Sabtu, 30 November 2013

[Book Review] Kedai 1001 Mimpi by Valiant Budi





Judul: Kedai 1001 Mimpi
Pengarang: Valiant Budi
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2012(cetakan kedua)
Tebal: 444 halaman

“Kita ini konon pahlawan devisa. Tapi, kalau mati ya sudah, dianggap binatang saja.”

“Saya datang buat mempertebal iman, bukan jadi mainan.”

“Datang ke sini itu harus siap ‘dijajah’. Baik jiwa maupun raga!”

“Kamu tidak perhatikan, banyak orang MATI karena terlalu BANYAK TAU?!”

Buku nonfiksi ini bercerita tentang suka duka penulisnya sendiri—bang Vabyo—ketika dia menjadi seorang TKI di Arab Saudi. Bang Vabyo bekerja di satu cabang sebuah kedai kopi internasional di kota Dammam.

Banyak sekali kejadian-kejadian yang membuat saya cukup kaget tentang tingkah laku teman kerja, para pelanggan dan penduduk lokal. Termasuk juga soal pelecehan fisik maupun batin.

Baru awal kerja pun Pibi—atau Vibi, panggilan kesayangan bang Vabyo di Arab :D—sudah harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya sama sekali bukan dilakukan oleh barista. Belum lagi menghadapi para pelanggan yang anarkis dan rusuh. Pokoknya nggak kebayang deh ribetnya.

Ini nih salah satu cerita dari salah satu chapter yang saya suka; kebab 34:

“Katanya WIFI gratis? Mana ini gak nyambung-nyambung?!”
Aku segera memeriksa laptop mereka satu per satu. Ah, ternyata mereka belum mengaktifkan koneksi wireless-nya.
Setelah mereka semua berhasil tersambung ke jaringan wi-fi, giliran sang Baba membentak-bentakku, “Mana? Mana? Kok gak muncul apa-apa!?”
“Oooh, silakan buka dulu web browser-nya,” jawabku setelah melihat layar laptopnya. Lalu salah satu wanita yang mungkin istrinya tak mau kalah vocal. “Apa ini!? Cuma putih aja?”
“Oh, Madam, mau liat situs apa? Klik alamatnya di situ,” aku menunjuk kolom address pada web browser. Lalu mereka saling bergunjing satu sama lain dengan nada-nada beremosi jiwa. Sementara anak-anak kecilnya mulai menangis kebosanan, si anak tetua pun mulai angkat bicara, “ Ini terlalu rumit! Bagaimana kia tahu alamat situs yang ingin kita lihat?”
Si Bapak kembali unjuk rasa, “Kami sudah membeli laptop berteknologi tinggi! Harusnya gampang dioperasikan! Mungkin ini kamu saja yang kurang pengetahuan!!”
DUAR! Haitku meledak-ledak. Aku benci dituduh bodoh oleh orang goblok.
Aku tertawa serenyah batu neraka, “Teknologi tinggi juga mesti diikuti pengetahuan yang… ya, seenggaknya memadai. Kalau anda punya SMART PHONE, gak otomatis Anda jadi SMART PEOPLE kan?!”

Oh iya, jangan lupakan juga insiden om botol kecap ;))

Penasaran dengan kisah yang lain? Pasti penasaran dong? Ayo dong penasaraaaaaan x)) baca selengkapnya di Kedai 1001 Mimpi :))

“Kalo ada orang Arab marah-marah, pegang jenggotnya!”
“Kalo ngak jenggotan, pegang apanya?”
“Usahain kalo yang marah-marahnya itu mesti jenggotan.”

Seperti biasa, narasi bang Vabyo yang khas dan kocak tak pernah gagal membuat saya ingin terus membaca dan membaca hingga halaman terakhir karya-karyanya. Begitu pula dengan buku ini.

Saya memang sudah pernah membaca review-review tentang buku ini yang sebagian mengatakan kalau kaget dengan apa yang ditulis oleh sang penulis tentang sifat dan gaya hidup masyarakat di sana. Termasuk juga batasan-batasan dalam berbusana, bahkan pergaulan—yang terkadang membuat saya iba dengan para pria yang tinggal di sana xD. *eh, ralat, wanitanya juga sik*

Sayangnya yang paling mengganggu adalah typo-nya yang bertebaran. Untunglah kisah-kisah kocak, ajaib, mengharu biru di buku ini sukses membuat saya mengabaikan typo-nya itu. Saya harap jika nantinya buku ini akan cetak ulang lagi, bagian typo-nya bisa diperbaiki—mengingat akan hadirnya edisi 1002-nya *iyaa ini beneran, tanya bang Vabyo kalo ndak percaya ;))*, tidak menutup kemungkinan buku ini akan cetak ulang lagi *sotoy*.

Tidak hanya jelek-jeleknya melulu kok yang diceritakan, ada juga yang baik-baik. Yah walaupun yang jelek-jelek tetap yang paling menarik. Huahahahah.

Saya sudahi saja review ini daripada semakin ngawur yaaa xD

MEMORABLE QUOTES:
  • “Ingin mengeluh, tapi rasanya belum butuh. Mungkin ini sindrom anak bungsu. Dari kecil difitnah anak manja. Eh, tapi memang iya, kok. Hanya bedanya aku anak manja yang bisa diajak susah. Yeah.”
  • “Ternyata pada hari Jumat, dokter pun ikut merayakan hari raya akhir pekan. Aku berdoa semoga tidak ada ibu yang melahirkan saat itu atau bapak yang tersedak jenggot sendiri. Atau ini salah satu taktik mereka biar banyak yang meniggal di hari Jumat agar masuk surga?” – Hal. 127
  • “Berani karena benar, tapi yang salah bisa jauh lebih sangar.” – Hal. 231
  • “There’s a thing that money can’t buy. It’s called ATTITUDE.” – Hal. 371
  • “Tapi satu hal pelajaran yang gue dapet. Kita bisa mencari iman di mana aja, termasuk negara yang sering dibilang kafir sekali pun.” – Hal. 400

RATING 4/5

Jumat, 29 November 2013

[Book Review] Mary, Mary by James Patterson






Judul: Mary, Mary
Pengarang: James Patterson
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 456 halaman

“Jika mencintaimu adalah kesalahan, aku tidak ingin benar.”

Pembunuhan berantai terjadi di Hollywood. Yang menjadi korban adalah para tokoh papan atas Hollywood. Korban-korban ini dibunuh dengan keji oleh seseorang yang mengaku bernama Mary Smith. Lewat e-mail, Mary Smith mengirimkan rincian tentang pembunuhan yang dilakukannya ke seorang editor LA Times.

Agen FBI Alex Cross yang sedang liburan dengan keluarganya di Disneyland diminta untuk membantu kepolisian setempat menangkap pelaku pembunuhan berantai itu.

Tapi rupanya Mary Smith ini sangat pintar dan licin, bahkan jenis kelaminnya pun masih diragukan identitasnya—walaupun banyak yang mengira dia seorang perempuan.

Selain mengejar Mary Smith, Alex Cross juga dihadapkan dengan masalah pribadinya sendiri. Masalah keluarga, dan masalah kehidupan cintanya.

“Kadang-kadang norak itu bagus, bagus sekali, menjaga agar semuanya berada dalam perpektif yang tepat.”

Mary, Mary merupakan serial Alex Cross ke-11. Dan ini merupakan kali pertama saya membaca serial karya James Patterson ini. Karena itulah saya tidak bisa membuktikan apakah buku ini memang novel thriller James Patterson yang paling rumit seperti yang tertulis pada bagian belakang cover :D dan karena itu pula saya sedikit kesulitan membacanya, soalnya tak jarang menyinggung kejadian yang terjadi di seri sebelumnya.

Buku ini menggunakan multiple POV, cukup menarik membacanya. Tapi, penulisnya tergolong pelit dalam memberikan clue. Hal itu memaksa pembacanya untuk benar-benar menyelesaikan buku ini agar dapat mengetahui siapa pembunuh sebenarnya. Sayangnya menurut saya formula seperti itu cocok jika disuguhkan dalam bentuk visual atau film. Kalau di buku, sukses sih, sukses membuat saya terkantuk-kantuk. Lumayan buat pengantar tidur xD

Bagian awalnya-lah yang menurut saya paling membuat bosan. Tapi ketika bagian paruh akhir, konflik yang dibangun cukup menarik kok.

Salah satu yang saya suka dengan buku ini adalah halaman per-chapter-nya pendek-pendek. Jadi, bisa membantu saya sedikit mengatasi kebosanan saya akan masalah hidup si Cross.

Terjemahannya oke, tidak ditemukan typo dan cover-nya pun menarik. Sayang kertas yang digunakan kertas tipis buram (yang sering dipakai untuk buku-buku teenlit itu lho), tak jarang kertasnya mudah kusut atau malah robek.

Hampir lupa, bagian yang paling saya suka adalah tentang tes psikopat. Ini saya kutip bagian itu. *tenang, ini tak ada hubungannya dengan isi cerita kok jadi bebas spoiler ;))*

Ceritanya seperti ini. Pada pemakaman ibunya, seorang wanita bertemu dengan seorang pria dan langsung jatuh cinta. Tapi dia tidak pernah mengetahui nama, nomor telepon, atau apa pun tentang pria itu. Beberapa hari kemudian, dia membunuh adik perempuannya.
Sekarang… tesnya! Mengapa dia membunuh adiknya? Jika jawabanmu benar, berarti kau berpikir seperti seorang psikopat.
Sang pendongeng menjawab dengan benar, tentu saja. Dia langsung tahu jawabannya. Wanita itu membunuh adiknya sendiri… karena dia berharap pria yang dia sukai akan hadir dalam pemakaman.

Oh iya, yang membuat saya penasaran adalah semenarik apa si Alex Cross ini? Sampai-sampai banyak wanita merasa tertarik dengannya?

“Menghadapi anggota keluarga yang ditinggalkan akibat peristiwa pembunuhan selalu menghadirkan situasi sulit. Pada saat kau sangat membutuhkan informasi, mereka sama sekali tidak ingin membicarakan apa yang baru saja terjadi.”

“Dibutuhkan sikap dingin pada setiap lokasi pembunuhan, dan aku bisa merasakannya seperti kulit kedua yang kukenakan. Tapi dibutuhkan keseimbangan juga. Aku tidak pernah ingin melupakan bahwa ini mengenai manusia, bukan hanya mayat, bukan hanya korban. Kalau aku sampai kebal terhadap hal itu, aku tahu sudah waktunya bagiku untuk mencari pekerjaan lain.”


RATING 3/5

Kamis, 28 November 2013

[Book Review] Postman to Heaven by Eriko Kitagawa





Judul: Postman to Heaven
Pengarang: Eriko Kitagawa(story) & Byun Hye-Jun(illustrations)
Penerbit: M & C Comics
Tahun Terbit: 2012
Tebal: 200 halaman

“Tidak ada penyelesaian dalam dunia ini. Kau cuma perlu energi untuk melangkah ke depan.”

Di internet beredar kabar kalau di sebuah bukit ada kotak surat. Kalau kita memasukkan surat itu di sana, surat itu akan dikirimkan ke surga. Pengantar surat yang sangat tampan mengirimkan suratnya ke surga. Dan kalau beruntung, kau bisa bertemu dengan pengantar suratnya.

Gong Ha Na, yang membuat surat makian untuk mantan pacarnya yang telah meninggal bermaksud mengirimkannya dengan memasukkan surat yang dibuatnya ke kotak surat misterius itu. Di sana dia bertemu dengan pria asing yang mengaku sang pengantar surat.

Kebetulan Ha Na baru dipecat dari pekerjaannya dan sedang menganggur, membuat Ha Na menerima tawaran pria itu untuk membantu pekerjaannya. Mulai dari membaca surat-surat itu sampai membantu orang-orang yang mengirimkan surat itu untuk setidaknya meringankan kesedihan mereka.

Perlahan namun pasti, seiring dengan bersamanya mereka menjalankan “misi”, Ha Na mengetahui sedikit demi sedikit identitas sang pria tampan misterius itu.

“Budha berfirman bahwa bila kita melihat dengan mata bodoh, yang terlihat hanyalah kebodohan.”


Manhwa ini merupakan adaptasi dari salah satu project Telecinema7, yaitu kolaborasi (semacam ftv—film televisi) antara sutradara dari Korea Selatan dengan penulis naskah dari Jepang yang nantinya ditayangkan di salah satu stasiun televisi kedua negara tersebut. Fyi, di Korea Selatan yang semacam ftv ini disebut drama spesial, yaitu drama yang (biasanya) hanya terdiri dari satu episode saja :)).

Sebelum membaca manhwa ini tentu saja saya sudah menonton versi drama spesialnya yang diperankan secara epic oleh Han Hyo Joo dan Jaejoong, salah satu anggota grup vokal JYJ. Bisa dibilang itulah salah satu faktor yang membuat saya tertarik untuk membaca manhwa ini.

Jika boleh membandingkan, keduanya sangat mirip *ya iyalah namanya juga adaptasi xD*, yang beda (dan cukup mengecewakan), si karakter yang diperankan Jaejoong—sang postman—digambarkan berambut panjang bak model iklan shampoo .__. Saya akui sih kalau penggambaran kedua karakter utama ini cukup berbeda dengan aslinya.


 penampakan ilustrasi sosok postman

Dan yang beda lainnya adalah ending-nya. Menurut saya ending di versi drama spesialnya lebih bagus dan manis daripada ending di manhwa. Tapi dua-duanya saya suka kok x))

Yang jelas tidak perlu waktu lama untuk menyelesaikan manhwa ini, sekali duduk pun bisa langsung selesai, yang cukup menyita waktu (dan sedikit menguras air mata. Sedikit loh. Beneran sedikit kok, ciyus xD) adalah ketika mencoba meresapi perasaan para pengirim surat yang kehilangan orang-orang terkasihnya.

Overall, 3.5 bintang pantas diberikan untuk manhwa yang satu ini ;)

“Jangan menangis, berjalanlah. Jangan menangis, belajarlah. Jangan menangis, kejarlah. Jangan menangis, selesaikanlah. Lalu, majulah. Satu langkah pun tidak apa-apa.”


RATING 3.5/5

Selasa, 12 November 2013

[Book Review] Tokyo by Sefryana Khairil






Judul: Tokyo: Falling(Setiap Tempat Punya Cerita #6)
Pengarang: Sefryana Khairil
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 338 halaman

“It doesn’t matter who hurt you or broke you down. What matter is who make you smile again.”

Percayakah kalian pada kebetulan?

Adalah Thalia dan Tora yang sama-sama pergi ke Tokyo untuk liputan demi tuntutan majalah tempat mereka bekerja masing-masing. Tora dan Thalia tak sengaja dipertemukan dalam insiden kecil yang membuat lensa kamera milik Thalia rusak.

Karena tidak ada jalan lain,—dan hanya ini alternatif terbaik—Tora dan Thalia memutuskan untuk liputan bersama dan membagi jadwal tempat kunjungan mereka dengan memakai lensa kamera Tora secara bergantian.

Dan kebetulannya lagi, mereka berdua pergi ke Tokyo bukan hanya tuntutan profesi, tapi juga mengejar dan merebut kembali cinta masa lalu mereka.

Berhasilkah mereka menjalankan “misi” tersebut? Atau setelah beberapa hari bersama mereka malah jatuh cinta satu sama lain? Buktikan  sendiri dalam Tokyo…

“Apa kamu bahagia?”
“Kenapa pertanyaanmu bisa sama dengan pertanyaan sahabatku?”
“Karena itu intinya.”
“Bukannya kalau kebutuhan kita terpenuhi dan kita merasa aman, kita bahagia?”
“Harta sebanyak apa pun nggak bisa membeli kebahagiaan.”


Okay, sebenarnya saya ragu-ragu ketika akan memutuskan untuk membeli buku ini. Karena ini merupakan serial STPC terakhir :( walaupun kabarnya serial STPC akan kembali lagi dan mengajak pembacanya berkeliling ke kota-kota lain—yang saya cukup yakin kalau itu akan lama—, tetap saja ada sedikit rasa akan rindu dengan project yang berhasil(karena setelah kemunculan STPC kemudian banyak yang meniru dengan format serupa namun sedikit “dimodifikasi”) ini.

Menurut saya Tokyo cukup lumayan menjadi penutup kloter pertama STPC. Penulisnya berhasil mengajak saya menjelajahi seluk-beluk kota Tokyo baik bagian moderen maupun tradisional, juga berhasil membuat saya terhanyut dengan perasaan masing-masing kedua tokoh utama.

Tapi… sangat disayangkan karena saya tidak merasakan feel Tokyo ketika membaca buku ini. Deskripisi tempat segala macam memang bagus tapi aura Tokyo-nya kurang dieksplor. Misalnya begini, ketika membaca London saya sangat-sangat merasakan bagaimana suasana kota London yang kelabu dan sering meneteskan air dari langit itu. Seakan-akan saya memang berada di sana. Nah, ketika membaca Tokyo saya hanya seperti melihatnya dalam film atau foto tempat-tempat keren yang digambarkan oleh penulisnya.

Dan menurut saya endingnya cukup mengecewakan dan kurang greget! Saya bukan termasuk yang membenci ending gantung, tapi ending buku ini bagi saya bukan gantung, tapi nanggung -____-

Di balik kekurangannya, Tokyo cukup asyik untuk dibaca. Dan sisi positifnya saya suka bagaimana sang penulis membuat saya sama sekali tidak membenci tokoh Hana dan Dean. Semuanya dibuat manusiawi, termasuk karakter Thalia dan Tora. Good job :))

“If home is where the heart is, then my home is you.”

MEMORABLE QUOTES:

  • “Rindu ini masih sama. Masih bercerita tentangmu.” – Hal. 2

  • “Di sanalah aku dan kamu bertemu, tanpa pernah membuat janji lebih dulu.” – Hal. 20

  • “Rezeki aja bisa datang tiba-tiba, jodoh juga bisa.” – Hal. 55

  • “Katanya, mantan sebaiknya tetap jadi mantan. Letaknya di masa lalu, bukan masa depan.” – Hal. 56

  • “Jangan cepat-cepat memutuskan lo mencintai seseorang, kalau lo sendiri nggak yakin.” – Hal. 153

  • “Relationship is like sailing a boat. To make the boat sail, it needs two persons to ride it. Two persons to paddle. If you’re the only one paddling, you’ll get tired eventually.” – Hal. 180

  • “Mungkin ada kalanya cinta butuh jarak. Bukan untuk berpisah, tapi untuk menguji besarnya cinta itu sendiri.” – Hal. 242

  • “Kamu tahu apa yang tidak kita miliki dari masa lalu? Kesempatan untuk mengulangnya lagi.” – Hal. 292


RATING 3/5