Rabu, 31 Juli 2013

[Book Review] Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya by Dewi Kharisma Michellia






Judul: Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Pengarang: Dewi Kharisma Michellia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013
ISBN13: 9789792296402
Harga: Rp 45.000

Tulisan di bawah ini tidak bisa dibilang sebagai sebuah review buku yang baik dan benar dan mungkin akan mengakibatkan rasa kantuk berkepanjangan. Selamat membaca! xD

Suatu hari, akun goodreads saya mendapat satu request pertemanan. Setelah meng-approve permintaannya, saya yang notabene punya sifat sedikit kepo, mulai melihat-lihat profil orang tersebut. Dan, saya dibuat sedikit terkejut karena orang tersebut merupakan seorang penulis yang bukunya baru saya selesaikan.

Karena ingin memastikan kebenaran *ampuni kekepoan saya xD* saya kemudian mengirimkan pesan ke akun tersebut untuk menanyakan kebenaran dari dugaan saya.

Lalu kemudian sang pemilik akun itu membalas pesan saya, dia membenarkan kalau dia adalah mbak Dewi Kharisma Michellia yang menulis novel unik “Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya”!!! Langsung saja saya balas kalau saya mengagumi karyanya yang telah berhasil mengombang-ambingkan perasaan saya itu.

Kalian penasaran kenapa saya bisa begitu menyukai buku itu? Inilah cerita saya.

Kita mulai dari mana dulu? Ceritanya? Oke, buku ini sebenarnya merupakan sekumpulan surat-surat yang ditulis oleh karakter “aku” untuk seorang laki-laki temannya sejak ia kecil. Laki-laki ini sering juga disebut sebagai “tuan alien” oleh sang penulis surat.


“Bila kau memang alien, seharusnya kau bisa menemaniku berkelana mengelilingi dunia. Kita dapat menemukan takdir-takdir yang orang lain enggan jelajahi.”

Awal mula “aku” menulis surat-surat tersebut ketika dia menerima kiriman undangan plus kebaya yang dikirimkan laki-laki sahabat masa kecilnya itu. Laki-laki itu meminta "aku" untuk menghadiri pernikahannya. Nah, sejak saat itu, jadilah surat-surat selanjutnya menyusul ditulis oleh “aku” di buku jurnalnya.

Awalnya, surat-surat itu hanya berisi kenangan masa kecil mereka berdua, pertemuan pertama mereka, awal mula pertemanan dan hal-hal kecil yang masih diingat oleh “aku”.

Tapi semakin lama dan banyak surat yang ditulis, surat-surat itu semakin membahas hal-hal pribadi “aku” seperti, hubungan dengan keluarga besarnya, pendidikannya, dunia kerjanya, dunia pergaulannya sampai kehidupan asmara.

“Di negeri ini, kemakmuran yang benar-benar merata hanyalah utopia yang diagung-agungkan dalam sila kelima Pancasila.”

Lalu apa yang membuat buku ini spesial? Di bawah ini telah saya buatkan list-nya(list ini saya beri nama “List (yang tidak begitu) Panjang tentang ‘Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya’”):

  •    Tidak bisa dipungkiri, label “Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012” menjadi salah satu faktor utama saya membeli buku ini. Kenapa begitu? Karena sebelumnya saya juga pernah membaca Semusim, dan Semusim Lagi yang merupakan “Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012”, dan buku itu juga menjadi salah satu favorit saya.

  •    Judulnya yang unik. Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, memang bukan judul yang biasa. Menurut saya judulnya yang panjang malah menjadi daya tarik buku ini.

  •    Saya orang yang melihat buku dari covernya. Dan cover buku ini jelas-jelas menunjukkan sisi misterius dengan dominasi warna hitam dan terdapat siluet seorang wanita di bawah pepohonan, juga siluet samar seorang laki-laki yang terlihat di kejauhan.

  •    Walaupun isi buku ini berbentuk kumpulan surat, saya sama sekali tidak pernah dibuat bosan ketika membacanya. Malah saya semakin tidak sabar untuk mengetahui pengalaman apa lagi yang akan diceritakan oleh “aku”.

  •    Diksinya. Ya! Pilihan kata di buku ini (menurut saya) sangat pas. Tidak terlalu “nyastra” tapi juga tidak terlalu “kekinian”. Saya sebagai orang awam di dunia perbukuan, susah sebenarnya untuk menjelaskan bagian ini :D lebih baik kalian baca sendiri, dan buktikan kata-kata saya. Intinya, kalimat-kalimat yang dirangkai enak dibaca dan mudah dipahami.

  •    Karakter yang loveable. Selain karakter “aku”, karakter lain yang menjadi favorit saya adalah tuan pemilik toko buku. Entahlah, terkadang saya merasa iri dengan ”aku” yang punya sahabat baik seperti tuan pemilik toko buku.

  •     Endingnya. Kalian pernah nonton film korea Love Phobia? Nah, saya pikir ending buku ini akan se-nyentrik ending film itu, tetapi ternyata tidak. Saya suka sekali dengan ending buku ini yang kalimatnya menggantung tetapi tidak membuat pembacanya bertanya-tanya atau bahkan sampai susah tidur *yes, bagian terakhir memang curcol pengalaman pribadi*.  Buku ini berhasil membuat saya puas ketika menyelesaikan lembar terakhirnya.

Masih belum cukup tertarik dengan list yang saya tulis di atas? Ada satu lagi yang membuat saya kagum. Dan itu adalah, usia mbak Dewi Kharisma yang masih 21 tahun(tanggal 13 Agustus nanti akan berusia 22 tahun <-- lagi-lagi hasil kekepoan saya xD). Wow! Ketika mengetahui saya sendiri cukup kaget. Karena gaya tulisan buku ini sangat “dewasa” sekali. Apalagi tokoh utama buku ini berumur 30-an (hampir 40). Bagi saya, itu keren. Hehehe.

Oh iya, dari semua surat yang terdapat di buku ini, yang menjadi favorit saya adalah surat ke-6 yang sukses membuat mata berkaca-kaca ketika bagian Mothers of the Disappeared, surat ke-14 yang manis, surat ke-24 yang mengaduk-aduk emosi dan ke-36 sekaligus merupakan surat terakhir.
Dan akhirnya, saya pikir buku ini pantas mendapatkan 5 bintang dari saya ;))


MEMORABLE QUOTES:

  • Kita selalu haus akan revolusi. Walaupun hanya sedikit dari kita yang sepenuhnya memahami apa hakikat berbangsa.” – Hal. 69
  •  “Ia bilang, orang yang sedang kasmaran perlu banyak makan mi. Sebagaimana mi dalam perayaan ulang tahun dipercayai sebagai perlambangan usia yang panjang, mi dalam kisah asmara juga akan menjalinkan takdir baik antara sejoli.” – Hal. 128
  • “Orang Jepang saja langsung memilih harakiri selayaknya laku hidup samurai bila mereka melakukan kesalahan yang merugikan orang lain. Sementara itu, orang Indonesia? Boro-boro melakukan itu, tahu dirinya koruptor saja, mereka masih bisa mengumpet di gudang rumahnya, dengan sebelumnya bikin konferensi pers dan pembelaan.” – Hal. 163
  • “Bukankah selalu ada bagian di dalam diri setiap orang yang menginginkan kematian, tetapi pada waktu yang sama juga tak menghendakinya?” – Hal. 179
  • “Tidakkah hidup itu aneh? Ada manusia yang berhak mengetahui hal-hal yang manusia lain tak tahu. Ada manusia yang seumur hidupnya bahagia; atau seumur hidupnya sengsara. Ada manusia yang dari lahir hingga mati seolah-olah tidak punya kesadaran untuk mencari tahu mengapa dia mesti tumbuh besar di muka bumi.” – Hal. 198
  • “Karena kehidupan yang penuh dan lengkap adalah soal hidup dan mati itu sendiri. Dan kalau ada sesuatu yang abadi kupikir itu adalah ilusi.” – Hal. 236


RATING 5/5
p.s.: Sumpah, rating yang saya berikan bukan dipengaruhi oleh satu dan lain hal, apalagi diancam oleh mbak Dewi :D tapi ini murni karena bukunya sendiri. Saya sudah  memberikan penilaian yang objektif.

p.p.s.: buat Mbak Dewi, saya tunggu karya-karyamu selanjutnya!

p.p.p.s.: bagi yang ingin membaca kumpulan cerpen karya mbak Dewi, bisa dibaca atau diuduh secara gratis di http://bit.ly/kompilasi3kehilangan.


Review ini diikutkan dalam Kontes Resensi/Review Novel #SPTJKYJTC  informasi selanjutnya bisa dilihat di sini

[Review Borongan] Setiap Tempat Punya Cerita (GagasMedia)


note: review saya tentang Paris(STPC #1) bisa dilihat di sini






Judul: Roma: Con Amore(Setiap Tempat Punya Cerita #2)
Pengarang: Robin Wijaya
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 384 halaman

“Aku hanya perlu satu. Keberadaanmu. Di sisiku...”

Leonardo Halim, pelukis asal Indonesia yang juga sukses di luar negeri dan karya-karyanya banyak diminati oleh penikmat seni di berbagai belahan dunia. Punya pacar yang setia dan mendukung profesinya, bernama Marla.
Felice Patricia, tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di salah satu perusahaan di Italia, juga sudah punya kekasih bernama Franco.
 
Suatu hari sebuah kesalahan dalam pengiriman lukisan karya Leo ke pembeli, membuatnya bertemu Felice di Roma, Italia. Waktu itu, Felice yang keras kepala dan tidak mau mengaku salah sempat membuat Leo sedikit kesal.
Ketika kemudian mereka bertemu kembali di Bali, pertemuan-pertemuan itu membuat mereka menyadari ada yang berubah di hati mereka masing-masing.

“Setiap orang punya ruang dan tempat tersendiri. Mereka yang pergi dan datang tak akan pernah bisa saling menggantikan”



Sebenarnya saya sudah sedikit lupa dengan jalan cerita buku ini :D bahkan quotes-nya saja saya comot langsung dari goodreads.

Mari kita mulai dengan hal yang saya suka di buku ini. Saya suka covernya, sketsa-sketsa yang ada di dalamnya juga kartu pos yang memang menjadi bonus di setiap seri Setiap Tempat Punya Cerita dari GagasMedia.

Hal yang saya tidak suka, menurut saya cerita di buku ini terlalu bertele-tele dan tidak meninggalkan kesan sama sekali. Boleh saja kalau penulisnya mendeskripsikan sesuatu dengan detail, tapi di buku ini deskripsinya terlalu detail sehingga membuat saya bosan ._.

Terakhir, saya memang bukan penggemar kalimat manis nan melankolis, dan kalimat-kalimat yang terdapat di bawah judul setiap chapter sukses membuat saya ilfeel.


RATING 2.5/5





Judul: Bangkok: The Journal(Setiap Tempat Punya Cerita #3)
Pengarang: Moemoe Rizal
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 436 halaman


“Tidak semua orang punya kesempatan untuk bertemu orangtua setiap hari. Tapi, ada saja orang yang dengan sengaja melepaskan kesempatan itu untuk ego pribadi."

Edvan, seorang arsitek sukses tiba-tiba mendapatkan sms singkat dari seseorang ketika dia sedang merayakan keberhasilannya membangun sebuah gedung di Singapura. Orang yang mengirim sms tersebut adalah adiknya, Edvin.

Sudah lama Edvan tidak bertemu dengan Ibu dan adiknya, sampai kemudian sms yang diterimanya itu mengabarkan kalau sang Ibu sudah meninggal dunia.

Walaupun masih menyimpan benci dengan keluarganya, Edvan akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia untuk menghadiri pemakaman ibunya.

Singkat cerita, ketika Edvan bertemu kembali dengan Edvin, sang Ibu sudah menitipkan sebuah warisan untuk Edvan. Uniknya, warisan itu berupa kalender tua yang ditulisi jurnal oleh ibunya. Jurnal-jurnal itu berisi tentang pengalaman ibu mereka di Bangkok juga tentang pertemuan ibu mereka dengan cinta sejatinya. 
Edvan ditugaskan untuk mencari 6 jurnal lain yang tersebar di Bangkok, Thailand. Petunjuk tempat menemukan jurnal-jurnal itu terdapat pada tulisan di jurnal setelahnya.

Tentu saja Edvan awalnya menolak tugas konyol itu, tapi ada hal lain yang mendorongnya untuk mencari jurnal-jurnal itu di Bangkok.


“I’m not Cinderella. Hik!” | “But I know where she is.”
“Not in Disneyland!”

Salah satu yang membuat saya tertarik dengan buku ini adalah karena kota yang dipilih oleh bang Moemoe Rizal untuk seri STPC-nya ini adalah kota di Asia, bukan kota-kota eksotis di Eropa.

Dari awal tokoh Edvin muncul, saya sudah memutuskan untuk menyukai buku ini :), apalagi dengan gaya penceritaan bang Moemoe yang kocak dan mengalir, membuat saya makin tidak bisa melepaskan buku ini sebelum menyelesaikannya.

Cerita di buku ini secara garis besar tentang keluarga, walaupun dibumbui dengan sedikit unsur romance.
Oh iya, saya merasa sedikit terkejut dengan kemunculan tokoh dari Fly to the Sky sebagai cameo. Juga cara bang Moemoe “mempromosikan” karya-karyanya yang lain dengan menjadikan judul karya tersebut sebagai judul bab-bab di buku ini.

Yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah jurnal-jurnal yang ditemukan Edvan itu berisi kode harta karun? *intonasi feni rose* *mata melotot Leily Sagita*.


“Buatku, waria seperti anakku yang sering menghormati aku, jauh lebih baik dibanding laki-laki jantan yang berdosa terhadap ibunya sendiri.”



RATING 4/5




Judul: Melbourne: Rewind(Setiap Tempat Punya Cerita #4)
Pengarang: Winna Efendi
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 340 halaman


“Isn't that what love is? Being scared, then being brave, because of that one person?”

Max dan Laura, mantan sepasang kekasih, bertemu kembali di Melbourne setelah bertahun-tahun tak bertemu.

Sekarang Max sudah mewujudkan impiannya berkerja di bidang cahaya, salah satu hal yang digilainya. Sedangkan Laura bekerja di sebuah stasiun radio di Melbourne.

Pertemuan itu kembali mendekatkan mereka, bahkan secara alami kebiasaan mereka “nongkrong” di Prudence seperti ketika mereka masih bersama, dianggap sebagai hal biasa.

Namun ternyata, tanpa Max duga, Laura kemudian menyukai seorang laki-laki yang dianggapnya sebagai belahan jiwa karena merek mempunyai banyak kesamaan akan hal-hal yang mereka sukai.
Kelanjutan ceritanya? Baca sendiri di Melbourne ;)


“Gue percaya definisi first love adalah rasa pertama, saat lo melihat jauh ke dalam mata seseorang, dan memutuskan bahwa masa depan dan kebahagiaan lo ada bersamanya.”

Buku ini merupakan seri STPC yang paling galau, sekaligus paling saya favoritkan (sebelum baca Melbourne saya sempat memfavoritkan Bangkok. Iya, saya tahu saya labil ._.)

Yang paling saya suka dari buku ini adalah sudut pandangnya diambil dari dua karakter, Max dan Laura. Hal itu membuat saya jadi mengerti bagaimana perasaan masing-masing karakter dan hanyut oleh pergolakan batin mereka.

Penyebab pisahnya hubungan Max dan Laura baru diceritakan ketika sudah memasuki pertengahan buku, dan saya dibuat penasaran oleh bagian itu. Ternyata alasannya cukup simple :D

Dan yang paling penting adalah endingnya. Saya suka kalimat satu paragraf sebelum paragraf terakhir di bagian endingnya.

Melbourne sangat direkomendasikan untuk kalian penggemar cerita-cerita manis dengan karakter yang juga manis xD

"If there's anything I learn from this old life of mine, it is that love is not to be feared, but to be embraced, I hope you conside this as advice from a friend, not a fortune teller."


RATING 4/5


Dan, tujuan selanjutnya seri STPC adalah: (*trak trak trak dung cess..*) LONDON!!! Yang ditulis oleh Windry  Ramadhina!!! 


 
penampakan cover London

Kamis, 25 Juli 2013

[Book Review] Macaroon Love by Winda Krisnadefa






Judul: Macaroon Love
Pengarang: Winda Krisnadefa
Penerbit: Penerbit Qanita
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 264 halaman

Oke, saya harus mengaku kalau sebelum membaca buku ini, saya mengira kalau macaroon itu adalah makanan sejenis macaroni (karena namanya yang mirip). Dan ternyata, saya salah BESAR. Macaroon itu merupakan jenis kue dari Perancis yang bentuknya mirip seperti burger mini.

penampakan macaroon, gambar diambil di sini


Kembali ke bukunya, buku ini bercerita tentang seorang food writer yang bernama Magali. Salah satu keunikan yang dimiliki Magali adalah: dia membenci namanya sendiri :D yah memang saya pernah mendengar kalau “nama merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering ditemui.”, contohnya saya yang (sampai sekarang) masih mengidamkan punya nama yang terdiri dari dua kata. Tak sedikit orang yang benci dengan namanya sendiri seperti Magali.

Suatu hari, Magali bertemu dengan Ammar, pemilik restoran (yang anehnya) bernama Suguhan Magali.  Karena restoran ini memiliki menu-menu yang unik, Magali langsung mengajukan diri untuk meliput restoran Suguhan Magali.

Hal itulah kemudian yang menjadi titik balik kehidupan Magali mulai dari mempunyai rubrik sendiri di majalah tempat dia bekerja sampai kemudian dia merasakan sesuatu yang disebut cinta.

(lagi) penampakan kue macaroon (source)

Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca buku ini adalah embel-embel “Naskah Unggulan dalam Lomba Penulisan Qanita Romance” yang terdapat di kavernya. Dan ternyata pilihan saya tidak keliru. Buku ini punya cerita yang sangat ringan dan mudah dicerna. Pantas sekali menjadi naskah unggulan.
Selain itu, penggambaran karakter tokohnya sangat kuat. Hal inilah yang kemudian membuat saya jadi menyukai tokoh Magali, walaupun saya agak sedikit ilfeel ketika tahu kalau Magali suka makan kentang goreng yang dicolek sundae -____- sangat aneh menurut saya. *membaca bagian itu, malah membuat saya teringat nenek saya dulu yang hobi makan kerupuk dicelup kopi*.

Selain Magali, tokoh yang juga saya sukai adalah Beau. Sepupu Magali yang (katanya) cakep dan berkarakter tak kalah unik dari Magali.

Sayangnya, saya kurang suka dengan judulnya. Karena, macaroon hanya dibahas sedikit sekali di buku ini, jadi rasanya kurang cocok menjadikan macaroon sebagai judulnya. Atau penggunaan macaroon karena memang kue imut yang satu ini memang lagi trend kali ya? Bisa juga agar judulnya mudah diingat *sotoy*. Kalau itu tujuannya, saya rasa cukup berhasil walaupun bagi saya masih kurang cocok.

Tapi walaupun saya masih dibuat geregetan dengan judulnya, buku ini masih berhasil menghibur saya.

RATING 3.5/5

p.s.: fakta yang cukup mengejutkan  adalah, ternyata restoran Suguhan Magali benar-benar ada, tepatnya di Jakarta Selatan.
  Suguhan Magali di dunia nyata. (source)
p.p.s.: tidak dianjurkan untuk membaca buku ini ketika berpuasa xD

Postingan ini diikutkan di "Lomba Review Macaroon Love Bersama Smartfren dan Mizan". Info selanjutnya bisa dilihat di sini