Judul: Kumpulan
Budak Setan
Pengarang: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha,
dan Ugoran Prasad
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Februari 2010
Tebal: 174 halaman
“Kata istriku, bajang itu serupa musang, tapi ia mengeong serupa kucing.
Hantu macam begitu sering mendatangi perempuan-perempuan bunting, merampok anak
di dalam perutnya, atau membuatnya gila. Aku telah berkeliling kampung mencari
secarik sutera hitam dan kukaitkan di pergelangan tangan istriku sebagai
penangkal hantu bajang, tapi aku tetap mencemaskannya.” – Penjaga Malam - Eka Kurniawan
Iseng nge-search “Eka Kurniawan” di menu pencarian SCOOP ternyata membawa
saya menuju harta karun tak terduga. Tanpa sengaja saya menemukan buku ini yang
dijual dengan harga sangat murah. Dari semua buah karya Eka Kurniawan (yang
fiksi) buku inilah yang belum saya punya. Kecuali Corat-Coret di Toilet, karena
saya sudah pernah membaca cerpen-cerpen di dalamnya di Gelak Sedih, jadi tak
punya pun rasanya tak apa :p.
Kumpulan cerpen ini boleh dibilang
sebuah tribute untuk Abdullah
Harahap, beliau merupakan penulis yang dikenal lewat novel-novel bertema
horornya. Seingat saya, saya belum pernah membaca satu pun karyanya, tapi menyimpulkan
dari bagian pengantarnya garis besar tema yang diangkat di novel-novel Abdullah
Harahap yaitu horor dengan sedikit bumbu erotika.
Membaca buku ini seperti sedang
menonton film omnibus horor yang setiap segmennya berisi lagi film-film pendek.
Untuk itu, dalam review ini saya akan
membahas per segmennya. Anyway,
Kumpulan Budak Setan ini terbagi menjadi tiga segmen yang diracik oleh
masing-masing penulis yang berkontribusi di dalamnya. Tiap segmen terdiri dari
empat cerpen.
“Kini ia paham: orang banyak mengira selangkangan itu adalah bagian dari
tubuh mereka, alat mereka, sesuatu yang digerakkan oleh hasrat mereka. Mereka
keliru, tentu. Benda kecil di selangkangan itulah iblisnya. Laki-laki hanyalah
inang.” – Hidung Iblis - Ugor Prasad
Dalam segmen pertama, Eka Kurniawan menulis
cerpen-cerpen bertemakan mitos dan kepercayaan yang berhubungan dengan hal
mistis. Mungkin karena tiga cerpen pertamanya sudah pernah saya baca di buku
lain (Penjaga Malam, Taman Patah Hati, dan Riwayat Kesendirian), cerpen paling
berkesan buat saya adalah cerpen terakhir di segmen ini yang berjudul Jimat
Sero.
Selanjutnya, di segmen kedua, Intan
Paramaditha menawarkan keseraman di kelas berbeda. Cerpen-cerpen yang ditulis
olehnya lebih sadis dan cenderung disturbing.
Keempatnya menjadi favorit tapi yang paling meninggalkan bekas tentu saja Si
Manis dan Lelaki Ketujuh. Sampai saya menulis review ini, masih terbayang
adegan dan penggambaran disturbing-nya
-_-“.
Segmen terakhir, menurut saya yang
paling lemah dibanding yang lain. Tapi di sini Ugoran Prasad berani mengambil
ide cerita yang lebih beragam. Eh, mungkin “segman paling lemah” juga bukan
kata yang tepat sih untuk menggambarkannya. Saya cuma kurang suka dengan gaya
berceritanya yang kurang lugas. Favorit saya di segmen ini jatuh pada cerpen
Hidung Iblis.
Tak salah saya mengidamkan buku ini
sejak lama. Hasil setelah baca, saya sangat puas dengan suguhan kengerian yang
sensasinya berbeda-beda. Tapi, ada satu kekurangan dari buku ini yang menonjol,
typo-nya sudah masuk ke dalam
ketegori mengganggu. Ada pula beberapa kali kesalahan penggunaan awalan “di”. Saya
malah sempat bertanya-tanya: benarkah ini edisi final-nya? Untuk tata bahasa, baku tidak baku, terlepas itu
disengaja atau tidak, saya tak mau berkomentar panjang lebar lagi ah, takut nanti
dibilang sok tahu. xD
Akhir kata, buku ini saya
rekomendasikan untuk yang mengaku pencinta kumpulan cerpen maupun karya fiksi
bertema horor.
“Benar kata orang, lebih mudah menikah daripada bercerai. Dan lebih mudah
mengatakan cinta daripada memutuskan tali asmara.” – Taman Patah Hati - Eka Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar