Kamis, 28 Juli 2016

[Book Review] Kesetiaan Mr. X: Perangkap Sempurna Sang Genius Matematika




Judul: Kesetiaan Mr. X (YĆ“gisha X No Kenshin)
Pengarang: Keigo Higashino
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Juli 2016
Tebal: 320 halaman

“Mana yang paling sulit: menciptakan soal yang sulit atau memecahkannya?”

Yasuko adalah seorang wanita sederhana yang bekerja di kedai bento. Suatu hari, kedatangan mantan suaminya yang memaksa untuk rujuk kembali berujung ke sebuah peristiwa mengenaskan. Dibantu putrinya Misato, Yasuko tak sengaja membunuh mantan suaminya itu lantaran nyawa mereka sendiri yang terancam akibat membuat mantan suaminya yang bengis itu murka. Yasuko yang kalut bermaksud untuk menyerahkan diri ke polisi, namun dia ragu karena takut putrinya akan ikut terlibat.

Sampai tetangga sebelah apartemennya, Ishigami menawarkan bantuan untuk melenyapkan mayat mantan suaminya itu sekaligus menyembunyikan kejadian itu. Ishigami adalah seorang genius matematika yang mengajar di sebuah SMA. Selama ini dia menyimpan rasa suka pada Yasuko, dengan melibatkan diri pada peristiwa itu dia bertujuan untuk melindungi Yasuko dan putrinya. 

Lalu, mayat itu kemudian ditemukan, kecurigaan Detektif Kusanagi mengarah kepada Yasuko, tapi alibi yang dimiliki Yasuko tak bisa dibantah, benar-benar sempurna. Dia kemudian berkonsultasi pada seorang profesor fisika yang juga sahabatnya, Yukawa.

Rupanya Ishigami adalah teman Yukawa ketika kuliah dulu. Dia amat mengagumi kegeniusan otak Ishigami. Setelah sempat hilang kontak mereka kembali dipertemukan karena kasus tersebut. Ishigami yang tetap kukuh pada pendiriannya untuk melindungi Yasuko berusaha mengakali dan memperdaya Yukawa. Maka dimulailah kucing-kucingan antara si genius matematika, dan genius fisika. Bagaimana akhir ceritanya? Berhasilkah Yukawa dan Detektif Kusanagi memecahkan kasus itu? Atau malah mereka terjebak dalam rencana sempurna Ishigawa?

“Memang berat menyembunyikan kebenaran. Ia tak akan memperoleh kebahagiaan sejati jika terus menyembunyikan kebenaran. Ia tak akan bisa hidup tenang karena terus dihantui perasaan bersalah seumur hidupnya. Namun mungkin itu yang harus dijalaninya untuk menebus dosa.”

Yang mampu membuat saya lemah tak berdaya ketika mengunjungi toko buku adalah cover menawan dan sinopsis menarik. Dan buku yang punya judul Bahasa Inggris “The Devotion of Suspect X” ini masuk ke kategori tersebut. Cover dengan warna dasar merah ngejreng yang langsung mencolok, dihiasi dengan gambar Daruma serta selain judul versi Indonesianya juga ada judul asli (Jepang)-nya. Ditambah sinopsis yang mengingatkan saya pada film Bollywood berjudul Drishyam, yang inti ceritanya sama-sama tentang usaha menutupi kasus pembunuhan dengan alibi sempurna.

Saya tidak kenal dengan Keigo Higashino dan sama sekali belum pernah membaca karya beliau. Buku ini pun rupanya adalah buku ketiga dari seri Detective Galileo. Meski ini buku ketiga, saya yang belum baca satu pun seri Detective Galileo tidak merasa seperti sedang membaca buku berseri. Sepertinya memang dibuat stand alone, mungkin yang sama hanya beberapa tokoh di dalamnya. Yang menjadi kendala justru nama-nama tokohnya, mirip-mirip sih, makanya kadang suka lupa identitas si tokoh tertentu.

Dugaan saya sebelumnya juga benar bahwa buku ini bercerita tentang kucing-kucingan melawan pihak berwenang dalam menutupi sebuah kasus pembunuhan. Tapi nyatanya, twist pada menjelang akhir buku mampu mengejutkan saya. Saya mengira kalau inti dari buku ini hanya soal berhasil atau tidaknya usaha Ishigawa, rupanya lebih dari itu.

Rasanya baru kali ini saya membaca buku yang membuat saya mendukung “penjahat”-nya. Dari awal saya sudah dibuat bersimpati dengan Yasuko, malah dengan jahatnya saya beranggapan kalau mantan suaminya itu memang pantas mati ._. Cerita di buku ini lebih ke sedih dan suram sih daripada mendebarkan, yang jelas bikin penasaran tentunya.

Setelah berhasil menyelesaikannya, saya puas dengan terjawabnya semua pertanyaan-pertanyaan tentang cara Ishigami menciptakan alibi. Namun mampu memuaskan dan mengesankan saya tak lantas membuat buku ini sempurna (setidaknya di mata saya). Menurut saya tokoh Yukawa agak kurang meyakinkan. Dia menganalisis kasusnya kebanyakan berdasarkan dari cerita Detektif Kusanagi, memang beberapa kali diceritakan secara sekilas kalau Yukawa juga melakukan sedikit penyelidikan. Dan bisa dimengerti juga karena dia bukan bagian dari pihak kepolisian, bisa dibilang dia hanya sebagai “penasihat”. Ditambah buku ini diceritakan dengan fokus terpecah hampir ke semua tokoh-tokohnya, jadi mau tak mau porsinya dibagi-bagi. Padahal saya penasaran dengan isi kepala Yukawa, cukup disayangkan.

Ah iya, buku ini ternyata sudah diadaptasi ke layar lebar di tahun 2008, dan seri Detective Galileo sendiri ada adaptasi doramanya juga. Bahkan sineas Korea Selatan juga pernah membuat film adaptasinya yang tayang di tahun 2012 dengan judul Perfect Number. Jadi penasaran dengan kedua versi adaptasinya ini.

 Poster film adaptasinya: Suspect X

Yang ini versi Korea-nya. Yang maen Lee Yo Won ternyata! *o*

Sedikit meralat statement saya di atas, cover buku ini, atau lebih tepatnya gambar Daruma yang terdapat di cover buku ini ternyata bukan hanya sebagai hiasan semata, ada hubungannya dengan isi buku ini. Judulnya juga, sangat menggambarkan isinya. Saya lebih suka versi Bahasa Indonesianya, “Kesetiaan Mr. X” dibanding “The Devotion of Suspect X”, lebih makes sense.

“’Aku penasaran,’ kata Ishigami. ‘Apa kau masih ingat pertanyaanmu tentang mana yang paling sulit: membuat soal yang sulit dipecahkan orang lain atau memecahkan soal itu sendiri.’
‘Tentu ingat. Aku memilih jawaban pertama. Jelas si penjawab harus menaruh rasa hormat pada pembuatnya.’”



Senin, 04 Juli 2016

[Book Review] Di Tanah Lada: Cerita Kelam yang Dikisahkan dengan Unik






Judul: Di Tanah Lada
Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 244 halaman

“Menurutku, Papa mirip hantu. Papa mirip hantu karena aku takut hantu, dan aku tahu Mama takut hantu. Dan aku takut Papa. Dan aku tahu kalau Mama juga takut Papa.”

Salva—bukan Saliva—atau biasa dipanggil Ava, adalah seorang gadis kecil berumur enam tahun yang punya hobi membaca kamus Bahasa Indonesia. Kecintaannya tersebut tumbuh karena Kakek Kia yang memberinya kamus itu di hari ulang tahunnya. Kata Kakek Kia, orang yang berbicara dengan baik akan lebih disegani oleh orang lain. Setiap hari Ava membaca kamusnya, mempelajari banyak kata-kata baru.

Namun Kakek Kia meninggal, dia meninggalkan banyak uang untuk papa Ava. Papa Ava adalah seorang tukang judi. Dia jahat, membenci Ava, dan selalu berbicara dengan jelek. Tidak seperti mamanya, mama Ava cantik dan baik, dan sayang pada Ava.

Setelah mendapatkan banyak uang, papa Ava menjual rumah mereka dan pindah ke Rusun Nero yang letaknya dekat dengan tempat perjudian. Ava tidak suka dengan Rusun Nero. Tempatnya kotor dan kumuh, dan di sana dia tidak punya kasur, apalagi sebuah kamar. Tapi di sana dia bertemu dengan seorang anak umur sepuluh tahun yang hobi bermain gitar, namanya P. Ya, namanya memang sependek itu, hanya satu huruf.

Mudah saja bagi mereka untuk menjalin persahabatan. Dan persahabatan mereka ini nantinya akan menjadi awal dari sebuah petualangan tak terduga yang akan mereka lalui bersama.

“’Itu punya kamu?’ tanyaku, menunjuk sepeda itu.
Dia mengangguk. ‘Iya. Aku dapat dari orang sebelah.’
‘Ih, serem!’
‘Seremnya kenapa?’
‘Iya. Orangnya cuma sebelah, kan? Badannya... cuma ada sebelah, kan?’”

Hmmm... dari mana dulu saya harus membicarakan buku ini? Kesan saya setelah membacanya? Menurut saya bukunya bagus, ide ceritanya menarik, dan diceritakan dengan menarik pula; lewat narasi bocah berumur enam tahun. Tapi ada beberapa hal yang membuat kekaguman saya pada buku ini berkurang. Di antaranya:

Karakter Ava yang agak nggak masuk akal. Ini mungkin dibahas hampir oleh semua orang yang pernah baca buku ini, menurut saya Ava di sini karakternya dibuat terlalu pintar untuk ukuran anak kecil yang baru berumur enam tahun. Pertama, rasanya aneh saja mengetahui hobi membaca kamusnya. Ini kamus lho, yang isinya tulisan kecil-kecil nan rapat dan tidak terdapat gambar di dalamnya. Selanjutnya, ingatannya yang amat sangat kuat, bisa hafal dengan kalimat-kalimat panjang yang pernah diucapkan orang lain kepada dia sampai ke titik koma. Kalau saya sih, seringnya melihat malah karakter Ava di sini bukan sebagai anak kecil yang terlalu cepat dewasa, tapi malah kayak orang dewasa yang kekanakan.

Lalu mamanya Ava. Saya nggak ngerti lagi deh sama pola pikirnya. Emang umurnya berapa sik? 17? 18? 19 tahun? Lalai bener -____-

Dan, ini juga bisa dibilang sering jadi kendala jika menggunakan POV 1, di beberapa bagian kelihatan sekali kalau penulisnya yang sedang bersuara, bukan si Ava-nya.

Endingnya. Untuk pembenci ending tragis, saya amat tidak menyarankan kalian untuk baca buku ini ya. Saya tidak benci endingnya kok, tapi tetep nggak tega bacanya T_T 

Tapi terlepas dari itu semua, buku ini sama sekali tidak bisa dibilang jelek, at least berhasil bikin hati saya trenyuh. Mungkin saya aja bacanya terlalu serius ._. Hal-hal yang saya suka dari buku ini seperti: percakapan Ava dan P yang lugu, kadang kocak. Ketika P menceritakan pada Ava cerpennya Andy Weir yang berjudul The Egg, yah meski percakapan mereka masih berasa terlalu dalem untuk anak seumuran mereka. Dan ketika mereka membicarakan reinkarnasi. Satu lagi, judulnya. Saya takjub pas baca bagian yang bikin saya sadar kenapa diberi judul "Di Tanah Lada". Keren deh bisa kepikiran sampe sana.

“’Ditulisnya ‘M. Poirot’. Menurut kamu, ‘M’ itu apa, ya? Eh, apa mungkin itu cuma ‘M’ saja? Seperti namaku, P saja. Dia cuma M saja. M. Poirot.’
‘Bukan. M itu kependekan Muhammad,’ kataku. ‘Teman-temanku di sekolah juga punya nama yang depannya ada ‘M’-nya. Mereka bilang, itu kependekan dari Muhammad.’
‘Muhammad Poirot. Boleh juga, ya, namanya.’”