Selasa, 11 Juli 2017

[Book Review] Dark Matter: Ke Mana Pilihan Akan Membawa Hidupmu?






Judul: Dark Matter
Pengarang: Blake Crouch
Penerbit: Penerbit Noura
Tahun Terbit: 2017
Tebal: 476 halaman

“Apakah kau bahagia dengan hidupmu?”


Jason Dessen diculik sepulang dari bar lokal dalam rangka merayakan kesuksesan teman lamanya yang baru saja mendapat penghargaan bergengsi di bidang sains. Pria bertopeng Geisha yang menculiknya membawanya ke sebuah bangunan kosong setelah menanyainya bermacam pertanyaan aneh. Sebelum akhirnya tak sadarkan diri oleh pengaruh obat yang disuntikkan si penculik, hal terakhir yang Jason dengar dari pria itu adalah pertanyaannya tentang hidupnya sekarang, bahagiakah Jason dengan hidup yang dijalaninya hingga kini?

Ketika terbangun, Jason mendapati dirinya tak lagi berada di dunia yang dia kenal,  dunia tempatnya sekarang terasa begitu asing. Di dunia asing ini Jason bukan seorang dosen Fisika di Lakewood College, tapi merupakan ilmuwan hebat dan terkenal. Alih-alih punya seorang istri dan putra yang dicintainya, di dunia ini Jason seorang lajang.

Dan yang pasti, dunia baru ini begitu berbahaya, untuk kembali ke dunianya yang lama Jason harus melewati pilihan-pilihan. Banyak pilihan yang kesemuanya punya risiko masing-masing. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jason? Berhasilkah dia kembali ke Daniela dan Charlie, dua orang yang begitu dikasihinya? Ke dunia yang dia kenal selama ini?


“Menakutkan ketika kau memikirkan bahwa setiap hal yang kita pikirkan, semua pilihan yang bisa kita buat, akan bercabang ke dunia baru.”


Ada yang pernah nonton serial televisi populer Friends? Kenal dengan Janice? Janice mantan pacarnya Chandler yang punya suara annoying itu? Kalau belum, tak masalah karena pertanyaan saya barusan tak ada hubungannya dengan buku ini (secara khusus) xD saya hanya mencoba membuat pembuka menarik untuk review ini. Jadi, si Janice di Friends ini punya line yang amat memorable bagi yaitu: “OH. MY. GOD!” lengkap dengan ekspresinya. Nah, mulai sekarang, saya memutuskan untuk menamai bagian-bagian mengejutkan dalam buku yang saya baca dengan “Janice Moment”. Dan harus saya akui, Dark Matter punya banyak sekali Janice Moment.





Saya mengenal nama Blake Crouch dari dua judul serial televisi adaptasi dari buku karyanya: Wayward Pines dan Good Behavior, yang mana dua-duanya sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Kemudian saya iseng memasukkan namanya dalam kolom pencarian Goodreads, dan buku ini menjadi yang paling populer dan lumayan dominan mendapat ulasan positif. Jujur saya agak kaget (sekaligus senang) mengetahui Penerbit Noura menerbitkan terjemahannya. 

Oke, paragraf ini sedikit tidak nyambung dengan bukunya, jadi kalau dilewatkan juga tak apa-apa. Cuma sedikit saran untuk penerbit yang bersangkutan (buku ini) kali aja ada yang kerja di sana yang baca review saya x)). Saya agak kecewa dengan penerbitnya yang kurang gencar melakukan promosi untuk buku-buku terbitannya terutama yang terjemahan. Hal ini pernah saya singgung di sebuah obrolan dunia maya dengan seorang teman saya yang juga pembaca, sebenarnya cukup banyak buku-buku terjemahan dari Penerbit Noura yang menarik dan ingin sekali saya baca (di antaranya: "The Silent Wife" dan "A Head Full of Ghosts" dan "My Grandmother Asked Me to Tell You That She’s Sorry"), namun kurangnya promosi membuat saya agak ketinggalan informasi tentang bukunya sehingga saya baru mengetahui keberadaan terjemahan buku tersebut setelah beberapa lama. Saya tidak tahu dengan pembaca lain, kalau saya sendiri sih salah satu faktor yang membuat saya membeli buku adalah buku baru yang dari sebelum terbit promonya sudah gencar :) Sukses selalu, ya, Noura. Saya tunggu terjemahan Into the Water-nya ;)))

Cukup dengan pembicaraan ngelanturnya, mari kembali ke pembahasan buku menakjubkan ini. Saya jenis pembaca yang tidak tahan dengan ketidaktahuan, apalagi dalam buku yang menurut saya menarik. Separuh awal  Dark Matter cukup menyiksa saya karena ketidaktahuan dan rasa penasaran. Kondisi Jason yang sama sekali tak tahu apa-apa ketika terbangun dari pingsannya amat sangat menyiksa.

Saya juga bukan pencinta genre sci-fi, yang paling mendekati genre sci-fi yang pernah saya baca hanya segelintir judul Young Adult bersub-genre distopia, saya bahkan tidak mampu menyelesaikan The Martian yang fenomenal itu. Tapi Dark Matter, walaupun saya akui rumit dan berat, tapi maknanya nyampe ke saya, dan elemen sci-fi-nya itu terasa masuk akal buat saya. Saya pikir kenyamanan saya baca buku ini tak lepas dari kepiawaian sang penerjemah yang menerjemahkan buku ini dengan bagus dan enak dibaca. 

Seperti yang saya bilang, Janice Moment di dalam buku ini ada banyak, dan menurut saya yang paling dahsyat terletak di hampir mendekati akhir. Ketika Jason akhirnya tersadar hal buruk yang luput dari dugaannya, saat konfliknya menjadi semakin rumit. Bagian ini awalnya membuat saya agak khawatir dengan bagaimana buku ini akan diakhiri. Tapi, kekhawatiran saya tak beralasan karena saya suka dengan endingnya. Agak sedikit kurang puas, tentu saja, tapi saya tidak bisa memikirkan skenario lain yang lebih masuk akal selain ending yang dipilih penulisnya untuk mengakhiri buku ini.

Dan ngomong-ngomong soal adaptasi filmnya, setelah membaca buku ini saya tak heran kalau bahkan sebelum terbit buku ini sudah dibeli hak cipta untuk dibuatkan adaptasi filmnya. Isinya emang “Hollywood material” banget! Baca deh, dan kamu akan ngerti apa yang saya maksud ;))

Lima bintang untuk Jason Dessen dan pilihan-pilihan gilanya!


“Jika ada sejuta kolam di luar sana, dengan versi kau dan aku mengalami kehidupan sama maupun berbeda, tak satu pun yang lebih baik daripada di sini, sekarang. Aku meyakini itu melebihi semua hal lain di dunia ini.”


“Bagaimana jika sebenarnya kita menghuni multisemesta, tetapi otak kita telah berkembang sedemikian rupa untuk melengkapi kita dengan dinding pelindung yang membatasi apa yang kita kenali sebagai semesta tunggal? Satu garis dunia. Hal yang kita pilih, momen demi momen.”



Senin, 24 April 2017

[Book Review] Perempuan Berbahaya: Pelesiran yang Berubah Menjadi Tragedi







Judul: Perempuan Berbahaya (Dangerous Girls)
Pengarang: Abigail Haas
Penerbit: Penerbit Kosa
Tahun Terbit: Desember 2016
ISBN: 978-602-71220-6-2
Tebal: 372 halaman
Edisi: Paperback


Kami memulai tahun ketiga seperti raja-raja, seakan tidak ada apapun yang akan pernah bisa memisahkan kami.

Kami salah.



Anna dan pacar serta teman-temannya pergi ke Aruba, sebuah pulau di Belanda untuk berlibur, melupakan sejenak kehidupan nyata mereka yang penuh dengan pikiran tentang sekolah, kuliah, dan masa depan. Mereka bersenang-senang di pulau eksotis itu selayaknya remaja yang merasa bebas dari orangtua mereka.
Namun liburan itu berubah menjadi bencana saat sahabat karib Anna, Elise ditemukan tak bernyawa di dalam kamarnya. Elise dibunuh secara brutal oleh seseorang dan parahnya Anna serta pacarnya, Tate ditetapkan sebagai tersangka.
 Di negeri asing itu, Anna terjebak menjadi tersangka pembunuhan. Dia harus menghadapi persidangan-persidangan yang melelahkan jiwa dan raganya. Kehidupan pribadinya dikupas habis-habisan pada persidangan itu, foto-foto yang diunggahnya di media sosial dipelintir dengan konotasi yang mengarahkannya sebagai seorang yang tega membunuh sahabatnya sendiri. Tak hanya itu, tragedi tersebut juga menjadi sorotan dunia sehingga Anna harus pasrah dihakimi oleh publik.
 Anna semakin kehilangan harapan akan masa depannya, satu per satu rahasia mengejutkan mulai terkuak. Namun yang masih menyisakan tanda tanya, benarkah Anna yang membunuh Elise? Kalau bukan Anna, siapa orang yang tega membunuh gadis remaja itu dengan brutal?

Satu momen. Satu gambar. Sekilasitu saja yang diperlukan untuk membuat seseorang berpikir mereka tahu kebenarannya.


Saya secara tak sengaja menemukan keberadaan buku ini lewat review orang di goodreads terhadap satu judul buku lain. Ternyata, yang saya ketahui dari partner baca buku sakit saya: Mbak Vina, buku yang ditulis oleh Abigail Haas ini sudah diterjemahkan, bahkan Mbak Vina sendiri punya buku lain dari penulis sama yang sudah diterjemahkan juga oleh penerbit sama: Dangerous Boys. 

Nah, secara kebetulan juga saya menemukan versi terjemahan buku ini di toko buku kota saya, langsung deh tanpa pikir panjang saya bawa ke kasir dan bawa pulang.  Saya berhasil membaca buku ini seharian hingga larut malam sampai selesai. Review-nya aja yang saya tulis terlambat :”>

Ceritanya tak hanya seru dan bikin penasaran, tapi juga "melelahkan" batin. Baca buku ini, membuat saya merasakan kembali pengalaman ketika saya menonton miniseri HBO tentang ketidakadilan persidangan: The Night Of, juga versi serial UK-nya yang tak kalah bikin capek hati, Criminal Justice. Saya berhasil dibuat gemas sekaligus kesal terhadap beberapa tokoh tertentu, dan karena gaya penceritaan menggunakan sudut pandang pertama, mau tak mau saya ikut merasa frustrasi bersama Anna dalam menjalani persidangannya.

Semuanya tentu tak lepas dari kepiawaian sang penulis dalam menggambarkan emosi yang dirasakan Anna sehingga membuat pembacanya terlarut di dalamnya. Namun, yang cukup disayangkan adalah terjemahannya yang terasa kaku. Jika saja bukunya diterjemahkan dengan lebih luwes, pasti akan lebih mudah menikmati bukunya. Tapi hal tersebut saya rasakan hanya diawal-awal saja kok, semakin lama saya semakin terpaku pada kisahnya yang seru sehingga sedikit melupakan kekakuan terjemahannya.

Elemen penting dalam buku ini adalah endingnya. Mind-blowing banget! Jelas saya merekomendasikan buku ini buat para pencinta buku sakit di luar sana. Tapi kalau kamu termasuk dalam kategori pembaca perfeksionis yang akan menyerah baca buku terjemahan karena kurang sreg dengan terjemahannya, saya sarankan untuk membaca edisi aslinya saja ^^

Yang paling bikin betah baca buku ini adalah kisah-kisahnya yang dipecah dengan sub-bab yang singkat-singkat, dan alurnya juga acak. Kadang menceritakan tentang kejadian sebelum pembunuhan, tentang persidangan, tentang awal mula persahabatan Anna dengan Elise.

Kalau boleh mengkritisi satu hal lagi, saya kurang suka dengan pemilihan judul terjemahannya. Saya ngerti kalau judulnya ingin lebih spesifik lagi menunjuk satu “perempuan berbahaya”. Tapi, sebagai pembaca, saya menemukan justru ”girls” pada judul aslinya lebih tepat, karena di dalam buku ini “perempuan berbahaya”-nya lebih dari satu. Menurut saya “Cewek-Cewek Berbahaya” atau “Gadis-Gadis Berbahaya” akan jauh lebih cocok.


“Seberapa banyak kamu mencintaiku?”




Minggu, 19 Maret 2017

[Book Review] Lost and Found: Pertemuan yang Berawal dari Kehilangan






Judul: Lost and Found
Pengarang: Fanny Hartanti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Januari 2017
Tebal: 248 halaman


“Ketika Rachel menatapnya galak, Andy kesal tapi juga gemas. Kalau gadis lain yang melakukan itu, mungkin ia bakalan risi. Rachel berbeda. Gadis itu mampu memorak-porandakan emosinya.”


Rachel tak sengaja meninggalkan organizer-nya di dalam taksi yang ditumpanginya. Andy yang menaiki taksi tersebut setelah Rachel menemukan organizer itu dan memutuskan untuk mengembalikan sendiri kepada pemiliknya ketimbang memberikannya kepada sang sopir taksi.

Yang tak Andy ketahui, di dalam organizer itu terdapat berkas-berkas penting seperti KTP, SIM, dan paspor, padahal Rachel keesokan harinya ditugaskan berangkat ke Singapura untuk meliput acara pembukaan hotel bintang lima di sana.

Alhasil Rachel batal berangkat dan dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Dan lucunya, takdir mempermainkan mereka: Andy terus-terusan gagal mengembalikan organizer milik Rachel meski beberapa kali bertemu dengannya. Keadaan seakan tak mengizinkannya.

Andy yang didera rasa bersalah karena Rachel dibuat repot lantaran SIM-nya hilang menawarkan jasa antar-jemput ke Rachel. Sedangkan Rachel sama sekali tak tahu menahu kalau Andy adalah orang yang menemukan organizer-nya. Keduanya sama-sama merasakan ketertarikan satu sama lain, namun akankah hubungan yang berasal dari kebohongan itu dapat berjalan dengan mulus?


“Berbohong itu melelahkan karena kita mesti terus mengingat cerita yang kita karang dan terkadang harus menutupinya dengan dusta-dusta yang lain.”


Buku ini membawa angin segar bagi mood baca saya yang turun drastis sebulan belakangan. Tak sedikit buku-buku yang hanya saya baca beberapa halaman awalnya saja dan saya letakkan kembali, belum sanggup untuk meneruskan membaca sampai selesai. Terutama di lini Metropop. Padahal banyak buku-buku Metropop yang baru terbit yang cukup menjanjikan dari segi sampul dan blurb. Saya sih nyangkanya selera bacaan saya mulai bergeser, sepertinya sangkaan saya salah, malah membaca buku ini menimbulkan keinginan untuk baca judul-judul Metropop yang lain. Mungkin saya hanya dalam fase moody-an ya terkait dengan buku-buku yang saya baca? Entahlah.

Plot buku ini ringan dan sangat mudah ditebak, namun meski tak ada elemen yang membuat saya penasaran, ketika mulai membaca saya tak bisa berhenti. Dan saya yakin bukan saya saja yang merasakan hal ini, beberapa review pembaca lain tentang buku ini dominan mengatakan kalau buku ini jenis yang sangat page turner. Cara penulisnya bercerita terlalu mudah dicerna dan diikuti sehingga bacanya juga bikin betah.

Lost and Found berhasil mengangkat tema tentang waktu, bagaimana perlakuan menunda-nunda untuk melakukan sesuatu (dalam hal ini Andy yang mengulur waktu untuk mengembalikan organizer Rachel), juga kebohongan-kebohongan kecil yang tanpa sadar diucapkan, dapat menimbulkan dampak cukup besar di kemudian hari.

Tentu saja selain plot utama, tidak afdol rasanya kalau tidak ditambah bumbu-bumbu lain, nah di dalam buku ini pembaca akan menemukan sub-plot tentang dunia kerja Rachel dan persaingannya dengan reporter lain di kantornya. Dan, hubungan Andy dan ayahnya, sub-plot yang terakhir ini, cukup berpengaruh dengan keseluruhan cerita karena pembaca akan lebih dikenalkan dengan karakter Andy dan hal-hal yang membentuk karakternya demikian. 

Saya suka filosofi judulnya, terasa sangat pas dengan keseluruhan isi cerita dari awal hingga akhir. Bahwa cinta tuh kalau sudah datang, bisa ditemukan di mana saja, dengan awal sedemikian rupa pula. Berawal dari sebuah kehilangan, misalnya.

Lost and Found memang punya premis ringan, setidaknya tak sekompleks karya Fanny Hartanti sebelumnya: The Wedding Games. Namun saya pribadi lebih menyukai Lost and Found dengan segala ke-cheesy-an dan kelincahan bertutur penulisnya. Buku ini saya rekomendasikan untuk kamu yang butuh bacaan ringan yang nggak butuh energi ekstra untuk berpikir.


“Terkadang, seseorang bisa begitu mudah menilai orang lain tanpa tahu cerita lengkap di baliknya. Padahal setiap manusia punya kisahnya sendiri.”


“Kejadian tidak menyenangkan dalam hidup bisa membuatmu terpuruk, namun ada orang-orang yang mampu belajar dan mengambil hikmah saat berada di bawah. Mereka bangkit dan menyadari kemampuan dan potensi yang selama ini terkubur.”




Minggu, 22 Januari 2017

[Book Review] The Ice Twins: Si Kembar yang Tertukar?






Judul: The Ice Twins
Pengarang: S.K. Tremayne
Penerbit: HarperCollins UK
Tahun Terbit: Januari 2015
Tebal: 384 halaman (e-book)


“My dad even gave them a nickname: the Ice Twins. Because they were born on the coldest, frostiest day of the year, with ice-blue eyes and snowy-blonde hair. The nickname felt a little melancholy: so I never properly adopted it. Yet I couldn’t deny that, in some ways, the name fitted. It caught their uncanniness.”


Sarah dan Angus Moorcraft kehilangan salah satu putri kembar mereka, Lydia pada tragedi menyedihkan. Setahun setelah kejadian itu, mereka memutuskan untuk mengajak putri mereka yang selamat Kirstie (ingat ya, KIRSTIE bukan KRISTIE, karena jujur saya baru sadar setelah kelar baca bukunya xD), meninggalkan hiruk-pikuk kota London dan pindah ke pulau pribadi yang diwarisi Angus dari neneknya, Torran Island untuk memulai kembali kehidupan rumah tangga mereka dari awal.

Sudah sejak lama sebenarnya Sarah menyadari gelagat berbeda yang ditunjukkan oleh Kirstie. Ada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan olehnya yang mengingatkan Sarah pada kebiasaan Lydia. Namun dia menganggap kalau hal tersebut hanya akibat ikatan yang tetap kuat antara saudara kembar meski salah satunya telah tiada.

Puncaknya, suatu hari Kirstie protes pada Sarah karena terus-terusan dipanggil Kirstie padahal dia adalah Lydia, dan Kirstie telah meninggal dunia. Kirstie dan Lydia memang kembar identik, susah untuk membedakan jika hanya dari tampilan. Selama ini mereka menggunakan cat kuku yang terus dipoles jika sudah mulai luntur dengan warna kuning dan biru. Atau memakaikan benda khusus pada pakaian/aksesori yang si kembar kenakan. Kuning untuk Lidya, dan biru untuk Kirstie. Secara kebetulannya, saat tragedi tersebut terjadi, si kembar mulai memaksa untuk punya style yang sama. Dan tepat di hari itu, pakaian yang mereka kenakan juga serupa.

Semenjak pernyataan Kirstie yang mengejutkan tersebut, Sarah mulai meragukan banyak hal, terutama apakah dia dan Angus telah salah mengidentifikasi putri kembar mereka sendiri? Benarkah demikian?


“Why do you keep calling me Kirstie, Mummy? Kirstie is dead. It was Kirstie that died. I’m Lydia.”


Saya pernah menyinggung soal salah satu postingan Mbak Jia Effendie tentang unreliable narrator di review The Girl on the Train yang saya tulis sebelumnya. Pada postingan di blognya tersebut Mbak Jia merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Saya yang penasaran lalu mengajak Mbak Vina, pemilik blog orybooks.com untuk memulai project baca bareng buku ini soalnya Mbak Vina juga pencinta buku sakit seperti saya x)

The Ice Twins dibuka dengan tenang dan alur yang lambat di mana pembaca mulai diperkenalkan pada satu per satu tokohnya dan pada premis besarnya. Tensi ketegangan semakin meningkat kala pembaca sampai di bagian ketika Sarah menumpahkan kecurigaan-kecurigaannya pada peristiwa kematian Lydia, pada Kirstie yang tingkahnya semakin aneh, dan pada suaminya sendiri. Kecurigaan-kecurigaan Sarah ini cukup menyiksa saya selaku pembaca, namun hal ini malah semakin membuat saya penasaran pada kebenaran yang sebenar-benarnya.

Selain pov Sarah, terdapat juga selingan point of view ketiga yang “mengikuti” sang suami, Angus. Di bagian-bagian tertentu penggunaan pov ini saya merasakan sedikit kebosanan sih. Tapi setidaknya, saya bisa rehat sejenak dari ketularan suudzon-nya Sarah x) saya bisa lebih bisa menaruh sedikit kepercayaan saya. Errr.... agak lebay ya? .___.

Menurut saya, bagian paling seru sekaligus seram di buku ini adalah saat rasa curiga Sarah semakin menjadi-jadi sampai membuat saya ketakutan sendiri. Tapi, yang juga tak kalah seru adalah bagian menjelang ending-nya, ketika segala hal menemukan titik terang, tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Lydia dan Kristie di hari naas itu, kenapa tragedi itu bisa terjadi.

Menyebut-nyebut buku ini punya unreliable narrator agak spoiler sebenarnya, karena julukan itu bisa dibilang termasuk dalam elemen kejut yang dimiliki bukunya. Saya sadar, dari awal tokoh Sarah memang sudah mencurigakan, namun selama belum dikonfirmasi oleh penulisnya, ya, kecurigaan saya hanya berwujud sebagai dugaan-dugaan xD. Tenang, meskipun paragraf ini terkesan spoiler, saya yakin kalau kamu memutuskan untuk membaca The Ice Twins setelah ini, kamu masih akan terkejut ;)) Dan hebatnya, tahu tidak? Bahkan di bab terakhirnya saya tetap dibikin terkejut! Sialan benar! Benar-benar sialan!

5 bintang deh untuk kegilaan yang mengakibatkan adanya diskusi (agak) panjang dengan Mbak Vina setelah kami selesai membaca. Karena sungguh, banyak sekali yang harus dibahas lebih lanjut mengenai buku ini (yang tidak bisa saya bahas di review ini karena akan terlalu spoiler). Banyak sekali.


“Because the truth was too much and so my lies became truth. Even for me. Especially for me.”