Judul: I’m Thinking of Ending Things
Pengarang: Iain Reid
Penerbit: Simon & Schuster
Tahun Terbit: Juni 2016
Tebal: 224 halaman (e-book)
“I’m thinking
of ending things.
Once this
thought arrives, it stays. It sticks. It lingers. It dominates. There’s not
much I can do about it. Trust me. It doesn’t go away, it’s there whether I like
it or not. It’s there when I eat. It’s there when I sleep. It’s there when I
wake up. It’s always there. Always.”
Seorang wanita dan pacarnya yang bernama Jake sedang dalam
perjalanan mengunjungi rumah orangtua Jake. Diam-diam sang wanita rupanya punya
rencana untuk mengakhiri hubungannya dengan Jake, namun dia masih ragu karena
hubungan mereka tidak sedang dalam masalah dan Jake adalah sosok pria ideal.
Setelah menghabiskan hampir separuh buku yang didominasi
percakapan-percakapan panjang-panjang ketika dalam perjalanan, mereka akhirnya
sampai di rumah orangtua Jake. Awalnya, semua tampak biasa saja bagi wanita
itu, namun semakin lama berada di rumah itu dia semakin merasakan
kejanggalan-kejanggalan. Kunjungan itu jauh sekali dengan apa yang dia
bayangkan.
Semakin lama, makin banyak kejanggalan yang dialami oleh wanita
itu, puncaknya ketika mereka dalam perjalanan pulang, dia mengalami hal yang
semakin lama semakin aneh dan menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
“I think
that’s it. Maybe that’s how we know when a relationship is real. When someone
else previously unconnected to us knows us in a way we never thought or
believed possible.”
Tadinya saya hanya mau menulis review singkat buku ini di goodreads
saja, tapi... rasa sia-sia yang ditinggalkan buku ini pada saya membuat saya
jadi ingin menumpahkan keluh kesah saya dengan menuliskannya di blog ini.
Saya tahu tentang buku ini karena buku ini masuk ke dalam list Entertainment
Weekly: 8 Seriously Scary Summer Reads. Plotnya terdengar menjanjikan.
Saya tak menyangka bukunya akan semengecewakan ini.
Paruh awal buku ini membosankan, saya pernah bilang kan kalau saya
orang yang kepo, dan saya benci dengan ketidaktahuan. Dan sialnya, buku ini
pelit sekali dalam membagikan informasi mengenai kedua tokoh utamanya. Yang ada
malah dialog-dialog (yang membahas hal-hal berat dan dalem) dan juga
narasi yang tak kalah panjang (yang keduanya, saya yakin dari awal fungsinya
adalah sebagai pengalih perhatian pembacanya).
“You will be
scared. But you won’t know why…”, begitu katanya... lebih tepatnya bukan ketakutan yang saya
rasakan, tapi kayak semacam perasan yang membuat saya tak nyaman ketika membaca
buku ini, penginnya cepet-cepet kelar aja. Kalau menurut saya sih, yang bikin
tak nyaman ya rasa ketidaktahuan tadi, saya ingin cepat-cepat tahu apa yang
sebenarnya terjadi dengan si tokoh utamanya dan Jake.
Saya benci endingnya. Saya benci twist-nya. Dan
ini bukan karena tebakan-tebakan saya yang banyak sekali tentang twist-nya itu
salah (saya malah membuka kemungkinan bahwa cerita di buku ini konsepnya kayak
The Truman Show, atau salah satu episode Black Mirror >.<). Twist-nya
juga enggak terkesan maksa. Tapi, ketika mengetahui kalau fakta sebenarnya
seperti itu, mau tak mau saya merasakan kesia-siaan *setel lagu Cheap Thrills*.
Waktu berharga yang sudah saya sisihkan untuk membaca buku ini, terbuang
sia-sia. Waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menonton drama Korea
saja T_T. Nyebelinnya lagi, masa penulisnya di ending menyiratkan bahwa untuk
lebih mengerti ceritanya harus baca ulang dari belakang. Maaf ya Mas Reid, waktu
yang saya miliki tak seluang itu -_-
Bisa jadi ini masalah selera karena banyak reviewers goodreads
yang menilai buku ini brilian. Tapi untuk saya pribadi, baca buku ini
buang-buang waktu. Tak ada faedahnya. Oh, kecuali satu. Saya jadi tergerak
untuk menuliskan tentang buku ini di blog saya x))
Saya merekomendasikan buku ini untuk kamu yang punya banyak waktu
luang untuk dibuang-buang.
“A memory is
its own thing each time it’s recall. It’s not absolute. Stories based on actual
events often share more with fiction than fact. Both fictions and memories are
recalled and retold. They’re both forms of stories. Stories are the way we
learn. Stories are how we understand each other. But reality happens only
once.”
"Sometimes
a thought is closer to truth, to reality, than an action. You can say anything,
you can do anything, but you can't fake a thought."
makasih udah sharing reviewnya
BalasHapusperbedaan tepung tapioka dan maizena