Rabu, 30 Januari 2013

[Book Review] The Time Keeper by Mitch Albom








Judul Buku  : The Time Keeper (Sang Penjaga Waktu)
Pengarang  : Mitch Albom
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit  : 2012
Tebal : 312 Halaman


“Ada sebabnya Tuhan membatasi hari-hari kita.”
“Mengapa?”
“Supaya setiap hari itu berharga.”

Ini merupakan kedua kalinya saya membaca karya Mitch Albom setelah For One More Day. Dan FYI, saya sudah menghentikan kebiasaan saya untuk melihat review dari teman-teman goodreads dulu sebelum membaca buku, karena kebiasaan itu hanya akan membuat saya berekspektasi macam-macam. Jadi, saya sama sekali tidak tahu cerita apa yang diangkat Mitch Albom di karyanya yang satu ini. Ternyata, keputusan saya untuk tidak mencari tahu tentang buku ini membuahkan hasil yang mengejutkan. Saya sangat suka dengan tema yang diangkat di buku ini, pun begitu dengan gaya penulisan Mitch Albom yang selalu berhasil “mencerahkan” pembacanya (termasuk saya).

Buku ini bercerita tentang 3 orang manusia. 1 diantaranya hidup di masa lampau ketika penghitungan waktu belum ditemukan. Dan 2 yang lain hidup di masa sekarang.

Adalah seorang pria yang bernama Dor yang hidup di masa ketika orang-orang di zaman itu belum menghitung waktu begitu juga dengan bahasa dan angka, sama sekali belum ditemukan. Sejak kecil Dor sudah berbeda dengan anak-anak kecil lainnya. Dor tertarik untuk menghitung apapun dan memberi nama hitungannya, selain itu dia juga tertarik untuk menemukan waktu. Hampir seluruh hidupnya dipenuhi dengan hitungan-hitungan dan percobaan-percobaan. Sampai suatu hari orang yang sangat dicintainya meninggalkannya. Dor diberi anugerah (atau mungkin hukuman) untuk hidup lebih lama sampai beribu-ribu tahun dengan terkurung di sebuah gua, dan setiap saat harus mendengarkan keluhan dari orang-orang yang ingin diberi waktu lebih lama atau ingin waktu cepat berlalu.

2 manusia lainnya bernama Sarah Lemon dan Victor Delamonte. Sarah Lemon adalah seorang remaja yang baru merasakan cinta. Sayangnya Sarah tidak populer di sekolahnya bahkan dianggap seorang kutu buku yang aneh. Sampai kemudian Sarah nekat melakukan hal di luar akal sehat karena kecewa dengan hidupnya yang tidak sempurna. Berbeda dengan Sarah, Victor Delamonte adalah pria kaya berumur pertengahan delapan puluh. Victor menderita penyakit yang menyebabkan hidupnya tidak akan lama lagi. Victor sama sekali tidak siap dengan kenyataan itu. Dia masih belum rela meninggalkan kekayaannya yang berlimpah juga istrinya, Grace. Muncullah ide gila yang terlintas di kepala Victor agar bisa hidup abadi. 

Nah, keputusan nekat Sarah dan ide gila Victor itulah yang kemudian “membebaskan” Dor dari gua itu. Dor diberi tugas untuk menemukan dua orang itu dengan alasan yang tidak diketahuinya, karena alasan tugas itu harus dicari sendiri oleh Dor. Dalam menjalankan tugasnya Dor diberi sebuah jam pasir yang bisa melambatkan waktu.

Saya bingung apa sebenarnya genre buku ini, drama, fantasi, atau sci-fi. Karena buku ini mengandung elemen-elemen dari genre yang saya sebutkan tadi. Mitch Albom memang sangat pandai mengangkat tema yang sederhana dan membuatnya menarik. Bahkan isu kiamat pun sempat muncul sedikit di buku ini.
Awalnya saya kurang suka dengan gaya penulisannya yang sangat berbeda dengan For One More Day, tapi setelah terbiasa, hal itu sama sekali tidak mengganggu kenikmatan membaca buku ini.

Sekali lagi Mitch Albom berhasil mengajari saya (tanpa perlu menggurui) lewat karyanya ini. Buku ini akan mengajarkan pembacanya untuk lebih menghargai waktu, bahkan lebih dari itu, menghargai hidup dan segala sesuatu yang telah diberikan Tuhan untuk kita.


MEMORABLE QUOTES


  • “Dulu dia membanggakan dirinya karena telah menghitung waktu dengan air sebagai sarana. Tetapi apa pun yang diciptakan manusia, Tuhan sudah lebih dulu menciptakannya.” – Hal. 100


  • “Ingat ini selalu: Ada alasannya mengapa Tuhan membatasi hari-hari manusia.” – Hal. 117


  • “Dor bertanya-tanya, bagaimana bisa dianggap adil kalau kematianmu sangat bergantung pada zaman kau dilahirkan.” – Hal. 178


  • “Kita semua mendambakan apa yang telah hilang dari kita, tetapi kadang-kadang kita melupakan apa yang kita miliki.” – Hal. 190


  • “Jalan buntu adalah untuk hari kemarin, bukan hari-hari esok.” – Hal. 275



RATING 5/5

Selasa, 15 Januari 2013

[Movie Review] The Hobbit : An Unexpected Journey






"I can't just go running off into the blue! I am a Baggins, of Bag End!" – Bilbo Baggins –

Film ini merupakan salah satu film yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang terutama penggemar trilogi The Lord Of The Rings. Dan ini juga merupakan prekuel dari trilogi fenomenal itu.

Bercerita tentang Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang merupakan paman dari tokoh utama di The Lord Of The Rings, Frodo Baggins ketika Bilbo masih muda. Suatu malam, Bilbo Baggins kedatangan rombongan tamu tak diundang. Tamu-tamu yang terdiri dari 13 kurcaci dan Gandalf The Grey (Ian McKellen) ini bermaksud mengajak Bilbo untuk pergi berpetualang merebut harta milik leluhur para kurcaci itu pada zaman dahulu dari seekor naga jahat, Smaug.

Yup, ceritanya memang tidak serumit The Lord Of The Rings. Dalam versi bukunya pun The Hobbit merupakan cikal bakal dari trilogi The Lord Of The Rings dan sudah lebih dulu terbit dari trilogi itu. Awalnya saya agak skeptis dengan keputusan untuk membagi buku The Hobbit menjadi tiga film. Tapi itu sama sekali tidak mengurangi antusiasme saya karena saya sepenuhnya percaya pada kehebatan Peter Jackson yang memang sudah lama mengenal dunia J. R. R. Tolkien. Apalagi dengan jajaran cast yang tidak diragukan lagi contohnya Andy Serkis yang fenomenal lewat perannya sebagai Gollum.

Film ini bagaikan reuni bagi penggemar The Lord Of The Rings karena bisa “bertemu” kembali dengan Gandalf The Grey, Gollum, Elrond, Galadriel, bahkan Saruman.

Martin Freeman, yang sudah lebih dulu saya kenal lewat perannya sebagai Dr. Watson dalam serial BBC, Sherlock, sangat cocok memerankan tokoh Bilbo Baggins yang canggung. Sayangnya saya belum bisa menyaksikan mendengar “akting” suara sang Holmes, Benedict Cumberbatch sebagai Smaug, mengingat ini baru seri pertama Smaug belum akan muncul.

Untuk urusan scoring musik, saya setuju dengan keputusan untuk kembali memakai Howard Shore. Dan saya suka soundtrack yang berjudul Misty Mountains ketika dinyanyikan para dwarf.
Film ini cukup memuaskan ekspektasi saya tapi kalau ditanya “lebih suka seri pertama The Hobbit (The Hobbit : An Unexpected Journey) atau seri pertama The Lord Of The Rings (The Fellowship Of The Ring)”, saya tetap lebih suka The Fellowship Of The Ring. Jadi, saya rasa rating 4/5 cukup.






"Saruman believes it is only great power that can hold evil in check, but that is not what I have found. I found it is the small everyday deeds of ordinary folk that keep the darkness at bay... small acts of kindness and love. Why Bilbo Baggins? That's because I am afraid and it gives me courage." – Gandalf –



RATING 4/5
 

Minggu, 13 Januari 2013

[Book Review] For One More Day by Mitch Albom








Buku  : For One More Day (Satu Hari Bersamamu)
Pengarang  : Mitch Albom
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit  : 2012
Tebal : 248 Halaman


ABOUT

Ini kisah sebuah keluarga dan, karena ada keterlibatan sesosok hantu, kau bisa menyebutnya cerita hantu. Tapi semua keluarga adalah sebuah cerita hantu. Mereka yang telah meninggal, tinggal duduk di meja kita lama setelah mereka pergi.


Charles “Chick” Benetto ketika masih kecil ditanya oleh Ayahnya untuk menjadi “anak mama” atau “anak papa” dan Chick memilih untuk menjadi “anak papa”. Mengikuti gaya berjalan ayahnya, bahkan menyukai baseball, olahraga yang disukai Ayahnya.

Tapi tiba-tiba Ayahnya pergi. Keluarganya berantakan. Ibu Chick bersusah payah untuk menghidupi Chick dan adiknya seorang diri tanpa sosok suami. Belum lagi cap sebagai janda masih tabu di lingkungan tempat tinggal mereka. Sampai-sampai Ibu Chick kehilangan pekerjaan karena status itu.

Bertahun-tahun berlalu, hidup Chick berantakan. Karirnya hancur, berpisah dengan istrinya, bahkan dijauhi oleh anak perempuannya sejak Ibu Chick meninggal. Saking depresinya, Chick memutuskan untuk bunuh diri, tapi gagal. Insiden tersebut malah membawanya ke rumah lamanya. Di rumah lamanya ini, Chick bertemu lagi dengan ibunya yang sudah meninggal yang menyambutnya seakan tidak pernah terjadi apa-apa.


THE REVIEW
Lagi-lagi saya jatuh cinta dengan buku bertema Ibu, apalagi setelah membaca Please Look After Mom yang berhasil memikat hati saya.

Ini merupakan buku karya Mitch Albom pertama yang saya baca, dan saya merasa puas dengan buku ini. Cara penuturan sang penulisnya, kalau kata ababil jaman sekarang, bikin nyesek. Ya, sang penulis bisa membuat pembacanya merasakan hal-hal yang dialami tokoh di buku ini. Apalagi ketika menceritakan bagian penderitaan yang dialami Ibu Chick karena status jandanya.

Selain itu, buku ini juga banyak memberikan kenyataan yang mengejutkan. Tentang rahasia masa lalu Ayah Chick, juga tentang pengorbanan Ibu Chick untuk kebahagiaan dan masa depan Chick, yang baru diketahuinya ketika dia mendapat kesempatan lagi bertemu dengan ibunya yang telah meninggal.

Saya cukup puas karena awal tahun ini sudah membaca satu buku yang berkesan untuk saya.


MEMORABLE QUOTES

  • “Sudah lama sekali semenjak terakhir kali ada orang yang mau berada sedekat itu denganku, memperlihatkan kelembutan yang cukup untuk menggulung lengan baju. Dia peduli. Dia memerhatikanku. Ketika aku bahkan sudah kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri untuk tetap bertahan hidup.” – Hal. 65

  • “Sekarang kau tahu ada orang yang sangat menginginkanmu, Charley. Anak-anak terkadang melupakan itu. Mereka melihat diri sendiri sebagai beban dan bukan sebagai jawaban doa.” – Hal. 92

  • “Sejujurnya, ada bagian diriku yang tidak ingin ini berakhir. Ketika seorang tercinta yang telah pergi muncul kembali di hadapanmu, otakmu yang berperang melawannya, bukan hatimu.” – Hal. 98

  • “Hitunglah jam-jam yang seharusnya bisa kauhabiskan bersama ibumu. Rentangnya sepanjang masa hidup itu sendiri.” – Hal. 184

  • “Tetap tinggal bersama keluargamu adalah apa yang menjadikannya keluarga.” – Hal. 228

  • “Karena ada keterlibatan hantu di sini, kau bisa menyebut ini cerita hantu. Tapi keluarga mana yang bukan sebuah cerita hantu? Berbagi kisah tentang mereka yang telah pergi adalah cara kita menjaga supaya tidak benar-benar kehilangan mereka.”  – Hal. 245



RATING 4/5

Rabu, 02 Januari 2013

[Book Review] Camar Biru by Nilam Suri








Judul Buku  : Camar Biru
Pengarang  : Nilam Suri
Penerbit  : GagasMedia
Tahun Terbit  : 2012
Tebal : 279 Halaman


ABOUT
Nina, berprofesi sebagai ilustrator. Tidak suka dandan. Punya seorang sahabat setia bernama Adith.

Adith, seorang dosen. Penggila hal-hal yang berbau jepang. Selalu rela untuk membantu setiap kesulitan sahabatnya, Nina.

Sepuluh tahun lalu, dibawah pengaruh alkohol, Adith dan Nina membuat janji jika sepuluh tahun yang akan datang mereka belum menikah, mereka sepakat untuk menikah.

Tapi akhirnya mereka sadar, keputusan untuk menikah tidak semudah itu. Dan dengan memutuskan menikah, mereka terpaksa kembali mengingat memori kelam masa lalu. Tragedi yang sudah merusak sisi-sisi persahabatan bujur sangkar mereka. Persahabatan yang terdiri dari Nina, Adith, Naren– kakak Nina, dan Sinar– kakak Adith.

Belum lagi mereka harus berurusan kembali dengan kedua orangtua Nina yang memilih untuk mencampakkan anaknya sendiri karena tragedi naas itu.


THE REVIEW
Sudah lama sekali saya tidak membaca novel percintaan seperti ini. Karena menurut saya novel asli Indonesia yang mengangkat tema percintaan itu kebanyakan klise. Tapi, untuk buku ini, dua jempol deh. Keren abis. Terakhir saya baca buku bertema serupa yang juga keren adalah Antologi Rasa karya Ika Natassa. 

So, kalo kamu suka buku percintaan yang keren, nggak cengeng, apalagi lebay, kamu kudu wajib harus baca buku ini. Apalagi dengan petikan lirik-lirik lagu yang nyambung dengan ceritanya di setiap bab, menambah kekerenan buku ini.

Kalimat-kalimat di buku ini sederhana, tapi terkadang punya makna mendalam. Jujur saya lebih suka yang seperti ini daripada kalimat-kalimat yang berbunga-bunga, (sok) filosofis, bahkan lebay tapi isinya kosong, nol.

Sayangnya buku ini mudah ditebak. Saya bisa dengan mudah menebak rahasia kelam Nina yang tak mau dia ceritakan pada orang lain karena sang penulis tidak sengaja (ataupun sengaja), menebar banyak sekali “clue” tentang rahasia itu.

Walaupun sang penulis berusaha membantu pembacanya dengan membuat style huruf yang berbeda setiap berganti POV, saya masih merasa kurang suka dengan multiple POV yang dipakai. 

Akhirnya, tanpa banyak bacot lagi lebih baik saya akhiri saja review ini. Pokoknya dibalik kekurangan buku ini, buku ini tetap layak untuk dibaca. Sangat layak malah.


MEMORABLE QUOTES

  • “Bahwa hati bisa saja berhenti berfungsi, tetapi tetap nyeri. Jantung bisa saja terasa meledak, tetapi ternyata tetap berdetak.” – Hal. 65

  • “Sengaco apa pun elo, tetap aja buat gue lo sempurna.” – Hal. 134

  • “Gue membisikkan permintaan, lalu asap akan membawanya bersama udara, ke angkasa, dan akhirnya, gue harap, permintaan gue itu akan mencapai tempat yang tepat. Lalu, dikabulkan. Makanya gue butuh asap, karena asap membubung sampai ke langit.” – Hal. 155

  • “Ternyata, selamanya itu emang terlalu lama.” – Hal. 234

  • “It's sad, don't you think? Since each of us only have one time to live.” – Hal.  245

  • “Kamu terlalu sibuk dengan penderitaanmu sehingga kamu nggak menyadari bahwa dengan menutupinya kamu bikin orang-orang di sekeliling kamu ikut menderita bersamamu. Kamu membuat kami merasa nggak berdaya, nggak berguna.” – Hal. 249



RATING 4/5