Tiga buku ini adalah hasil karya
salah satu penulis wanita favorit saya, Okky Madasari. So, here’s the review.
Judul Buku : Entrok
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2010
Tebal : 282 Halaman
ABOUT
Menceritakan tentang dua orang wanita
secara bergantian. Marni, sang ibu, saat masih muda saking miskinnya dia tidak
pernah punya sebuah entrok (BH). Dari keinginan memiliki entrok inilah Marni tekun
mencari uang dan akhirnya bisa hidup dengan layak. Rahayu, sang anak, merasa
tidak nyaman bahkan membenci kedua orangtuanya karena cibiran masyarakat yang
menjuluki orangtuanya rentenir atau lintah darat. Karena sekolah, Rahayu jadi
mengenal konsep tuhan dan makin membenci ibunya karena masih menyembah hal yang
gaib yang sering disebut ibunya “Mbah Ibu Bumi Bapak
Kuasa”.
Cerita kedua
wanita ini bergulir dari tahun 50-an sampai 90-an. Banyak sekali peristiwa
bersejarah Indonesia yang diceritakan – yang juga berpengaruh dengan kehidupan
kedua wanita ini – seperti, era Orde Baru, PKI, pelarangan budaya
Tionghoa, dll. Yah, intinya buku ini bercerita tentang hubungan ibu dan anak
yang tidak sepaham karena jenjang pendidikan yang berbeda yang dilatarbelakangi
oleh peristiwa bersejarah Indonesia.
THE REVIEW
Buku ini selain
menghibur juga memberi pengetahuan untuk pembacanya karena mengandung isu
sosial dan politik pada masa setelah kemerdekaan dan orde baru. Mbak Okky Madasari
berhasil membuka mata saya tentang “tegasnya” pemerintahan zaman itu. Saya sangat bersyukur tidak mengalami
masa-masa sulit di masa itu, apalagi menyangkut PKI, membayangkan kalau salah
bicara saja bisa dianggap PKI benar-benar mengerikan.
Awalnya sempat skeptis dengan buku
ini karena covernya yang agak vulgar. Saya juga baru tahu kalau sebenarnya
entrok itu kata dalam bahasa Jawa yang berarti BH.
Dengan gaya penceritaan yang
bergantian antara Marni dan Rahayu, buku ini tidak membuat saya bosan walaupun
banyak mengandung sejarah. Malah saya penasaran bagaimana akhirnya nasib kedua
wanita ini di akhir cerita.
Dan endingnya? Membuat saya miris.
Malang sekali nasib kedua wanita ini. Setelah saya membaca buku ini, saya jadi
tahu kalau “orang yang dijelekkan dan dianggap hina belum tentu seperti itu
kenyataannya. Malah mungkin orang yang menjelekkan itu bisa jadi jauh lebih
hina”
MEMORABLE QUOTES :
- “Menyelesaikan baik-baik katanya. Aku tahu apa arti kalimat itu. Uang, uang, dan uang! Ya, bertahun-tahun aku telah melihatnya. Mengalaminya. Mereka memang tukang peras.” – Hal. 145
- “Aku dihukum tetangga-tetanggaku sendiri yang datang padaku saat butuh pinjaman uang, yang ikut menonton TV yang kubeli dari uang yang kata mereka tidak halal.” – Hal. 188
- “Dua perempuan bertengkar dan berkelahi memperebutkan suami. Dan sekarang aku mengalaminya. Bukan berebut suami, tapi semua ini bersumber dari laki-laki. Apakah memang seperti ini nasib perempuan?” – hal. 193
- “Aku salah perhitungan. Tidak selamanya tebu itu manis. Tidak selamanya orang butuh tebu, meskipun mereka masih menggunakan gula. Tebu itu sekarang pahit rasanya.” – Hal. 255
- “Takgendong… takgendong cucuku… takgendong ke mana-mana…” – Hal. 282
RATING : 4/5
Judul Buku : 86
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011
Tebal : 256 Halaman
ABOUT
Mulanya, Arimbi adalah seorang
pegawai negeri yang jujur. Berprofesi sebagai juru ketik di sebuah pengadilan
negeri di Jakarta sudah membuat kedua orangtua Arimbi di kampung merasa bangga padanya.
Tapi, petaka datang ketika arimbi menerima sebuah AC yang dihadiahkan kepadanya.
Arimbi yang tadinya pegawai yang lurus menjadi semakin berambisi untuk
meminta”bonus” atas pekerjaan yang dilakukannya. Yang dulunya hanya coba-coba
tapi malah sifat serakahnya berkuasa dan semakin menjadi-jadi.
Tentu saja rencananya tidak selalu
berjalan dengan mulus. Karena akhirnya Arimbi tertangkap basah ketika sedang
menerima uang bagiannya dari atasan Arimbi sendiri, Bu Danti.
Kesialan Arimbi terus berlanjut
karena selain tertangkap basah dan uang yang didapatnya diambil untuk barang
bukti, Arimbi juga dikorbankan dalam kasus ini. Walaupun akhirnya Bu Danti juga
mendapatkan hukuman di penjara.
Di dalam bui, bukannya kapok Arimbi
malah terlibat pengedaran narkoba yang juga melibatkan suaminya dan kenikmatan terlarang
dengan teman penghuni selnya. Bagaimana nasib Arimbi selanjutnya? Silahkan baca
86.
THE REVIEW
Karya kedua dari Okky Madasari ini
tidak hanya tentang korupsi. Seperti karyanya terdahulu, Entrok, 86 juga membahas
banyak aspek seperti kebutuhan yang malah menjadi keserakahan, peredaran
narkoba di penjara, penjara bintang 5, kebutuhan rohani wanita yang disalurkan
dengan sesamanya, dll. Membaca buku ini membuat perasaan saya campur aduk.
Miris, ironis, sedih, sekaligus geram menjadi satu.
Buku ini merupakan karya Mbak Okky
Madasari yang paling saya suka. Ada daya tarik tersendiri yang tidak bisa saya
jelaskan ketika membaca buku ini.
Yah, tidak banyak yang bisa saya
ceritakan tentang buku ini. Pokoknya buku ini bacaan wajib bagi yang mengaku
menghargai karya sastra penulis Indonesia.
86 sendiri merupakan sandi kepolisian
yang kurang lebih berarti beres. Intinya asal punya duit, segala urusan beres. Pokoknya
86!
MEMORABLE QUOTES
- “Arimbi mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa perusahaan listrik hanya mematikan listrik di kontrakannya sementara rumah-rumah lain yang hanya berbatas dinding tetap menyala. Mungkin mereka setiap tengah malam mengocok lintingan kertas berisi alamat pelanggan listrik. Alamat yang keluarlah yang listriknya dimatikan, pikirnya.” – Hal. 20
- “Yang penting itu jadi orang beruntung, bukan jadi orang pintar.” – Hal. 62
- “Pokoknya setiap ditanya bilang kamu nggak tahu apa-apa. Hanya diperintah atasan ketemu orang buat mengambil barang, tak tahu barang itu apa. Duit 50 juta yang di tas itu duit pinjaman dari Bu Danti. Bapakmu sakit di kampung dan butuh uang untuk operasi.” – Hal. 155
RATING 4/5
Judul Buku : Maryam
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 275 Halaman
ABOUT
Maryam, wanita yang memutuskan untuk
kembali ke kampung halamannya karena perceraiannya dengan suaminya. Sebenarnya
Maryam malu bertemu dengan keluarganya lagi, karena saat menikah dengan mantan
suaminya dulu dia tidak mendapat restu dari kedua orangtuanya. Alasan kedua
orangtua Maryam tidak memberi restu tidak lain tidak bukan adalah karena mantan
suami Maryam bukan seorang Ahmadi. Ya, keluarga Maryam merupakan penganut
aliran Islam Ahmadiyah.
Awalnya pernikahan Maryam berjalan
dengan baik. Tapi lama kelamaan Maryam sadar kalau dirinya tidak diterima
sepenuhnya oleh keluarga suaminya. Belum lagi dengan desakan mertuanya untuk
segera punya anak membuat Maryam tertekan. Ujung-ujungnya masa lalu Maryam sebagai
seorang Ahmadi kembali diungkit-ungkit.
Ketika akhirnya Maryam memutuskan
untuk kembali ke rumah orangtuanya, kenyataan pahit harus ia terima.
Keluarganya terusir dari rumah mereka sendiri karena mereka dianggap menganut
aliran sesat. Karena merasa bersalah Maryam berusaha mencari tahu keberadaan
keluarganya yang terusir karena iman. Terusir dari rumah mereka yang dibeli
dengan uang mereka sendiri.
THE REVIEW
Dulu, sebelum saya membaca buku ini,
saya yakin sekali kalau aliran-aliran Islam yang sedikit nyeleneh sama dengan aliran sesat. Tapi thanks to Mbak Okky
Madasari yang kembali menyadarkan saya bahwa menghargai perbedaan itu sangat
penting.
Saya acungi jempol untuk Mbak Okky
Madasari mengambil tema yang sangat berani untuk karya ketiganya, Ahmadiyah.
Walaupun banyak review dari
teman-teman goodreads – sudah kebiasaan saya sebelum beli buku pasti cek review
di goodreads dulu – yang mengatakan bahwa “bukunya terkesan abu-abu” “Mbak Okky
bermain aman dan tidak memilih untuk tidak memihak” menurut saya wajar. Karena
temanya yang sensitif, apalagi dengan keberadaan ormas-ormas anarkis sekarang.
Jangan-jangan malah akan menjadi kontroversi dan menjadi pembicaraan di infotainment.
Diskriminasi dan perlakuan tidak adil
yang diterima para penganut Ahmadi menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih
lemah. Juga menunjukkan kalau ormas-ormas anarkis masih berpengaruh besar di
kalangan masyarakat.
MEMORABLE QUOTES
- “Diantara bingkai-bingkai itu, terselip satu gambar tanpa bingkai. Gambar laki-laki itu. Yang dicintai dengan tulus oleh keluarganya. Yang menjadi perekat dan penyatu. Tapi sekaligus yang membuat hidup mereka kerap diwarnai nada sendu.” – Hal. 59
- “Bagaimana mungkin anaknya yang selalu masuk sepuluh besar di kelas, mendapat nilai 5 dalam pelajaran agama? Satu-satunya nilai 5 di antara pelajaran-pelajaran lain. Bahkan pertama kalinya nilai 5 sejak ia masuk sekolah.” – Hal. 75
- “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku. Dibangun sampai bisa seperti yang sekarang di sana. Dan sekarang kami diusir begitu saja?” – Hal. 170
RATING 4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar