Judul: The
Girl on the Train
Pengarang: Paula Hawkins
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: September 2015
Tebal: 440
halaman
“Mereka serasi, mereka sepadan. Mereka bahagia, aku bisa tahu itu. Mereka
sepertiku dulu, mereka adalah aku dan Tom lima tahun yang lalu. Merekalah yang
hilang dariku, dan aku hanya ingin menjadi mereka.”
Jalur kereta yang ditumpangi Rachel
setiap hari selalu melewati rumah tempat tertinggalnya kenangan di masa lalu.
Bekas rumah yang sekarang ditempati oleh mantan suami Rachel, Tom dan istri
barunya Anna serta bayi mereka. Namun, bukan rumah itu yang menjadi pusat
pengamatan Rachel setiap hari. Tapi rumah yang berjarak empat pintu dari sana. Rumah
nomor lima belas yang dihuni sepasang suami istri dengan kehidupan bahagia dan
penuh cinta, yang menurut Rachel seperti itulah kehidupan yang seharusnya dia
jalani sebelum semuanya hancur lantaran dia merusak sendiri rumah tangganya
akibat ketergantungannya pada alkohol. Rachel bahkan memberikan nama untuk
kedua suami istri itu: Jason dan Jess.
Kebiasaan Rachel mabuk membuatnya
kehilangan pekerjaan, meski begitu setiap hari dia tetap pergi ke London,
menumpang kereta pagi di pukul 8.04 lalu pulang dengan kereta malam pukul 17.56.
Selalu di jam sama, selalu mengamati rumah nomor lima belas itu dari jendela
kereta. Rachel seolah terobsesi pada Jason dan Jess. Namun suatu ketika Rachel menyaksikan
Jess bermesraan dengan laki-laki lain di rumah itu.
Beberapa hari kemudian Rachel
mendengar berita hilangnya Megan, wanita yang selama ini diperhatikannya dan
dia namai Jess. Rachel yakin kalau dia berhubungan dengan hilangnya Megan.
Selain karena apa yang pernah dilihatnya di kereta, di malam hilangnya Megan,
Rachel yang mabuk berada di kawasan perumahan itu. Tapi sayangnya dia tak
mengingat kenapa dan apa yang dilakukannya di sana.
Yang dia tahu dengan pasti adalah
bahwa di pagi harinya dia mendapati luka di bagian kepalanya dengan darah yang
telah mengering¸ serta memang-memar di lengannya. Apa yang sebenarnya terjadi
pada Megan? Benarkah Rachel berhubungan dengan hilangnya Megan?
“Aku tidak pernah mengerti betapa orang bisa dengan entengnya mengabaikan
kerusakan yang mereka timbulkan gara-gara mengikuti kata hati mereka. Siapa
bilang mengikuti kata hatimu adalah sesuatu yang baik? Itu egoisme murni,
keegoisan tertinggi.”
Sebelum membaca versi terjemahannya
ini, sudah agak lama sejak saya membaca versi asli Bahasa Inggris buku ini
lantaran penasaran dengan popularitasnya, buku ini hampir selalu seliweran di feed goodreads saya. Menurut saya tepat
jika saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang menyukai genre thriller terutama yang setipe dengan Gone Girl dan Before I Go To Sleep. Karena buku ini mengingatkan saya pada kedua
judul tersebut (in a good way).
Setelah selesai baca versi terjemahannya
satu pendapat saya yang nggak berubah: saya tetap sangat menyukai gaya
bercerita penulisnya yang membuai dengan penggunaan sudut pandang orang pertama
untuk tiga tokoh berbeda. Serius deh, gaya berceritanya memang bikin nggak bisa
berhenti baca sampai saya waktu itu memberikan 5 bintang karena alasan tersebut.
Tapi, sekarang banyak juga poin-poin
yang berubah yang membuat saya sadar berkat membaca terjemahannya ini. Pertama,
saya melewatkan banyak sekali detail (tentu saja!). Dulu saya pikir penulisnya
sengaja menggiring persepsi pembaca untuk menjebak mereka ke twist-nya yang shocking. Sekarang, saya menyadari kalau dari awal memang telah ada
sedikit clue yang mengarah ke endingnya
yang mengejutkan itu. Saya saja yang tak memperhatikan.
Baru-baru ini saya mengetahui bahwa
ada istilah yang namanya unreliable
narrator lewat tulisan Mbak Jia Effendie di blognya, setelahnya saya
tertarik untuk mengetahui lebih lanjut serta contoh buku-bukunya. Intinya, unreliable narrator merupakan teknik
penulisan di mana kredibilitas narator pada sebuah buku dipertanyakan, tidak
dapat dipercaya yang secara umum ditulis lewat sudut pandang orang pertama. Tak
dapat dipercaya bisa karena tokoh tersebut memiliki masalah
kesehatan/psikologis, atau karena tokoh tersebut memang senang berbohong,
maupun seperti yang digunakan dalam buku ini: tokoh tersebut seorang pemabuk. Dan
menurut saya penggunaan teknik tersebut di buku ini sukses, teknik inilah yang menjadi
elemen penting yang tak terpisahkan dengan kesuksesan twist-nya.
Kedua, saya jadi lebih paham latar
belakang karakter tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh di buku ini karakternya dibikin
sangat kompleks, dan saya menyukai bagaimana penulisnya memberikan detail kecil
terkait siapa atau apa yang melatarbelakangi karakter tertentu tokohnya.
Ketiga, dulu saya sempat skeptis
bagaimana versi terjemahannya akan mentransfer atmosfer buku ini ke dalam Bahasa
Indonesia. Serta penggunaan kata ganti “she/he”
yang sangat berperan dalam menambah daya pikat buku ini, yang jika
dialihbahasakan hanya akan menjadi “dia”. Tapi, saya pikir terjemahannya amat
bagus, tetap menghadirkan rasa mencekam ke pembacanya lewat narasinya, dengan
diksi yang tak kalah melenakan dari versi aslinya.
Keempat, endingnya. Entah kenapa,
membaca ulang dengan bahasa yang lebih saya kuasai membuat saya terpuaskan
ketika sampai ke adegan klimaksnya. Berasa lebih greget aja gitu x)
Jadi, selain (seperti yang tadi saya
bilang) gaya berceritanya, berkat membaca versi terjemahan dari buku ini saya
menyadari empat poin lain yang membuat saya lebih menyukainya. Saya jadi tak
sabar untuk menantikan Into the Water, karya terbaru Paula Hawkins yang akan
terbit di bulan Mei tahun ini. Semoga nantinya akan diterjemahkan juga.
"Aku telah kehilangan kendali atas segalanya, bahkan atas tempat-tempat di dalam benakku."
“Aku tahu, tidak ada sesuatu pun diluar sana, tidak ada sesuatu pun yang
harus ditakuti, tapi itu tidak menghentikan ketakutan yang naik dari perut ke
dada dan tenggorokanku. Aku berlari secepat mungkin.”
**Tulisan ini diikutkan dalam Reading
Challenge - Noura Books bersama iJakarta. Tertarik untuk ikutan juga? Silakan
baca info lengkapnya pada gambar di bawah ini:
Sejak kapan tau pengin baca bukunya. Waktu itu bahkan sudah sampai di Bab 2. Tapi ditaruh lagi bukunya karena massanya yang berat (secara harfiah). Alasan aja sih sebenarnya. Haha.
BalasHapusGood review, Abo!
Aku bacanya lewat iJakarta Raaf, jadinya nggak mengalami kendala keberatan massa. Hahaha xD Hayok dibaca, pelan-pelan aja bacanya biar lebih menikmati narasinya, dan biar twist-nya lebih kerasa :))
HapusTerima kasih, Raafi ^^
Iseng2 main ke blog kk Abo dan nemu review ini. Well, aku semakin pengin aja untuk baca buku ini.
BalasHapusBtw saya juga baru tau lo tentang unreliable narrator, karena kebetulan baca riviu ini hehe
penasaran deh sama isi bukunya
BalasHapuscasing sosis