Judul: Malam Ini Aku
Akan Tidur di Matamu
Pengarang: Joko
Pinurbo
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: Agustus 2016
Tebal: 136 halaman
“Mataku berhutang kepada matamu.
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita” – Kepada Helen Keller
Saya masih keukeuh memercayai anggapan bahwa buku itu sama kayak jodoh, kalo
emang sudah ditakdirkan untuk kita baca, bagaimana pun jalannya pasti kita
diberi kesempatan untuk membacanya. Bisa lewat nggak sengaja kebeli pas iseng
mengunjungi toko buku, pinjaman dari teman, atau dapet gratisan. Buku kumpulan
puisi ini juga, saya mendapatkannya dari SCOOP lewat kuis #SCOOPWishlist
beberapa waktu yang lalu.
PUISI. P-U-I-S-I. Mungkin tak peduli berapa
kali pun saya membaca buku puisi, dan mereview-nya, saya tetap akan
membicarakan hubungan unik saya dengan puisi, bagaimana saya tetap berjodoh
dengan buku-buku puisi meski jarang menemukan yang benar-benar bisa saya
nikmati. Bagaimana sebuah buku kumpulan puisi bisa begitu memukau saya dengan
ke-relate-annya dengan kehidupan
saya. Bagaimana sebuah buku puisi meski sudah memusingkan otak saya ketika
membacanya, tak membuat saya kapok untuk membaca buku kumpulan puisi yang lain.
Jika menengok lagi sejarah hidup
saya, ketika saya masih di bangku sekolah, masih menjadi remaja kinyis-kinyis
*silakan kalau mau muntah, saya saja yang nulis jijik sendiri kok*, saya paling
benci diberi tugas menulis puisi. Saya jauh lebih suka tugas menulis cerpen
yang cukup memerlukan imajinasi dan kata-kata sederhana untuk menceritakannya. Kalau
puisi, entahlah sampai sekarang pun anggapan saya puisi adalah sesuatu yang
sakral, salah pemilihan satu kata pun akan mengurangi esensinya, akan berkurang
keelokannya.
Saya pernah, pake shampo lain,
ketombe balik lagi *abaikan saja* memberikan puisi karya saya sendiri untuk
seseorang yang sedang berulang tahun, sebagai hadiah. Katanya sih, dia suka, saya
senang sih, tak peduli entah itu memang dari hatinya atau sekadar basa-basi
demi kesopanan semata. Sudah ah, dilarang baper,
saya kan sudah mupong x)) Mari bahas
buku kumpulan puisi berjudul menarik ini saja.
“...
Pohon keramat itu selalu ramai dikunjungi peziarah
yang datang untuk memohon berkah dan tuah.
Dan kata orang, hanya yang kudus dan bersih hidupnya
boleh ke sana. Sedangkan aku seorang pendosa
yang ketika lahir saja sudah tega menyiksa
dan melukai seorang wanita.
...” – Pohon Perempuan
Berbicara mengenai buku puisi ini,
cerpen-cerpen di dalamnya ditulis oleh Joko Pinurbo dalam kurun waktu
1980an-2012. Sebagian puisi-puisi yang ditulis dalam kurun waktu tersebut telah
dihimpun di dalam buku puisinya yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi,
sebagiannya lagi ada di dalam buku ini.
Untuk puisi-puisinya, saya malu
mengakui kalau sedikit sekali puisi di dalamnya yang saya sukai. Bukan. Bukan
karena jelek, tapi puisi-puisi di dalam buku ini sudah berada di kelas berbeda
dari yang bisa saya cerna. Sungguh, banyak yang tidak saya mengerti maksud
puisi tersebut, terutama yang panjang-panjang sampai beberapa halaman. Makanya
saya yakin, pencinta puisi sejati pasti akan menyukai buku ini.
Beberapa puisi yang saya suka di
antaranya ada Tuhan Datang Malam Ini,
Pohon Perempuan, Doa Mempelai, Selamat Tidur, Kepada Hellen Keller, dan Ingatan. Namun sayang, puisi yang
kemudian dipilih menjadi judul buku ini terpaksa harus masuk ke kategori belum
berhasil saya cerna sampai sekarang. Padahal sepertinya (((sepertinyaaa x))),
puisi ini bagus dan punya makna mendalam.
Untuk puisi paling memukau, saya
menjagokan puisi berjudul Selamat Tidur.
Puisi ini ditulis di tahun 2003 ajaibnya amat sangat sesuai sekali dengan
kondisi sekarang. Temanya biasa, tapi sindirannya amat terasa. Saya takjub
sekaligus kagum. Keren deh.
Terima kasih juga buat SCOOP atas
hadiahnya, e-book memang menjadi
solusi untuk berbagai persoalan pembaca buku mulai dari mood baca menurun (e-book
bisa dibaca di mana saja, kapan saja), sampai rasa penasaran pada buku-buku
yang baru terbit namun tak ingin kamu punya karena rak bukumu yang sudah
terlalu penuh. Sebagai penutup review
ini, saya sertakan puisi favorit yang telah saya sebutkan tadi.
Selamat Tidur
Telepon genggam mau tidur. Capek.
Seharian bermain monolog. Banyak peran.
Konyol. Enggak nyambung.
Paling pusing bicara dengan bahasa siluman.
Serba akronim dan singkat.
Maunya hemat waktu. Enggak hemat pikiran
dan perasaan. Sok cerdas. Pemalas.
Paling seru bisa ngakak-ngakak sendirian.
Ha-ha-ha. Atau mengumpat. Bangsat.
Brengsek. Asu. Gombal. Rasain. Mampus.
Paling berat bikin rayuan. Aduh cakepnya.
Pinjam senyumanmu dong. Mabuk yuk. Sip.
Paling senang sebelum tidur bisa memainkan
beragam musik yang semuanya sesungguhnya
hanya variasi suara tangisan seorang bayi.
Beethoven, telepon genggam mau tidur.
Boleh dong pinjam telingamu yang tuli
untuk menampung bunyi.
(2003)
nice makasih kak
BalasHapusbpom bogor