Minggu, 20 September 2015

[Book Review] Critical Eleven by Ika Natassa








Judul: Critical Eleven
Pengarang: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: September 2015 (Cetakan keempat)
Tebal: 344 Halaman 

Travel is a remarkable thing, right? Di pesawat, di bus, di kereta api, berjalan kaki, it somehow brings you to a whole other dimension more than just the physical destination. Di negara yang kita kurang paham bahasanya, travel is learning to communicate with just a smile. It’s where broken English is welcomed with a smile instead of being greeted by a grammar Nazi.”

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

“We were lucky to have each other once, I know, but maybe finally our luck has run out after all.”

Jika beberapa bulan ke belakang dunia perbukuan Indonesia “dijajah” oleh novel terbaru Ilana Tan, In a Blue Moon, belakangan ini ada satu judul novel yang best seller di toko buku-toko buku di Indonesia termasuk yang online. Novel ini berjudul Critical Eleven. Novel yang berasal dari sebuah cerpen berjudul sama yang terdapat di kumpulan cerpen metropop, Autumn Once More.

Tidak berlebihan kalau buku ini diklaim terjual 1.111 copy dalam 11 menit lewat pre-order bulan juli lalu. Sampai sekarang pun masih banyak yang nyari buku ini. Versi yang saya pegang ini saja sudah cetakan keempat, hanya dalam beberapa bulan saja. Luar biasa!

Sebelum membahas lebih jauh bukunya, saya patut memuji orang-orang di balik meledaknya Critical Eleven, terutama penulisnya sendiri. Menurut saya, di balik larisnya sebuah buku, selain faktor bukunya yang bagus, strategi pemasaran dan promosinya juga sangat berperan. Salut deh buat penulis dan penerbitnya yang berhasil memanfaatkan jejaring sosial untuk mempromosikan buku ini sehingga menjadi hits.

Lalu, apa istimewanya Critical Eleven yang membuatnya begitu spesial? Buat saya sendiri ada tiga hal yang membuat saya jatuh cinta pada buku ini.

Pertama, ide besar yang diangkat. Nggak banyak novel bertema pernikahan yang bikin saya betah bacanya, tapi ide besar dari buku ini (yang tidak akan saya kasih tahu apa :p) berhasil bikin saya langsung pengin tahu lebih banyak dengan apa yang terjadi pada Anya dan Ale. Terima kasih kepada Kak Ika Natassa, yang cuma nge-tweet review pembaca yang nggak spoiler di aku twitter-nya. Seriously, kalo kamu punya rencana untuk baca buku ini, hindari baca review orang (yang spoiler) deh. Kayaknya ada yang kurang gitu kalo kamu udah tahu duluan tentang apa Critical Eleven sebenarnya.

Kedua, saya jatuh cinta dengan cara Kak Ika menceritakan kisahnya. Dengan nggak fokus ke satu alur, menyebar informasi-informasi di sepanjang chapters dalam buku ini. Kak Ika Natassa membiarkan pembacanya sendiri merangkai kisah hidup Anya-Ale lewat kepingan-kepingan puzzle yang ditebar. Saya tahu kalau teknik penulisan yang digunakan Kak Ika dalam Critical Eleven ini tidak mudah. Terutama dalam hal memilih kepingan puzzle mana yang cocok dan nyambung untuk ditempatkan di salah satu chapter. Eh iya, di poin ini juga termasuk bagaimana Kak Ika membuat pembaca bisa relate ke dua karakter utamanya, bahkan walaupun mereka sendiri mungkin belum mengalami apa yang dialami oleh mereka. Pembaca dibuat seolah-olah udah kayak kenal secara pribadi dengan Anya dan Ale.

Terakhir, endingnya. Saya suka dengan pemilihan endingnya. Yang lebih penting adalah nggak ada kesan terburu-buru dalam menyelesaikan konfliknya. Semuanya ditulis dengan bertahap, mengalir, smooth.

Seperti yang dibilang orang-orang, Critical Eleven adalah karya terbaik dari Kak Ika Natassa. Saya setuju, walau belum baca semua karyanya. Lewat Critical Eleven saya sudah memutuskan untuk meng-upgrade posisi saya dari yang cuma pengagum, sekarang resmi menjadi penggemar Kak Ika.

MEMORABLE QUOTES:

  • “Mungkin karena itu aku suka bandara. Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya tujuan dan memang punya tujuan. Bahkan tujuan itu tercantum jelas di secarik kertas. Boarding pass.” –Hal. 6
  • “Toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela.” – Hal. 13
  • “Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” – Hal. 31
  • “To women, how you deliver the message is sometimes more important than the message itself.” – Hal. 187
  • “Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita.” – Hal. 252
  • “Jika ada satu hal yang aku ketahui pasti dari sekian belas tahun hidupku sejak pertama kali mengenal cinta, hati tidak pernah mau disuruh-suruh. Hati punya aturan dan caranya sendiri.” – Hal. 308
  • “Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harusnya kuat hidup untuk dia.” – Hal. 324  





Selasa, 08 September 2015

[Book Review] Kambing & Hujan by Mahfud Ikhwan






Judul: Kambing & Hujan
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 380 Halaman

“Bukankah berusaha mendapatkan istri hebat dan cantik yang kita cintai, yang kita yakini bisa menemani kita dunia akhirat, adalah ibadah? Dulu aku berpendapat begitu. Dan sekarang, setelah puluhan tahun hidup bersama budemu, aku tetap menganggapnya demikian.”

Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia berjumpa kali pertama di bus. Lalu saling jatuh cinta. Usut punya usut, Mif dan Fauzia berasal dari desa yang sama, Centong. Tapi dengan fakta tersebut tak lantas membuat rencana mereka untuk menata masa depan bersama berjalan dengan mulus.

Pada tahun 60-an di Centong muncul gerakan pembaruan. Gerakan ini beranggapan kalau ada beberapa hal tentang Islam yang dipahami dan dianut di desa tersebut selama ini kurang tepat. Karenanya gerakan yang diikuti oleh pemuda-pemuda ini bersemangat untuk membangun masjid mereka sendiri agar bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang mereka yakini sekaligus menghindari perselisihan berkepanjangan akibat berbeda paham. Jadilah di Centong terdapat dua masjid yang disebut Masjid Selatan dan Masjid Utara.

Sialnya, kedua orangtua Mif dan Fauzia sama-sama merupakan tokoh yang disegani di masing-masing masjid. Mustahil untuk mereka melewati tembok tinggi tak kasat mata yang telah terbangun sejak lama itu.

Tapi kemudian mereka mengetahui satu hal, tembok tinggi itu bukan masalah utara-selatan yang selama ini mereka yakini, tapi berhubungan dengan rahasia-rahasia masa lalu orangtua mereka. Akar masalahnya justru berawal dari sebuah hubungan baik yang merenggang akibat keadaan.

“Tahu apa kamu tentang kegagalan?”
“Saya cuma tak ingin mengalaminya.”
“Dan, aku, bapakmu, adalah orang yang paling tidak ingin kamu mengalaminya.”

Ketertarikan saya pada buku ini semata-mata karena buku ini merupakan naskah pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2014. Label tersbeut buat saya menjadi jaminan kalau bukunya akan bagus. Saya pikir karena buku ini merupakan pemenang sayembara menulis tersebut, isinya bakal njelimet dan penuh metafora seperti naskah pemenang di tahun 2012, “Semusim, dan Semusim Lagi”, ternyata sama sekali tidak. Malah gaya tutur penulisnya ringan, mudah dicerna, tidak bertele-tele dan apa adanya. Cuma memang tema yang diangkat yang cukup berat; Islam dengan aliran berbeda.

Alurnya acak tapi tidak membuat pusing. Sudut pandang yang digunakan bercampur antara orang ketiga dan orang pertama, tapi mengalir begitu saja tanpa menimbulkan kesan aneh. Gaya narasi ketika sudut pandang pertama, menggunakan “aku” dari dua karakter berbeda, walaupun gaya narasi tersebut senada, tapi masing-masing “aku” mudah dibedakan.

Hal lain yang saya kagumi adalah buku ini diceritakan apa adanya tanpa terlihat pro aliran ini atau itu. Kadang ada beberapa buku yang mengangkat tema pelik lain yang malah isinya judgy dan pro di satu pihak. Dan hal tersebut tidak ditemukan di buku ini, tidak ada kesan memojokkan satu pihak.

Bagian yang saya suka dari buku ini adalah bagian surat-surat Is dan Moek yang menggunakan ejaan lama dan bahasa mendayu-dayu. Saya juga suka bagian ketika Is dan Moek bertemu lagi yang dituliskan hanya lewat percakapan, tanpa narasi. 

Mengutip buku ini “Tidak ada yang salah menjadi berbeda”. Ya, memang tidak ada yang salah dari perbedaan. Berbeda tidak lantas membuat salah satu menjadi salah. Yang paling penting adalah menghargainya. Bukan menghakiminya.


“Anak memang sering tak mau melibatkan ibunya dalam masalahnya. Mungkin karena si anak tak ingin ibunya ikut susah. Mungkin juga karena si anak tak yakin ibunya bisa membantu. Tapi, Mif, Anakku, seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya.”

“Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda.”
  

RATING: 5/5

[Book Review] Girls in the Dark by Akiyoshi Rikako






Judul: Girls in the Dark
Pengarang: Akiyoshi Rikako
Penerbit: Penerbit Haru
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 279 Halaman

“Sampai sekarang pun saya sering bermimpi. Tentang Itsumi yang telungkup dengan tubuh bersimbah darah....”

Klub Sastra di SMA Katolik Putri Santa Maria adalah klub elit yang diketuai oleh Shiraishi Itsumi. Seluruh siswi SMA tersebut ingin dapat menjadi salah satu anggota Klub Sastra yang perekrutan anggotanya ditunjuk langsung oleh Itsumi. 

Suatu hari Itsumi ditemukan meninggal secara misterius dengan penyebab yang tidak diketahui. Untuk mengenang sang ketua klub, wakil ketua Sumikami Sayuri mengadakan pertemuan yang memang rutin diadakan setiap tahun.

Dalam pertemuan itu, para anggota klub ditugaskan untuk membacakan satu per satu cerita pendek yang mereka tulis terkait dengan kejadian naas yang menimpa Itsumi.

Yang menarik adalah keenam anggota klub mencurigai satu sama lain yang menjadi pembunuh Itsumi karena masing-masing punya motif tersendiri. Dan berdasarkan satu clue: setangkai bunga Lily of the Valley yang digenggam Itsumi ketika meninggal.

“Kalau kesialan seseorang itu adalah madu yang manis, rahasia seseorang itu adalah rempah-rempah berkualitas tinggi. Rahasia akan menjadikan kehidupan orang yang mengetahuinya menjadi harum dan memberikan rasa yang penuh akan cita rasa.”

Buku yang mendadak hits lagi karena terbitnya karya terbaru si penulis (The Dead Returns) ini ditulis dengan gaya narasi yang sedikit banyak mengingatkan saya akan film thriller Jepang favorit saya: Confession. Karakter-karakternya punya andil untuk bercerita melalui sudut pandang mereka di masing-masing chapter berbeda.

Saya suka banget dengan style bercerita ala cerpen yang digunakan oleh penulis. Juga bagaimana cara penulis menggunakan bunga Lily of the Valley sebagai benang merah cerita yang diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing karakter.

Tapi...

Saya nggak bisa nggak komplain dengan endingnya. Mungkin karena tidak sesuai dengan harapan saya makanya agak sedikit kecewa, walaupun ada twist mengejutkan sih, twist-nya berlapis lagi. Tapi tetap, rasanya ada yang kurang. Saya Lebih suka endingnya dibuat berdarah-darah, bukan dengan kegilaan lain. 

Walau kecewa dengan endingnya, waktu tidur saya yang berkurang akibat maksa nyelesaiin buku ini cukup terbayar. Bukunya emang jenis buku yang akan membuat terjaga sepanjang malam saking kepingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Jadi senapsaran dengan The Dead Returns!

“Manusia bukan hidup karena adanya jiwa. Manusia hidup karena dia menarik napas, mengalirkan oksigen di sekujur tubuh, mengeluarkan hormon, mengalirkan darah, melakukan reaksi kimia di salam tubuh. Lewat pembedahan, aku sadar bahwa hidup hanyalah sebuah proses fisika.”


RATING: 4/5