Senin, 29 Desember 2014

[Book Review] Friends Don't Kiss by Syafrina Siregar






Judul: Friends Don’t Kiss
Pengarang: Syafrina Siregar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 208 halaman

“Apa istimewanya seorang ibu yang menyusui anaknya? Bagaimana Mia bisa menangkap yang katanya ‘ekspresi cinta’ itu? Setiap Mia menyebutkan kata menyusui, yang muncul di kepala Ryan hanya bayangan sepasang payudara perempuan. Yah, kalau melihat keindahan seperti itu, Ryan bisa memastikan dirinya akan memandang dengan ‘ekspresi cinta’ juga. Hasrat dan gairah, malah.”

Mia Ramsy, bergabung dengan Indonesian Breastfeeding Mothers dengan tujuan mulia untuk mensosialisasikan pentingnya ASI eksklusif bagi bayi dan menurutnya setiap bayi punya hak untuk mendapatkan apa yang terbaik untuk mereka, salah satunya adalah dengan memberikan ASI eksklusif. Mia mencintai kegiatannya di organisasi itu sampai adiknya, Lia yang akan melahirkan sudah dijejali Mia berbagai macam hal mengenai ASI. Tapi posisi Mia sebagai konselor ASI untuk Lia malah membuat hubungan kedua kakak beradik itu renggang. 

Selain dihadapkan dengan masalahnya dan Lia, pikirannya juga dipenuhi oleh pria yang ditemuinya secara tidak sengaja setelah dengan cerobohnya Mia menabrak mobil pria tersebut. Pria itu bernama Ryan. Ryan yang misterius dan tukang maksa. Ryan yang selalu perhatian dan selalu mau mendengarkan keluh kesah Mia.

Yang tidak diketahui Mia adalah kenyataan bahwa Ryan merupakan pewaris tunggal Subagyo Group. Dan salah satu perusahaan milik Subagyo Group adalah Prima Gold, perusahaan susu formula untuk bayi yang amat sangat dibenci oleh Mia.

Bagaimana reaksi Mia mengetahui siapa Ryan sebenarnya? Akankah kisah cinta Mia berakhir bahagia? Untuk mengetahuinya, siakan baca sendiri dalam Friends Don’t Kiss.

“In case you forgot, Mia, friends don’t kiss.”

Sejujurnya, awal mula saya tertarik membaca buku ini karena kontes review yang diadakan bang Ijul @fiksimetropop bekerjasama dengan penerbitnya dan sang penulis sendiri @SyafrinaSiregar. Kesan yang saya tangkap ketika membaca blurb buku ini adalah Friends Don’t Kiss tidak hanya mengisahkan tentang kisah cinta di kota metropolitan tapi juga ada hal penting yang ingin disampaikan oleh penulisnya. yaitu Mengenai ASI eksklusif.

Tentu saja seperti novel percintaan lainnya, buku ini didukung elemen penting yang harus ada di dalam novel bergenre romance seperti; meet cute kedua tokoh utamanya, tokoh Ryan yang digambarkan dengan hampir sempurna untuk memancing hasrat delusional pembaca perempuannya dan elemen-elemen lain.

Sayang sekali alasan kenapa Mia memperjuangkan hak bayi mendapatkan ASI eksklusif kurang kuat mengingat di sini Mia digambarkan selalu bersemangat jika membicarakan hal-hal mengenai ASI. Terlalu bersemangat malah kalau menurut saya, apalagi Mia merupakan seorang wanita single, akan lebih baik kalau diberikan alasan yang lebih kuat lagi.

Hebatnya walaupun buku ini hampir lebih dari separuhnya berisi informasi mengenai ASI, saya tidak merasa kebosanan ketika tokoh-tokohnya mulai “berduskusi” tentang ASI. Mungkin karena pemilihan kalimatnya sederhana dan mudah dipahami sehingga saya betah-betah saja membacanya, tidak saya skip.

Berbicara mengenai endingnya, cukup memuaskan buat saya tapi kurang “nendang”. Saya mengharapkan ending yang lebih dramatis lagi :D saya akan lebih suka kalau untuk menuju ending itu memerlukan lebih banyak perjuangan lagi ;)

Akhirnya, di balik kekurangannya, novel ini tetap menghibur untuk dibaca mengisi waktu senggang kalian. Walaupun isi dan pembahasannya “cewek banget”, tidak ada salahnya kita kaum laki-laki untuk membaca buku ini, lumayan menambah sedikit informasi agar mindset (yang kurang tepat) tentang ASI selama ini diluruskan terutama masalah mitos-mitos tentang ASI. 

Friends Don’t Kiss sangat direkomendasikan untuk seorang ibu, calon ibu yang sedang menanti kelahiran buah hatinya, atau untuk calon ibu yang masih menanti calon ayah untuk calon anak mereka kelak ;))

“ASI itu lebih bersifat mind game, Lia. Kalau lo percaya ASI lo kurang, nanti bakal kurang sungguhan. Makanya lo harus yakin ASI lo cukup. Pokoknya ASI lo cukup.”

“Gue tahu gue lajang yang belum laku. Tapi sepanjang yang gue tahu, kalau gue diberi kesempatan sama Tuhan untuk punya anak apa pun bakal gue lakukan, sekalipun harus pontang-panting demi memberikan yang terbaik. Apalagi untuk memberikan nutrisi yang terbaik di enam bulan pertama kehidupannya. Gue ikhlas meski harus bergadang.”


RATING 3/5

http://www.fiksimetropop.com/2014/12/fun-games-lomba-menulis-resensi-novel_18.html

Kamis, 25 Desember 2014

[Book Review] Telepon Pertama dari Surga by Mitch Albom







Judul: Telepon Pertama dari Surga (The First Phone Call from Heaven)
Pengarang: Mitch Albom
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 424 halaman
Available at: Bukupedia

“Berita-berita kehidupan biasanya disampaikan melalui telepon. Kelahiran bayi, pertunangan sepasang kekasih, kecelakaan tragis di jalan tol pada larut malam—sebagian besar penanda perjalanan hidup manusia, bagus atau buruk, didahului oleh bunyi deringan.”

Di sebuah kota bernama Coldwater, keajaiban terjadi. Beberapa orang yang tinggal di Coldwater tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang mereka kenal dan telah meninggal—yang mengaku kalau mereka menelepon dari surga.

Katherine Yellin, yang mendapat telepon dari almarhum kakak perempuannya, Diane, memutuskan untuk tidak diam saja dan akan membagi ceritanya pada semua orang. Bisa ditebak, ketika Katherine mengumumkan tentang mukjizat yang diterimanya di depan Pendeta Warren dan orang-orang lain yang hadir di gereja,  Coldwater tak lagi sama seperti sebelumnya.

Kota kecil itu menjadi sorotan media. Apalagi orang-orang yang menerima telepon itu satu per satu mengakui mukjizat yang mereka terima. Mulai dari anggota keluarga mereka yang menelepon, bahkan mitra kerja.

Di saat Coldwater menjadi semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang yang penasaran dan semakin menjadi perhatian dunia, Sully Harding malah sama sekali tidak memercayai telepon dari surga itu. Sully yang hidupnya hancur karena sebuah insiden besar di suatu malam, kemudian memutuskan untuk menyelidiki secara rahasia kebenaran di balik telepon-telepon itu. Sully ingin membuktikan kalau mukjizat itu hanya omong kosong belaka.

Bagaimana hasil penyelidikan Sully? Bagaimana kisahnya akan berakhir? Temukan sendiri jawabannya di buku ini ;)

“Kata-kata yang tak diucapkan orang-orang lebih lantang bunyinya daripada yang diucapkan.”

Harus diakui, sebagai penggemar tulisan Mitch Albom, buku ini sudah sangat lama saya tunggu-tunggu. Dan beruntungnya buku ini saya dapatkan secara gratis sebagai hadiah #ResensiPilihan dari sang penerbit *malah pamer* x)).

Seperti biasanya, Mitch Albom berhasil memerangkap pikiran saya untuk terus membaca kisah yang dituturkannya, susah untuk berhenti ketika saya mulai membaca buku ini. Kisah yang dituliskan kali ini tak kalah indah dari kisah-kisah yang lain.

Dan seperti karya sebelumnya, buku ini kembali berbicara tentang faith; kepercayaan/keyakinan. Namun cukup berbeda dari karyanya lain yang pernah saya baca, buku ini berhasil membuat saya deg-degan di pertengahan cerita. Ada unsur misterinya sedikit. Beberapa bagian cukup membuat saya tercengang, saya tak menyangka ada kejutan-kejutan yang ditebar di lembar-lembarnya.

Walaupun kisah di buku ini bergulir tidak seperti apa yang sebelumnya saya ekspektasikan (awalnya saya mengira kisah buku ini akan mirip seperti For One More Day), saya tetap merasa puas dan tak menyesal membaca buku ini.

Saya suka dengan cerita selingan sejarah tentang Alexander Graham Bell yang berhubungan dengan apa yang terjadi pada karakternya. Juga dengan “kejutan manis” di bagian akhir yang berhasil membuat saya tersentuh dan terharu (seperti biasanya(lagi)).

Untuk komentar unsur fisiknya, saya suka kaver versi terjemahan ini yang lebih enak dilihat dari kaver aslinya yang sangat simple. Terjemahannya bagus walaupun ada beberapa kata/kalimat yang kurang pas dan kurang enak dibaca. Typo-nya sedikit yang saya temukan, yang saya ingat ada kesalahan penulisan pada nama karakter dan nama kota, sisanya lupa x)

Dan pada akhirnya Mitch Albom kembali menyerahkan kembali kepada pembacanya, percayakah kalian pada surga? Benarkah mukjizat benar-benar nyata? Dan itu salah satu faktor saya mengagumi tulisan-tulisannya, Mitch Albom bercerita tentang kepercayaan, keyakinan tanpa terkesan sok tahu tentang itu.


Memorable Quotes:
  • “Kau harus memulai lagi. Begitulah kata orang. Tapi hidup tidak seperti permainan papan, dan kehilangan seseorang yang kita cintai tak pernah benar-benar ‘memulai lagi’. Lebih seperti ‘melanjutkan tanpa’.” – Hal. 22
  • “Kata orang, iman lebih baik daripada kepercayan, sebab kepercayaan adalah ketika orang lainlah yang berpikir.” – Hal. 54
  • “Sewaktu kecil dulu, kita diajari bahwa kita mungkin pergi ke surga. Kita tak pernah diajari bahwa surga mungkin mendatangi kita.” – Hal. 63
  • “Rasa takut adalah cara kita kehilangan hidup kita... sedikit demi sedikit... apa yang kita berikan pada rasa takut, kita mengambilnya dari... iman.” – Hal. 156
  • “Kadang-kadang cinta menyatukan kita, bahkan apabila hidup memisahkan kita.” – Hal. 196
  • “Ada dua cerita untuk setiap kehidupan; kehidupan yang kaujalani, dan kehidupan yang diceritakan orang lain.” – Hal. 218
  • “Ada waktu untuk menyapa dan ada waktu untuk mengucapkan selamat berpisah. Itu sebabnya tindakan pemakaman terkesan wajar, sementara tindakan menggali pemakaman tidak.” – Hal. 232
  • “Keinginan menentukan kompas kita, tapi kehidupan nyata mengemudikan jalannya.” – Hal. 390
  • “Itulah yang terjadi ketika orang-orang terlalu cepat meninggalkan kita, bukan? Kita selalu mempunyai begitu banyak pertanyaan.” – Hal. 408

RATING 5/5