Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Agustus 2016 (Cetakan Kedua)
Tebal: 400 halaman
“Lihat, aduh lihatlah,
Ini tiga petualang melaju gagah
Mereka berasal dari klan yang berbeda
Menjelajah dunia tanpa tepian
Untuk tiba di titik paling jauh
Bumi, Bulan, Matahari, dan Bintang
Ada dalam genggaman tangan.”
Raib, Seli, dan Ali kembali menjalani
kehidupan selayaknya remaja biasa di kota mereka setelah petualangan (yang
berakhir menyedihkan) di Klan Matahari. Namun ada yang berubah setelah
petualangan itu, Ali mendadak menjadi sorotan, dia menjadi bintang di tim
basket sekolah mereka.
Sejak petualangan itu, Ali memang sedikit
banyak berubah, yang tetap sama adalah rasa ingin tahunya yang semakin
menggebu-gebu, obsesinya belakangan adalah menemukan lokasi Klan Bintang yang
misterius. Raib dan Seli pikir obsesi Ali terhadap Klan Bintang akan semakin
surut seiring berjalannya waktu, mereka salah besar.
Dengan kegeniusannya Ali berhasil
menemukan jalan menuju Klan Bintang tanpa harus menggunakan bantuan Buku
Kehidupan yang dimiliki Raib. Dia bahkan telah menyiapkan segala keperluan
untuk perjalanan ke sana. Akhirnya Ali berhasil membujuk Raib dan Seli untuk
ikut serta dalam perjalanan itu.
Sebelum memutuskan untuk setuju
dengan rencana Ali, Raib dan Seli melupakan satu hal, semua hal ada harganya
termasuk rasa ingin tahu, harga yang harus mereka bayar dengan nekat menjelajah
ke Klan Bintang adalah harus menjadi buronan yang diburu sepasukan Armada Klan Bintang
karena kekuatan yang mereka miliki dianggap berbahaya. Namun masih ada satu
hal, ternyata perjalanan ini tak begitu buruk meski mengancam keselamatan
mereka, mereka berhasil menyingkap satu rahasia penting tentang Klan Bintang yang
akan menjadi misi mereka selanjutnya.
“’Terima kasih, Ali.’
‘Buat apa?’
“Telah menjadi anggota tim kita. Aku juga tidak bisa berbuat apa pun tanpamu....’”
Apa yang belum ditulis oleh Tere
Liye? Thriller korporasi dan politik?
Bisa ditemukan dalam Negeri Para Bedebah
dan sekuelnya: Negeri di Ujung Tanduk,
science fiction dengan setting
futuristik? Ada dalam Hujan, drama keluarga
ayah-anak? Ada (Ayahku) Bukan Pembohong,
komedi romantis dengan kekentalan lokalitasnya? Ada Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, kisah cinta tak sampai yang
sukses bikin baper? Ada Daun yang Jatuh Tak
Pernah Membenci Angin. Dan sekarang, fantasi? Kalian bisa menemukannya
dalam serial Bumi. Tak bisa dimungkiri, Tere Liye adalah satu dari sedikit
penulis lokal yang mampu menghadirkan bermacam kisah dengan bermacam genre, setting
tempat yang berbeda-beda, dan tokoh dengan karakter beragam.
Dalam Matahari, kita masih menjumpai tiga sahabat, Raib, Seli, dan Ali
sebagai tokoh sentralnya. Penggunaan sudut pandangnya pun tetap menggunakan
sudut pandang pertama lewat Raib, masih sama seperti dua buku pendahulunya Bumi dan Bulan. Namun Matahari
akan lebih memanjakan pembacanya dengan setting yang lebih megah dan kisah
lebih seru.
Saya suka perkembangan karakternya,
terutama untuk tokoh Ali. Terasa sekali perbedaan ketika kali pertama mengenal
Ali di Bumi. Untuk Ra dan Seli, karakter mereka tak berubah banyak, yang lebih
signifikan berkembang adalah kekuatan mereka.
Hal lain yang saya sukai dari seri
ini adalah bahkan setting kota asal Ra, Seli, dan Ali tetap dibiarkan abu-abu.
Tere Liye seakan sengaja untuk tetap membebaskan imajinasi pembacanya. Dan
menurut saya jika kotanya disebutkan malah jatuhnya akan menimbulkan lubang di
sana-sini terkait dengan keralistisan ceritanya. Seperti misalnya adegan ketika
Ra dan Seli mengejar kapsul yang menculik Ali di bagian awal bukunya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sejak
saya membaca Bumi, seperti tentang
orangtua kandung Ra sedikit demi sedikit mulai terjawab meski belum mampu memuaskan
rasa penasaran saya. Selain itu, ada juga sedikit cerita yang menyinggung
tentang Si Tanpa Mahkota. Saya penasaran akankah Si Tanpa Mahkota ini nantinya punya
peran penting di buku selanjutnya? Karena sejauh ini pembaca hanya dikenalkan
lewat cerita-cerita orang lain.
Jika di Bumi ada Av, dan dalam Bulan
ada Hana, maka di Matahari tokoh
orang tua bijaknya bernama Faar. Faar adalah salah satu tokoh pendukung yang
menarik, dia merupakan keturunan Klan Bulan yang menetap di Klan Bintang. Dan spoiler alert(!) tokoh Faar lebih badass dibanding kedua tokoh yang saya
sebutkan sebelumnya ;))
Dan ya, di dalam buku ini tetap ada
selipan-selipan informasi, pengetahuan umum (tentang ular, gempa bumi, dan
masih banyak lagi), elemen yang selalu ada dalam buku-bukunya Tere Liye. Saya
selalu mengagumi kemampuannya menyelipkan informasi-informasi ini tanpa
menimbulkan kesan show off,
memamerkan pengetahuan yang dia miliki.
Meski buku ini segmennya remaja, di
beberapa kesempatan Tere Liye menyinggung isu berat dan sebenarnya cukup
menarik untuk ditelaah lagi seperti bagaimana pemegang kekuasaan mulai buta dan
menginginkan kekuasaan lebih besar. Dan satu lagi yang saya temukan menarik,
teknologi “sendok ajaib” yang mampu mengubah rasa makanan menjadi seperti yang
diinginkan pemakainya. Lalu Raib mempertanyakan lewat narasinya, jika pengguna
sendok itu hanya memakan satu macam masakan yang sama seumur hidupnya (makanan
umum di Klan Bintang berupa bubur berwarna putih semacam bubur gandum yang tak
bertekstur), masihkah dia menganggap makanan tersebut enak? Menarik untuk ditelaah
untuk lebih lanjut kan? Atau hanya saya saja yang suka mikirin hal-hal kurang
penting? Hahaha x))
Saran saya, karena ini merupakan buku
ketiga, maka jika kalian punya rencana untuk membaca Matahari, sebaiknya sudah lebih dulu membaca Bumi dan Bulan, karena
akan banyak sekali hal yang kalian lewatkan jika melewatkan kedua seri
sebelumnya.
Jika mengikuti pola tiga seri Bumi yang telah terbit, akankah di buku
keempatnya yang diberi judul Bintang mengambil
setting di Klan Bumi? Dan pertanyaan lebih pentingnya, apakah Bintang akan menjadi buku terakhir
serial ini? Mari menunggu dengan sabar :))
“Sejatinya, aku bukan buku, aku mesin canggih, benda penyimpanan
interaktif, yang bisa bicara lewat sentuhan tangan, mengenali pemiliknya.
Kenapa bentukku seperti buku? Karena itu simbol pengetahuan dan keabadian. Sesuatu akan bertahan lebih lama saat
diwariskan lewat buku, dituliskan.”