Jumat, 27 Februari 2015

[Book Review] The Devil in Black Jeans by aliaZalea








Judul: The Devil in Black Jeans
Pengarang: aliaZalea
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 325 halaman

“Saya selalu mengira laki-laki seperti kamu pasti sering nge-bullshit dengan mengucapkan kata cinta kepada siapa saja, bahwa kata itu tidak berarti untuk kamu, tidak seperti untuk saya.”

Dara betul-betul mencintai pekerjaannya sebagai personal assistant para artis, sampai dia bekerja untuk Blu, penyanyi opera Indonesia berumur lima belas tahun. Masalahnya bukan pada Blu, tapi kakaknya, yaitu Johan Brawijaya, drummer paling ganteng se-Indonesia yang superprotektif kepada adiknya dan membuat Dara ingin mencekiknya setiap kali bertemu.

Sebagai drummer kawakan Indonesia dengan wajah di atas rata-rata dan masih single, Jo mencintai kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dia mau. Kebebasan ini punah dengan kedatangan adiknya di rumahnya. Seakan itu belum cukup parah, kini seorang PA artis yang sok tahu, super menyebalkan, berbentuk Dara, muncul dan mulai mengatur kehidupannya.

Satu-satunya hal yang membuat mereka berdua bisa saling bertoleransi adalah karena Blu. Atau itulah yang mereka pikir hingga ciuman itu terjadi. Satu ciuman yang membuat keduanya berpikir dua kali tentang perasaan mereka terhadap satu sama lain.

“Kamu sudah membuat hidup saya berantakan, dan mungkin saya seharusnya marah pada kamu, tapi yang ada dipikiran saya adalah saya nggak peduli kalau hidup saya jadi jungkir balik selama ada kamu di dalamnya.”

Hai ... hai ... sorry for the late posting :D saya lumayan sibuk akhir-akhir ini, plus belum menemukan buku yang bisa bikin saya bersemangat untuk menyelesaikannya. Jujur saya lupa kalau hari ini adalah jadwal posting bareng BBI. Untunglah baca bukunya udah kelar, jadi tinggal bikin reviewnya.

Posbar bulan ini temanya profesi. Dan saya kemudian memilih bukunya aliaZalea yang sudah cukup lama menjadi timbunan (padahal buku pinjeman x))). Menurut saya walaupun buku-buku aliaZalea itu bukan selera saya, di buku-bukunya dia bisa membuat profesi yang dimiliki oleh karakternya tidak hanya sekadar tempelan. Setidaknya pembaca bisa paham secara garis besar tentang profesi sang tokoh utama.

Yang paling suka dari buku-bukunya aliaZalea adalah hubungan antara karakter-karakternya di beberapa buku sebelumnya (yang bisa dibilang serial) ini nggak terkesan maksa. Beberapa karakter yang menjadi tokoh utama di buku sebelumnya juga muncul di buku ini sebagai cameo. Dan saya merasa kemunculan mereka memang natural, tidak dipaksakan, karena hubungan antar karakter itu jelas, bahkan ada yang sudah dijelaskan di buku sebelumnya.

Well, buat saya The Devil in Black Jeans bisa dibilang mirip-mirip dengan buku-bukunya aliaZalea yang lain, masih dengan karakter utama cowok yang serba sempurna. Dan kelabilan si Dara, untungnya kelabilan Dara ini alasannya jelas, dia masih bersama Panji.

Sejauh ini dari buku-bukunya aliaZalea yang saya baca, buku ini menurut saya yang paling lumayan. Saya suka penyelesaian konfliknya. Saya suka endingnya :))

“Kamu perlu seseorang yang membiarkan kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Seseorang yang bisa menghargai kamu apa adanya. Dia nggak akan bisa memberikan itu semua. Cepat atau lambat dia akan membuat kamu tidak bisa bernapas karena dia hanya akan mencekik kehidupan kamu”

RATING 3/5

Rabu, 25 Februari 2015

[Book Review] Warna Hati by Sienta Sasika Novel




Judul: Warna Hati
Pengarang: Sienta Sasika Novel
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 203 halaman

“Mungkin keikhlasan adalah jalan terbaik dibandingkan kehilangan.”

Setiap cinta akan menggoreskan warna sendiri, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi saat kita memilih satu di antara dua hati. Mereka memiliki ruangnya sendiri, memiliki waktunya sendiri, dan memiliki lintasannya sendiri.

Kita pun tidak akan mampu memilah cinta mana yang akan mengembuskan rona-rona kebahagiaan atau justru luka-luka yang akan tergores. Ya, cinta terkadang seperti kembang gula terasa manis, tapi cinta juga terkadang terasa getir.

Dan saat dihadapkan dengan luka, akankah cinta tetap bertahan di tempatnya? Atau berlari menyusuri masa lalu dan kembali pada hati yang dulu tidak ia pilih?

Namun, cinta bukan melulu tentang perasaan yang meluap-luap, cinta juga bicara tentang keyakinan akan benang merah yang telah mengikat.

“Mas tidak mampu menjadi suami yang bertanggung jawab, Mas hanya bisa menjadi laki-laki setia, ah ... tapi setia sudah tidak dibutuhkan lagi ya?”

Sengaja saya tidak membeberkan kisah yang ada di buku ini karena jika saya ceritakan, nanti malah jadi ketahuan kejutan di endingnya :D jika kalian mengira kalau kisahnya tentang cinta, kalian sama sekali tidak salah. Lebih tepatnya lagi, buku ini bercerita tentang pilihan.

Di dalam hidup pasti kita dihadapkan dengan yang namanya pilihan, dan pilihan itu secara langsung nantinya akan memengaruhi kehidupan kita di masa yang akan datang. Seperti tokoh utama di buku ini, Tavita. Melalui Tavita, penulis berhasil menggambarkan bagaimana pilihan yang ia buat itu dapat mengubah hidupnya kelak.

Awalnya ketika saya membaca buku ini, tepatnya di bagian pertama; Jingga. Saya pikir buku ini hampir mirip dengan The Marriage Roller Coaster-nya Nurilla Iryani, bedanya kehidupan pernikahan yang diceritakan bukan berkonflik pada waktu dan perhatian, tapi lebih pada ekonomi rumah tangga. Pendapat saya langsung berubah seketika saya mulai membaca bagian keduanya; Biru. Salut buat penulis yang punya konsep unik buat buku ini. Walaupun ketika memulai bagian keduanya saya agak dibuat bingung sik :D 

Keunggulan lain yang dimiliki di buku ini adalah ceritanya memang realistis sekali, banyak ditemukan di kehidupan nyata. Mulai dari mertua cerewet yang selalu membandingkan menantunya, sepupu yang segalanya pengin dipamerin, dan lain-lain.

Sayangnya, ketika membaca buku ini saya cukup terganggu dengan typo-nya yang bertebaran di sepanjang halaman, cukup banyak yang saya temukan, akan terlalu panjang jika saya tulis satu-persatu di sini. Termasuk kesalahan penggunaan “di” untuk menyatakan tempat atau sebagai kata kerja pasif. Selain itu, kata-kata yang ditulis dengan huruf double-double juga, seperti “PPPPRRRAAAAANNNNKKKKKKKKK”, “Aaaaarrrrggghhhh” cukup bikin risih pas baca.
Overall, bukunya lumayan kok, cukup menghibur. Dan nggak berat-berat amat, jadi cukup mudah bagi saya menyelesaikannya di saat mood baca lagi turun seperti sekarang :( *ujung-ujungnya curcol x))*

“Pilihlah warna mimpimu sendiri, karena ... warna apa pun yang kau pilih, ia akan tetap meninggalkan jejaknya di hidupmu.”

 
RATING 3/5

Jumat, 13 Februari 2015

[Movie Adaptation Review] Love, Rosie







Judul: Love, Rosie
Diadaptasi dari: Where Rainbows End – Cecelia Ahern
Sutradara: Christian Ditter
Genre: Romance, Comedy

“’Good? It was awful. Oh, I feel sick even thinking about it.’
‘About which part?’
‘All of it. It never happened.’”

Rosie (Lily Collins) dan Alex (Sam Claflin) sudah bersahabat sejak kecil. Mereka tahu kalau mereka ditakdirkan untuk bersama-sama. Tapi, tentu saja tidak mudah untuk menyatakan cinta, apalagi target pernyataan tersebut adalah sahabat sendiri. Ketika Rosie berulang tahun yang ke-18, dia mabuk sampai tak sadarkan diri. Esok harinya Rosie yang meminta Alex untuk melupakan semua hal yang terjadi di malam ulang tahunnya itu, Rosie sama sekali tidak ingat kalau salah satu dari hal yang terjadi adalah dia berciuman dengan Alex.

Tanpa mereka sadari, ucapan Rosie yang meminta Alex untuk melupakan apa yang terjadi di malam ulang tahunnya itu akan berujung pada sebuah malam yang tak mereka duga akan terjadi.

Malam ketika segala hal di antara mereka mulai berubah. Malam yang merenggut impian Rosie untuk bersama-sama kuliah di Amerika dengan Alex. Malam ketika rahasia-rahasia mulai timbul antara mereka. Malam yang akan mengubah jalan hidup mereka selamanya.



“I think not telling you was a way to keep the dream alive, you know? So there was at least someone out there who still saw me as Rosie. And not this strange, new person I've become.”

Film ini diangkat dari novel karya penulis P.S. I Love You, Cecelia Ahern yang berjudul Where Rainbows End. Saya sendiri belum membaca bukunya, jadi tidak bisa membandingkan antara versi film dan versi novelnya.

Film ini cukup berhasil menghindari label “klise” mengingat ide ceritanya yang well... memang klise dan usang. Karena bagi saya pribadi yang tidak tahu sama sekali akan seperti apa kisah Rosie dan Alex bergulir, bisa diakui film ini cukup mengejutkan saya ketika menontonnya. Jalan ceritanya tidak bisa ditebak (jalan ceritanya ya, bukan endingnya :D).

Seriously, feel-nya dapet banget, apa yang dirasakan dua karakter utamanya, terutama Rosie, bisa turut dirasakan oleh saya. Dan adegan-adegan kesalahpahaman di sepanjang jalan cerita benar-benar bikin geregetan! Tapi itu tak lantas membuat saya jadi bosan mengikuti “permainan takdir”-nya Rosie dan Alex ini :D



Yang paling keren itu chemistry dua pemeran utamanya. Lili Collins berhasil membangun chemistry yang kuat dengan Sam Claflin, yang jelas lebih kerasa daripada chemistry Lily Collins dengan cowok-yang-saya-lupa-namanya di The Mortal Instruments: City of Bones x)). Tidak terlihat adanya kecanggungan antara mereka, dari tatapan mata mereka berdua saya sudah bisa merasakan kalau Rosie dan Alex memang jatuh cinta satu sama lain.

Buat saya Love, Rosie termasuk film kodemi romantis terbaik yang pernah saya tonton. Film ini paket komplit deh. Cast yang kece, chemistry oke, jokes-nya sukses bikin ngakak, endingnya manis walaupun lumayan drama sik xD, shot-shot-nya cantik nan memanjakan mata, plus soundtrack yang apik dan easy listening

Tidak semenakjubkan dan seberat komedi romantis macam trilogi Before atau Eternal Sunshine on the Spotless Mind, tapi amat sangat menghibur dan menyentuh. Worth to watch.



“’That's what you got me over here for then? Just some fun?’
‘I wanted to see you! For Christ sake, you're my best friend!’
‘Or maybe you needed someone from your old life to point out the truth!’
‘What truth?’
‘You're in a mess, Alex! This whole situation is one big bloody giant mess!’"


RATING 4/5