Senin, 26 Januari 2015

[BBI: Opini Bareng] Bicara Ekspektasi






Jadi tahun ini, di Blogger Buku Indonesia (BBI) selain ada yang namanya baca bareng, juga ada opini bareng. Seperti baca bareng, setiap bulannya untuk ikutan nge-post opini bareng ini anggota BBI harus mengikuti tema yang sudah ditentukan sebelumnya. Saya nggak bisa ikutan baca bareng bulan Januari ini karena temanya adalah buku dari Secret Santa, yang mana saya nggak ikutan event Secret Santa kemarin :D jadi bulan ini cuma bisa ikutan nge-post opini bareng. Semoga bulan depan saya bisa ikutan dua-duanya.

Nah, tema bulan ini yang ditentukan adalah ekspektasi. Di dalam hidup ini kita tidak bisa lepas dari yang namanya ekspektasi. Karena cakupannya luas, yang akan saya tulis di sini adalah ekspektasi saya yang berhubungan dengan buku saja.



Saya termasuk jenis orang yang sebelum saya membaca buku, saya sudah mengira-ngira akan saya beri bintang berapa buku tersebut. Tak jarang analisis sotoy saya itu saya gunakan ketika saya memutuskan untuk membeli buku apa di kala budget terbatas. Misalnya seperti ini; saya dihadapkan pada dua pilihan, pertama buku “A” yang ditulis oleh pengarang yang saya belum pernah membaca karyanya, tapi review di goodreads tentang buku tersebut cukup rame. Pilihan kedua, buku “B” ditulis oleh pengarang yang karya sebelumnya sudah pernah saya baca, dan saya suka. 80% kemungkinan saya akan memilih untuk membeli buku “B”. Karena di pikiran saya, untuk penulis baru yang belum pernah saya baca, jarang sekali yang benar-benar membuat saya puas dengan karyanya, paling banter nanti buku “A” tersebut saya kasih bintang 4 (iyaa, itu salah satu sifat buruk saya yang suka men-judge duluan -___-). Sedangkan untuk penulis yang sudah saya sukai karya sebelumnya, lebih besar kemungkinan saya akan lebih menyukai buku “B” tersebut. Kesannya kayak “ogah rugi” yak? Hahaha...

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pemikiran saya tersebut salah besar. Bukan hal yang tak mungkin kalau nantinya buku karya penulis baru* tersebut akan sangat saya sukai (*baru di sini maksudnya juga buat penulis yang belum pernah saya baca tulisannya ya, bukan berarti penulis yang baru debut). Bukankah penulis-penulis favorit saya sekarang juga sebelumnya saya tidak kenal dengan tulisan mereka toh? Contohnya: Mitch Albom, John Green, Khaled Hosseini, Dee Lestari, dll. Sebelumnya saya terlebih dahulu mencoba untuk pertama kalinya “mencicipi” tulisan mereka baru kemudian menjadi penggemar mereka. 

Begitu pula sebaliknya, tidak menutup kemungkinan juga jika saya kecewa dengan karya terbaru dari penulis favorit saya. Misalnya, Tere Liye. Beliau adalah salah satu penulis Indonesia favorit saya. Hampir semua buku karyanya saya suka, terutama Negeri Para Bedebah. Tapi kemudian ketika membaca Negeri di Ujung Tanduk, sekuel Negeri Para Bedebah tersebut mengecewakan saya. Mungkin akibat berekspektasi terlalu tinggi? Entahlah. Yang jelas sejak saat itu saya belum menemukan lagi karya beliau yang saya beri 5 bintang alias sukak pake banget (saya belum baca Rindu, by the way).





Kasus lain, selain yang di atas adalah tentang buku yang diadaptasi menjadi film. Apalagi kalau yang diadaptasi adalah buku favorit sepanjang masa. Biasanya untuk kasus ini akan terbagi menjadi dua kubu pembaca, pertama yang skeptis dan tidak rela bayangan mereka dirusak begitu saja oleh (bakal) filmnya. Dan kubu yang excited tidak sabar menunggu filmnya keluar. Saya termasuk kelompok kedua :D saya sama sekali tidak masalah buku favorit saya akan diadaptasi menjadi film. Malah senang, karena yang suka filmnya nanti pasti banyak yang jadi pengin baca versi bukunya juga ;)) selalu menyenangkan mengetahui orang lain juga baca buku yang menjadi favorit kita.

Menurut pengamatan saya nih ya, mengadaptasi buku menjadi film itu tidak mudah. Terutama untuk memuaskan pembaca bukunya. Mulai dari masalah cast yang tidak sesuai dengan imajinasi pembaca, juga plot atau detail lain yang dirombak di sana-sini. Perlu diingat kalau film tersebut TIDAK HANYA ditujukan untuk penggemar bukunya, tapi juga audience yang belum baca bukunya. Namun, namanya juga ekspektasi ya, kadang tidak bisa kita kendalikan.  Komentar-kometar seperti “Kok yang jadi si anu si ini sik?” atau “Adegan yang nganu kok diilangin sik?” tidak bisa dihindari.



Saya termasuk yang tidak terlalu rewel untuk urusan ini. Banyak kok film adaptasi yang berhasil memuaskan saya sebagai penggemar versi bukunya. Seperti: Gone Girl, The Fault in Our Stars, Trilogi The Lord of The Rings, The Hobbit (yang walaupun dipanjang-panjangin jadi trilogi tetap memuaskan), Life of Pi, The Hunger Games, Divergent, If I Stay dan masih banyak lagi.  Bagaimana dengan sebaliknya? Kalau nonton filmnya dulu baru kemudian baca bukunya? Kalau yang seperti ini saya tidak pernah merasa kecewa, karena saya hanya tertarik baca buku yang filmnya berkesan buat saya ;)) misal: The Help, The Perks of Being a Wallflower, seri Harry Poter dan Carrie (yang versi lama, bukan remake).

Menurunkan ekspektasi itu perlu, untuk menghindari kekecewaan. Tapi kadang ekspektasi tinggi juga bagus loooh. Kalo buat saya sik. Karena jika misalnya nih ekspektasi kita sudah tinggi terhadap buku yang akan kita baca, lalu buku tersebut nantinya melebihi eskpektasi kita, rasanya... tak terbayangkan pokoknya. Mulai dari mengalami yang namanya book hangover, sampai bersemangat-empat-lima untuk mempromosikan buku tersebut biar lebih banyak orang yang baca :D

*semua gambar (kecuali banner) bersumber dari fanpage The Reading Room


[First Impression] Ally - All These Lives by Arleen A.






Ally yang saat itu berumur 5 tahun tetiba mengalami kejadian aneh. Ally menyadari dia telah berusia 10 tahun, tapi tidak ingat kalau dia mempunyai adik laki-laki bernama Albert. Dia mengingat peristiwa 5 tahun terakhir, Ally hanya lupa bagian yang ada Albert di dalam kehidupannya 5 tahun terakhir.

Ibunya yang khawatir dan bingung membawa Ally ke psikiater, dokter saraf dan melakukan berbagai tes. Hasilnya sia-sia. Setelah itu, hidup Ally kembali seperti sedia kala, dia telah menerima kenyataan kalau dia memang punya adik laki-laki. Tapi, kejadian serupa terjadi untuk kedua kalinya kala Ally sudah berada di SMA. Kejadian serupa yang membuat ibunya menangis ketika Ally menyinggung soal Albert. Albert telah menghilang selamanya dari kehidupan Ally, tanpa Ally dapat mengingat hal tersebut.

Begitulah kira-kira yang saya simpulkan tentang dua bab pertama novel yang berjudul Ally - All These Lives karya Arleen A. ini. Ide ceritanya menarik, dan bikin penasaran tentu saja. Saya amat penasaran dengan kejadian aneh yang dialami Ally itu, apakah akan berhubungan dengan hal-hal magis atau psikologi. Masih belum jelas ceritanya mau dibawa ke mana.

Kisah di buku ini dituliskan ala terjemahan. Baca dua bab pertama buku ini sama seperti kesan saya ketika membaca Teka-Teki Terakhir-nya Annisa Ihsani. Yang mengganggu sedikit sik narasinya yang panjang. Dua bab pertama bisa dibilang dipenuhi 80% narasi, minim dialog. Bisa dimengerti juga karena sudut pandang penceritaannya menggunakan sudut pandang pertama.

Tapi, walaupun saya nanti nggak menang kontesnya *iyaa, tulisan ini dalam rangka saya ikutan kontes untuk mengomentari first chapters novel ini x))*, saya akan tetap baca buku ini kok, abisnya masih penasaran dengan kehidupan Ally selanjutnya :D

[Book Review] This Song Will Save Your Life by Leila Sales






Judul: This Song Will Save Your Life
Pengarang: Leila Sales
Penerbit: Farrar, Straus and Giroux (BYR) (ebook)
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 288 halaman

“Sometimes you just have those days. When you know, from the moment you wake up, that everything you touch you will break, so the less you touch, the better.”

Elise adalah remaja yang pintar, dan tekun dalam mempelajari hal-hal baru. Sayangnya di sekolah dia tidak memiliki teman. Dia dianggap aneh oleh siswa-siswi di sekolahnya. Tentu saja Elise pernah mencoba untuk berbaur dengan mereka, dia pernah berusaha keras mencoba untuk berteman dengan siswa lain dan hanya berujung kecewa. Hal itu membuat Elise, jadi paranoid untuk mencoba lagi, dia bahkan sampai depresi, dan berusaha melakukan percobaan bunuh diri.

Percobaan bunuh diri tersebut membuat Elise tak semangat lagi menjalani hari-harinya. Suatu hari secara tidak sengaja ketika Elise mengendap-endap keluar dari rumah ibunya(orangtua Elise bercerai), dia bertemu dengan 2 cewek yang lebih tua  beberapa tahun darinya, Vicky dan Pippa. Mereka lalu mengajaknya ke Start, tempat pesta bawah tanah paling hits di kota itu.

Sejak saat itu, Elise mulai sering mengendap-endap keluar dari rumah untuk datang ke Start setiap kamis malam. Awalnya itu menjadi masalah diakibatkan jadwal super rumit yang diatur orangtua Elise untuk bergantian setiap minggu menghabiskan waktu dengan Elise. Tapi Elise berusaha memperjuangkannya, walaupun harus berbohong pada kedua orangtuanya, karena Elise menyukai berada di Start. Tidak ada yang mengenalnya di sana plus tempat itu remang-remang, itu berarti tidak akan ada yang mengecapnya aneh.

Di Start Elise juga bertemu DJ di sana, Char. Berawal di Start Elise menyadari ketertarikannya untuk menjadi seorang DJ. Elise menyukai perasaan ketika dia memiliki kemampuan untuk membuat orang-orang menari, menyukai rasa puas yang datang ketika orang-orang menikmati lagu yang dimainkannya. Elise seperti memiliki kembali passion yang telah lama hilang darinya.

“But can you put a price on happiness? Really, if that’s what it costs to make you glad to be yourself, then isn’t it worth it?”

Buku ini termasuk buku yang membuat saya tidak bisa berhenti ketika mulai membacanya. Kisahnya diceritakan dengan baik, mengalir. Tema bullying memang sering diceritakan di novel-novel young adult. Tapi hal itu tidak membuat buku ini jadi basi dan cheesy

Saya suka mengikuti proses perubahan hidup Elise yang merupakan remaja korban bully, lalu menemukan hal yang membuatnya tertarik—ber-DJ, dan hal tersebut membuat hidupnya lebih baik, Elise merasa lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Juga mendapat teman-teman baru yang bisa mengerti dia. Ngomong-ngomong soal teman-teman Elise, saya sangat menyukai karakter teman-teman baru Elise terutama Vicky. Saya malah lebih menyukai karakter Vicky daripada karakter Elise sendiri :D 

Dan kabarnya buku ini akan difilmkan looh. Saya jadi membayangkan akan seperti apa filmnya nanti. Yang pasti saya harap akan dipenuhi dengan lagu dan musik kece, paling tidak seperti Guardians of the Galaxy, mungkin? ;) semoga saja cast yang dipilih sesuai dengan bayangan saya :))

Eh, awalnya saya mau bikin review kayak review-review di goodreads yang berbagi pengalaman mereka ketika menjadi korban bully, dan bagaimana buku ini membuat mereka terharu ketika membacanya. Saya juga bisa dibilang korban bully dulunya, tidak terlalu parah untungnya :D Tapi, saya pikir cerita saya bakal kurang menarik x)) dan nggak pede buat nyeritainnya. Maka jadilah yang dibikin review pendek ini. Dan yak, paragraf ini cuma buat memperpanjang review ini saja. Huehehehe xD

“Your goal, as DJ, is to make them stay on the dance floor. So when you match the beats from one song to the next, there’s an overlap, but it sounds harmonius, not cacophonous, and no one even notices that they’re dancing to the next song until they’re already in it. Give it a shot.”

“Look at me. Look at me. I’m ugly and boring and stuck-up. I’m awkward and gross; I’m pathetic and worthless. Do you think that’s who I wanted to be?”

RATING 4/5

Sabtu, 17 Januari 2015

[Book Review] The Miraculous Journey of Edward Tulane by Kate DiCamillo






Judul: The Miraculous Journey of Edward Tulane
Pengarang: Kate DiCamillo
Penerbit: Candlewick (ebook)
Tahun Terbit: 2007
Tebal: 228 halaman

“I have been loved, Edward told the stars. So? said the stars. What difference does that make when you are all alone now?”

Edward merupakan sebuah kelinci porselen milik Abilene Tulane yang dihadiahkan oleh neneknya. Abilene sangat menyayangi Edward, menganggapnya sebagai hal paling berharga miliknya.

Suatu hari dalam perjalanan keluarga Abilene ke Inggris, secara tidak sengaja Edward terjatuh dari kapal, terhanyut, terombang-ambing oleh ombak laut. Sayangnya dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti arus, karena Edward hanyalah kelinci yang terbuat dari porselen porselen.

Sampai kemudian Edward terdampar dan ditemukan oleh seorang pelaut. Sejak saat itu Edward melihat dunia dengan berbeda. Edward mulai mengenal apa itu cinta, bagaimana cinta dapat menimbulkan kesedihan dan merasakan perasaan bernama kehilangan.

“I have learned how to love. And it's a terrible thing. I'm broken. My heart is broken. Help me.”

Ada berapa banyak yang penasaran pengin baca buku ini karena drama You Who Came from the Stars? Saya salah satunya :D. Di dalam drama tersebut, buku ini digambarkan merupakan buku favorit Do Min Joon sang alien yang selalu dibacanya berulang-ulang. Tak jarang beberapa bagian bukunya dikutip di beberapa episode drama tersebut.

Buku ini merupakan buku yang indah. Ceritanya sederhana tapi penuh makna. Salah satu buku anak-anak yang bisa dibaca bahkan oleh orang dewasa sekalipun. Buku ini menyadarkan saya bahwa cinta, kesedihan dan kehilangan itu adalah satu paket. Jangan berhenti mencintai hanya karena pernah merasa sakit karena cinta. 

Bagian favorit saya adalah ketika Edward bertemu dengan Sarah Ruth. Bagian itu menurut saya yang paling sedih. Proses di mana Edward mulai mengenal lagi cinta, tapi juga akhirnya harus merasakan sakitnya kehilangan lebih dari yang dirasakannya sebelumnya. 

Selain ceritanya, ilustrasi di buku ini bagus. Beberapa adegan yang sedih, ditambah ilustrasinya jadi makin kerasa feel mengharukannya :(. Yang pasti buat saya buku ini adalah salah satu buku anak-anak favorit saya. Jadi penasaran dengan karya lain dari sang penulis! xD

“Open your heart. Someone will come. Someone will come for you. But first you must open your heart.”
If you have no intention of loving or being loved, then the whole journey is pointless.

RATING 5/5