Rabu, 04 Mei 2016

[Book Review] Tidak Ada New York Hari Ini: Kerinduan Cinta Beratus Purnama





Judul: Tidak Ada New York Hari Ini
Pengarang: M. Aan Mansyur
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 120 halaman

“...
Meriang. Meriang. Aku Meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang.
...” – Tidak Ada New York Hari Ini


Dunia perbukuan heboh bersamaan dengan meledaknya Ada Apa Dengan Cinta? 2. Tidak Ada New York Hari Ini laris manis di pasaran. Baik itu oleh mereka yang memang penggemar tulisan Aan Mansyur, efek habis menonton filmnya, atau sekadar penasaran dengan hype. Saya pun ikut tertarik sejak linimasa Twitter dan Instagram bertebaran tentang buku ini.

Saya punya hubungan yang cukup unik dengan buku puisi. Kalian nyadar nggak kalau urusan perbukuan ini agak mirip dengan urusan busana? Ada buku yang genrenya memang zona nyamanmu (kalau dalam busana bisa dianalogikan seperti kaos bulukan, sendal jepit, daster). Ada pula jenis buku yang ketertarikanmu terhadapnya hanya karena banyak orang yang bilang buku tersebut keren. Dan kadar kekerenanmu meningkat jika kamu juga membacanya. Sama seperti skinny jeans, jogger pants, high heels, atau gincu merah merona, atau apalah yang sedang menjadi tren, kalau mereka ternyata cocok buatmu dan kamu nggak terlalu risih memakainya, itu bagus. Tapi kalau ternyata malah membuatmu semakin nggak nyaman. Tak mengapa kok, tingkat kekerenan tidak berpengaruh dengan kadar kebahagiaan. Nah, buat saya, buku puisi termasuk ke kategori yang terakhir. Ribet ya penjelasan saya? Semoga ngerti garis besarnya deh. Hahaha. Seorang teman (yang penggemar puisi) bahkan pernah menertawakan saya ketika saya bilang kalau niat saya beli dan baca Hujan Bulan Juni adalah untuk pamer di medsos. *maafkan saya Pak Sapardi x(*


“Di bawah langit yang sama, ada dua dunia berbeda.
Jarak yang membentang di antaranya menciptakan
bahasa baru untuk kita. Tiap kata yang kau ucapkan
selalu berarti kapan. Tiap kata yang aku kecupkan
melulu berarti akan.” – Bahasa Baru


Suatu hari saya chat teman saya tersebut, buat modusin kali aja dia udah punya buku ini, dan saya mau pinjem. Ternyata dia belum punya, dan chat tersebut diakhiri dengan “dasar kekinian!” dan saya balas dengan emot ‘ROTFL’. Tapi saya nggak kehilangan akal, ada alternatif lain buat punya buku ini dengan cepat, lebih murah (dan legal tentunya): beli e-book

Itulah sedikit cerita pendukung(?) di balik buku ini. Mari mulai membahas isinya. Jadi, buku ini berisi puisi-puisi (ya iyalah!), dan foto-foto artisitik. Konsep puisinya sendiri seolah-olah itu adalah curahan hati Rangga. Puisi-puisi yang ditulis dengan tidak sengaja ketika sedang memikirkan “dia” lalu mendadak kalimat puitis tebersit di benak. Puisi-puisi kerinduannya pada “dia”.

Semua puisinya memang punya tema yang mirip, keresahan, kerinduan, kegundahan, kegalauan. Bahasanya nggak berat, nggak butuh bolak-balik buka KBBI, tapi berasa deep-deep gimanaaaa gitu. Seolah segala hal yang diungkapkan oleh penulis puisi-puisi tersebut saya rasakan sendiri. 


“...
Sepasang matamu, bencana raksasa di kejauhan.
Tidak berhenti membuat hidupku jadi benda
kecil yang memiliki hati.” – Sepasang Matamu



Foto-fotonya juga nggak kalah menakjubkan. Puisi dan fotonya bisa dinikmati tersendiri. Tapi yang paling saya suka justru tata letaknya. Kelihatan acak tapi pas dan enak dilihat. Tanpa tata letak sekeren itu, saya yakin puisi dan fotonya akan berasa kurang spesial.

Buku ini jelas nge-hype banget. Baru resmi terbit saja sudah dicetak ulang. Dan kadang ini bisa jadi bumerang sendiri. Tapi percayalah selamanya kita akan terus bersama, melewati segalanya.. #eh #abaikan, this book worth the hype kok. Saya sudah pasang ekspektasi tinggi dan hasilnya saya puas. Sepanjang baca buku ini tuh bawaannya nggak pengin ngapa-ngapain. Pas selesai, cuma bisa menghela napas panjang. Aku meriang! Ini kali pertama sebuah buku puisi bisa bikin saya puas kayak abis baca novel bagus.


“...
Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu,
jurang antara kebodohan dan keinginanku
memilikimu sekali lagi.” – Batas
 


Setiap puisi dan foto di buku ini kayak hidup, punya nyawa. Dan, selalu ada, apa ya istilah yang tepat? Errr, kayak, ada setidaknya satu bait yang jadi “gong”-nya di setiap puisi. Bahkan meski itu puisi yang terakhir saya favoritkan. Dan, saya sendiri belum nonton filmnya. Menurut saya buku ini bisa dinikmati secara utuh sebagai buku puisi tok, juga bisa dibaca sebagai pelengkap sehabis menonton filmnya. Dua-duanya sama mengasyikkannya *sotoy* *padahal belum nonton filmnya*.

Untuk itu, rasanya 5 bintang nggak berlebihan saya berikan buat buku ini, buku puisi pertama yang bisa bikin saya puas, dan nggak menyesali apa yang telah saya korbankan untuk bisa membacanya. Malah, setelah ini rasanya saya tetap ingin membeli versi cetaknya, layak dikoleksi. Suwer!


“Hari-hari membakar habis diriku.
Setiap kali aku ingin mengumpulkan
tumpukan abuku sendiri, jari-jariku
berubah jadi badai angin

Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan—“ – Cinta 






4 komentar:

  1. W_O_W banget buku ini dapat rating 5b bintang. Saya harus punya, kapan-kapan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, iya. Ini buku puisi pertama yang saya kasih 5 bintang. Semoga segera berjodoh dengan bukunya yaa ^^

      Hapus
  2. Hai Mas,
    saya mau tanya dong.. beli e-book Tak Ada New York hari ini dimana ya? boleh kasih linknya ☺
    Makasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beli lewat SCOOP ^^ kemaren sekalian beli sama Cinta & Kesialan-Kesialan.
      Kalo bingung caranya, nanti saya mau berbagi pengalaman saya pas beli e-book di sana. Draft-nya masih dipoles. *shameless promotion* x))

      Hapus