Ternyata menjadi manusia, gila ataupun tidak, selalu dibatasi segala sesuatu.” – Hal. 207
RATING 4/5
Wah, saya malah belum selesai baca buku ini.
BalasHapusCovernya emang bagus ya.. :)