Sabtu, 26 November 2016

[Book Review] 9 November: Benang Merah dari Segala Hal yang Terjadi






Judul: 9 November (November 9)
Pengarang: Colleen Hoover
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: November 2016
Tebal: 416 halaman


“Karena jatuh cinta itu mudah, Ben. Bagian yang sulit itu ketika kau ingin keluar dari sana.”


9 November. Hari ketika peristiwa naas yang menimpa Fallon terjadi. Hari yang membuat hidupnya berubah dari seorang aktris muda naik daun, bintang serial televisi remaja yang digadang-gadang punya potensi besar untuk punya karir cerah, menjadi seorang cewek minderan dengan bekas luka di wajah dan tubuhnya.

9 November. Hari ketika Fallon bertemu dengan Ben untuk pertama kalinya. Ben yang tiba-tiba mengaku sebagai pacar Fallon di depan ayahnya yang menyebalkan yang berusaha mencegah rencana Fallon untuk pindah ke New York demi sebuah awal baru, demi mengejar mimpi berada di panggung-panggung Broadway.

9 November. Menjadi satu hari yang ditetapkan sebagai jadwal bertemu Fallon dan Ben tanpa berkomunikasi lewat apa pun sebelumnya. Di 9 November pertama itulah mereka memberikan PR untuk masing-masing: Fallon harus mengikuti banyak audisi untuk pertunjukan Broadway sedang Ben harus memulai menulis novel dengan mereka berdua sebagai tokoh utamanya. Hanya satu hari di dalam satu tahun, mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama. Anehnya ritual pertemuan ini bukannya menjauhkan, malah semakin membuat Fallon dan Ben terikat dalam perasaan menggebu-gebu.

9 November. Menjadi hari ketika Fallon mengetahui kebenaran yang dirahasiakan Ben. Kebenaran  tentang apa yang telah dilakukan Ben yang menjadi benang merah dari semua 9 November yang mereka lalui. Kebenaran tentang hal buruk yang menimpa Fallon bertahun-tahun silam. Ketika kebenaran itu telah terkuak, masihkah 9 November menjadi hari spesial yang ditunggu-tunggu?

“Butuh waktu empat tahun untukku akhirnya jatuh cinta seutuhnya pada lelaki itu.
Hanya butuh empat halaman untuk berhenti mencintainya.”

Saya tak menyangka kalau akhirnya saya akan menyukai buku ini. Saya punya pengalaman “buruk” dengan Colleen Hoover, oke, itu lebay. Nggak buruk-buruk amat sih hanya bukunya yang berjudul Hopeless tidak berhasil saya selesaikan karena kurang sesuai dengan selera saya. Saya simpulkan begitu karena rata-rata pembaca yang ngikutin tulisannya Colleen Hoover pasti mengatakan kalau Hopeless adalah yang paling menjadi favorit mereka dibanding yang lain. Dan saya lega saya telah memutuskan memberikan kesempatan kedua untuk Colleen Hoover ketika melihat betapa cantiknya cover buku ini.

Cerita di buku ini dibagi per bab dari November Pertama hingga November Terakhir. Dan hal ini membuat bukunya tidak membosankan. Alurnya cepat. Sekaligus dibikin penasaran dengan apa yang terjadi pada kedua tokoh utamanya selama tahun itu. Lewat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Ben demi kepentingan novelnya, dan percakapan-percakapan mereka berdua, pembaca diajak langsung untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kedua tokoh tersebut sepanjang tahun sebelum mereka bertemu pada 9 November.

Saya suka bagaimana penulisnya berhasil mempertahankan rasa penasaran pembacanya tapi tidak sampai membuat pembaca jadi kesal sampai akhirnya memutuskan untuk meninggalkan bukunya, dengan membuka sedikit demi sedikit selubung misterinya.

Colleen Hoover mampu menyampaikan situasi yang dialami oleh tokohnya serta bagaimana perasaan tokoh tersebut tentangnya dengan sangat baik. Saya ikut kesal pada ayah Fallon yang sangat tak suportif, saya ikut patah hati ketika tahu siapa yang dikencani Ben di November Keempat, saya ikut deg-degan saat Fallon diam-diam membaca novel yang ditulis oleh Ben. Dan bagian novel yang ditulis oleh Ben ini benar-benar ditulis ulang, disuguhkan layaknya sebuah novel baru, menjadi novel di dalam novel. Sangat meyakinkan kalau tulisan tersebut memang hasil dari pemikiran Ben meski yang disuguhkan hanya beberapa bab.

Overall, surprisingly saya puas dengan buku ini. Saya jadi mau nyoba baca bukunya Colleen Hoover yang lain nih. Tapi bingung mau baca yang mana dulu, Slammed, Maybe Someday, Ugly Love, atau Confess. Ada saran?


“Cinta seharusnya terjalin antara dua orang, dan jika tidak seperti itu, lebih baik aku keluar dibanding ikut serta dalam perlombaan.”


“Kau takkan pernah bisa menemukan diri sendiri jika kau tersesat dalam diri orang lain.”




Jumat, 18 November 2016

[Artikel] Tentang SCOOP Premium dan Alasan Kenapa Kamu Harus Coba






SCOOP menawarkan hal baru lewat fitur SCOOP Premium. Jika dulu tawaran untuk pengguna yang purchase premium hanya bebas membaca ribuan majalah di SCOOP, sekarang pengguna dimanjakan dengan tak hanya majalah, tapi juga ribuan buku yang ada di SCOOP asal buku tersebut terbitan dari Kompas Gramedia Grup (Gramedia Pustaka Utama, KPG, Grasindo, Elex, dll). Biaya purchase-nya juga tak begitu mahal untuk bisa membaca dengan bebas selama sebulan, cukup Rp 89ribu saja.

SCOOP Premium sangat membantu saya yang akhir-akhir ini berusaha keras menahan diri untuk beli buku-buku baru karena: satu, harganya yang semakin mahal, dua, rak saya yang cuma satu dan hampir nggak muat lagi untuk menampung buku baru. Dan saya sadar kalau saya semakin selektif membeli buku. Pasti ada rasa sesal kala buku tersebut tidak memenuhi ekspektasi. Tapi dengan SCOOP Premium, karena bacanya gratis, dan cukup disimpan lewat telepon genggam, masalah tersebut "agak" terpecahkan (sebab sayangnya, nggak semua buku terbitan KG Grup tersedia di SCOOP .__.)

Cara purchase-nya gampang banget, seperti ketika kamu mau beli buku di SCOOP, metode pembayarannya ada bermacam-macam. Setelah akunmu menjadi premium, nanti di setiap buku yang bisa dibaca, tombol “purchase” yang sebelumnya nongol ketika akunmu belum premium berubah menjadi tombol “download”. Tinggal pilih yang mau dibaca, terus diunduh. Setelah unduhan selesai dan buku tersebut masuk ke Library-mu, bukunya sudah aman untuk dibaca bahkan saat ponselmu sedang tidak ada koneksi internet.


Tampilan halaman store pada SCOOP Premium



Satu kekurangan saat akun kita sudah premium, buku-bukunya jadi tidak bisa dibeli. Tapi tempo hari saya menganggap kekurangan ini sebagai berkah: dompet saya bisa terselamatkan saat flash sale menggiurkan diskon 80% kemarin di hari jadi SCOOP yang ke-6. Huahahaha....

Motivasi saya purchase ke premium sih karena saya mau baca buku-buku puisi yang banyak terbit belakangan dan cukup menarik perhatian saya (tapi tak ada keinginan untuk saya miliki #tsaah). Tapi saya malah iseng nyari judul-judul novel (dari mulai yang terbitan agak lama, sampai yang sekarang sudah susah didapatkan) yang dulu ingin saya baca tapi belum kesampaian.

Kesimpulannya, saya puas dan lega telah memutuskan untuk mem-premium-kan akun SCOOP saya. Sejauh ini saya sudah baca buku-buku puisi, buku kumpulan doa yang kemarin baru saya review, terus The Book of Forbidden Feelings, banyak deh. Dan yang menunggu untuk saya baca juga tak kalah banyak: Genduk, Jakarta Sebelum Pagi, Napas Mayat, Dru dan Kisah Lima Kerajaan, Second Chance Summer, Kembar Keempat, Dimsum Terakhir, Let It Snow, dan list ini masih akan terus bertambah selama premiumnya masih berlaku x) Mungkin nantinya ada beberapa yang tidak berhasil saya selesaikan, tapiiii, udah gratis ini kan? Nggak ada salahnya download-download dulu buku yang menarik perhatian ;)


Download-download dahulu, bacanya bisa belakangan xP

Rabu, 16 November 2016

[Book Review] Kamu, Aku, Doa.: Kumpulan Doa Tentang Urusan Hati






Judul: Kamu, Aku, Doa.
Pengarang: Adityayoga & Zinnia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: November 2016
Tebal: 76 halaman




“Ya Tuhan,

Berikanlah aku pencerahan,
sebetulnya aku siapanya dia sih....


Amin”


Pernahkah kalian memperhatikan kalau dewasa ini, bahkan hal sederhana seperti buku pun ikut berkembang? Maksud saya, sekarang buku tak hanya dinikmati dengan dibaca tok, baik di dalam maupun luar negeri penerbit berlomba-lomba menerbitkan buku-buku berkonsep unik. Seperti, yang sempat menjadi tren beberapa bulan lalu, buku mewarnai yang target pasarnya untuk orang dewasa. Lalu buku yang menyediakan beberapa halaman kosong untuk ditulisi, digambari, dicoret-coret oleh pemiliknya. Terus ada buku puisi yang tak hanya berisi puisi tapi pembacanya bisa menikmati foto-foto atau ilustrasi di dalamnya. Tak ketinggalan, buku-buku kombinasi antara ilustrasi dan tulisan-tulisan pendek dengan tema tertentu.

Kemudian saya menemukan buku berukuran minimalis ini (yang selanjutnya akan saya sebut sebagai buku kumpulan doa). Buku kumpulan doa ini terdiri dari lima judul dengan tema berbeda: “Kamu, Aku, Doa.”, “Monas, Macet, Doa.”, “Lapar, Gosong, Doa.”, “Desain Grafis, Deadline, Doa.”, dan “Ponsel, .3gp, Doa.”. Saya sudah baca semuanya tapi yang paling menjadi favorit saya lalu saya putuskan untuk menulis review-nya adalah ”Kamu, Aku, Doa.”


“Ya Tuhan,

Pengen selingkuh, tapi saya nggak
punya pacar... gimana dong?”


Isi buku ini cuma doa-doa pendek kepada Tuhan tentang urusan hati #tsaah. Tapi meski pendek, doa-doanya ngena. Ada curhatan tentang jomblo yang kepingin punya pacar, tentang pacar yang dianggurin ketika diapelin, tentang baper ke mantan, tentang selingkuhan, macem-macem deh pokoknya. Efek yang ditimbulkan juga macem-macem, ada yang bikin meringis, ketawa, menyeringai, hingga baper x(

Yang saya kutip di review ini hanya sebagian kecil dari isinya, masih banyak lagi yang lebih unik, lucu, koplak. Percaya sama saya, kalo kamu kepingin baca buku unik yang bisa dibaca sekali duduk sekaligus enak dibaca berulang-ulang, nggak akan nyesel baca buku ini. Seenggaknya akan ada beberapa doa di buku ini yang pernah diam-diam dalam hati pernah kamu panjatkan ke Tuhan. Relatable banget!


“Ya Tuhan,

Jauhkanlah kami dari mental burung
kakatua yang setelah ‘tekdung’
lalu dia bersenandung ‘lalalaaa’.


Amin”





[Book Review] Aku, Earl, dan si Cewek Sekarat: Sebuah Sicklit yang Tak Biasa






Judul: Aku, Earl, dan si Cewek Sekarat
Pengarang: Jesse Andrews
Penerbit: POP
Tahun Terbit: Oktober 2016
Tebal: 334 halaman


“Buku ini sama sekali tidak mengandung Pelajaran Penting soal Hidup, Fakta tentang Cinta yang Jarang Diketahui, Momen-momen Ketika Kita Sadar Telah Meninggalkan Masa Kanak-kanak Selamanya, dan lain-lain yang menguras air mata. Selain itu, berbeda dengan kebanyakan buku yang tokoh perempuannya terkena kanker, cerita ini tidak memuat paragraf sekalimat berisi paradoks berbunga-bunga yang mesti kita anggap bermakna dalam karena ditulis dengan huruf miring.”


SMA itu payah, dan cara Greg Gaine untuk melewati kepayahan SMA adalah dengan tidak bergabung di kelompok mana pun di sekolahnya. Dia berbaur dengan semua kelompok-kelompok itu tanpa terikat dengan mereka, mulai dari anak-anak gereja, anak-anak teater, atlet sekolah, hingga bocah-bocah culun berkostum.

Lalu suatu hari dia mendengar dari ibunya kalau Rachel Kushner menderita leukemia myeloid akut, dan ibunya menyuruh Greg untuk berteman dengan Rachel. Rachel yang bertahun-tahun lalu saat mereka satu kelas di Sekolah Minggu Yahudi pernah menjadi korban php Greg karena Greg menyukai cewek lain di kelas itu dan untuk menarik perhatian cewek itu, dia memberikan perhatian berlebih ke Rachel. Cara yang aneh dan sangat tidak efektif memang.

Karena terus dipaksa ibunya, akhirnya Greg setuju untuk bertemu dengan Rachel demi menyenangkan ibunya. Percobaan pertama bertemu dengan Rachel setelah sebelumnya beberapa kali mencoba meneleponnya dengan percakapan awkward, lumayan berjalan lancar. Greg dengan selera humornya berhasil membuat Rachel tak berhenti tertawa dengan jokes “bantal” dan “merancap”-nya.

Greg mencintai film, dan sering membuat film dengan seorang teman yang lebih sering disebutnya sebagai “mitra kerjanya”, Earl. Tapi hubungannya dengan Rachel mengubah semua pola bersosialisasi ala Greg selama ini termasuk hubungan baiknya dengan Earl. Selain itu usahanya untuk membuat dirinya tetap tak menonjol sejak kelas sepuluh hingga dua belas menjadi sia-sia ketika dia memutuskan untuk mengakrabkan diri dengan Rachel si cewek sekarat.


“Begitulah. Lenyap sudah selubung tak kasatmata yang sudah kurajut dengan susah payah sepanjang masa SMA, yang meluruh sedikit demi sedikit seiring pertemananku dengan Rachel. Aku dulu cuma Greg Gaines yang biasa-biasa saja. Kemudian aku menjadi Greg  Gaines, Teman Rachel dan Mungkin Pacarnya.”


Kalau kamu ketika membaca judul buku ini, mengharapkan sebuah sicklit yang menguras air mata dengan petuah-petuah bijak tentang betapa berharganya kehidupan, lupakan saja rencanamu untuk baca buku ini. Tapi, jika kamu mau mencoba sebuah sicklit yang amat berbeda, well, you really shouldn’t waste your time and go read this book! Buku ini kocak banget, parah! Ocehan-ocehan Greg tentang kemalangan-kemalangannya, jokes yang dilontarkannya, kelakuan orangtuanya (terutama ibunya) yang lebay.

Saya menyukai karakter Greg dengan segala ke-witty-an dan ke-insecure-annya. Sangat menarik ketika saya selaku pembaca dapat mengetahui langsung pikiran-pikiran terdalam Greg, di mana dia merasa terbebani dengan Rachel namun di sisi lain dia bersimpati juga senang dapat menghibur Rachel. Pikiran-pikiran egoisnya untuk tetap berharap Rachel dapat tetap tinggal, yang kemudian membuatnya merasa buruk dengan berpikiran seegois itu.

Konsep bukunya yang seperti diary suka-suka Greg membuat saya jadi merasa mengenal Greg. Keunikan lain dari gaya berceritanya adalah dengan adanya selingan-selingan “reka ulang adegan” berupa skrip film (karena Greg pencinta film, obviously) dan list-list konyol buatan Greg, kedua selingan tersebut membuat bukunya menjadi lebih menarik dan tak membosankan.

Jauh sebelum baca buku ini saya sudah menonton filmnya, dan saya tidak menyesal sudah lebih dulu menonotn filmnya. Jika baca bukunya duluan, mungkin kadar kesukaan saya pada filmnya akan jauh berkurang. Di bukunya ini lebih sedikit romance-nya. Namun karena media audiovisual dalam film mampu mengeksplor beberapa hal yang terbatas di bukunya, poin lebih dari filmnya adalah film-film buatan Greg dan Earl yang kelihatan lebih menarik. Sedang di buku pembaca hanya disuguhkan sedikit deskripsi mengenainya saja (namun tetap lucu sih, ide-ide film mereka gila! xD).

Meski bukunya berhasil bikin saya ngakak kejer, tetap ada bagian nyeseknya, tapi tidak berlebihan. Saya suka epilognya yang menyelipkan twist kecil, juga alasan kenapa Greg menulis buku ini, dan untuk siapa ia ditujukan. Menarik ;) Terima kasih untuk POP (imprint dari KPG) yang sudah menerjemahkan buku ini. Terima kasih juga atas terjemahannya yang bagus dan tetap bisa mempertahankan kelucuan jokes-nya.


“Aku tahu bahwa Rachel sekarat tapi semula aku belum betul-betul mengerti, kalau kalian paham maksudku. Maksudku, akal kita tahu bahwa seseorang sedang sekarat, tapi hati kita belum menerima dan, ketika hati kita mengakui fakta tersebut, emosi kita bakal teraduk-aduk.”