Judul: Alex
(Camille Verhœven #2)
Pengarang: Pierre Lemaitre
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: September 2016
Tebal: 440
halaman
“’Mengapa
aku?’
Perlahan pria
itu tersenyum. Bibir yang begitu tipis itu....
‘Karena aku
ingin melihatmu mati, pelacur kotor.’
Nada suaranya
keras. Dia tampak yakin sudah menjawab pertanyaan itu dengan jelas.”
Suatu malam dalam perjalanan pulang, Alex Prévost
diserang oleh pria misterius yang baru dia sadari telah menguntitnya. Dia dipukul
dan ditonjok hingga pingsan. Ketika kesadarannya pulih, Alex mendapati bahwa
dia telah disekap di dalam sebuah bangunan kosong. Tak sampai di situ, Alex
juga disiksa dengan cara yang tak mampu dibayangkan bahkan oleh imajinasi
terliarnya.
Camille Verhœven sang Komandan Polisi ditugaskan
menangani kasus penculikan tersebut. Hampir tak ada petunjuk kecuali seorang
saksi mata yang melihat seorang gadis dipaksa masuk ke dalam sebuah van. Camille punya kenangan buruk
terhadap kasus penculikan, kalau bukan karena terpaksa, dia sudah akan menolak
mentah-mentah jenis kasus yang dia hindari itu.
Ketika upaya pihak kepolisian mulai memperlihatkan
kemajuan, sedikit demi sedikit fakta tentang Alex, Camille sadar bahwa Alex
bukan gadis biasa. Dia kuat, cerdas, dan licin.
Dan kasus penculikan ini, bukanlah kasus biasa seperti yang dibayangkannya.
“Penculikan
merupakan tindakan pidana yang amat unik, korbannya tidak terlihat di depan
mata seperti dalam kasus pembunuhan.”
Hal yang mencolok ketika saya mulai membaca
buku ini adalah penggunaan “ia” dan “dia” sebagai kata ganti orang ketiga
secara bersamaan. Seingat saya hal tersebut jarang (atau malah belum pernah?)
saya temukan pada buku-buku yang pernah saya baca.
Iya, emang kurang penting. Dan iya, saya
orangnya emang kepo, agak parah malah. Saya sering gelisah kalau sudah
penasaran pada satu hal, dan belum menemukan jawabannya. Kayak rasa gatal di tenggorokan,
yang tak bisa digaruk, sedangkan berdeham dan batuk-batuk tak banyak membantu.
Berbekal kekepoan saya itulah saya lalu
bertanya langsung ke editor buku ini lewat e-mail
(saya nggak nemu alamat e-mail
penerjemahnya). Dan ternyata dibales! Balasan Mbak editor ini kemudian berhasil
mencerahkan kebingungan saya, secerah wajah Maudy Ayunda. Ternyata penggunaan
“ia” dan “dia” di dalam buku ini sengaja dibedakan. Kata ganti orang ketiga
untuk subjek menggunakan “ia”, sedangkan untuk objek menggunakan “dia”.
Lupakan yang kurang penting, mari membicarakan
yang jauh lebih penting. Alex merupakan buku kedua dari seri Camille Verhœven, entah apa
alasannya sehingga buku kedua ini yang pertama diterbitkan terjemahannya. Mungkin
karena memang buku ini merupakan yang pertama diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris
dari bahasa aslinya, Bahasa Prancis. Bisa jadi juga karena dibanding seri Camille Verhœven yang lain, buku
inilah yang paling populer. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, langsung
membaca buku kedua sama sekali tak membuat saya bingung dan kehilangan arah hingga
merasa bagai butiran debu. Saya bahkan tak terlalu merasa bahwa buku ini bagian
dari seri, kecuali ketika ada bagian-bagian yang saya yakini menyinggung buku
pertamanya.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian yang akan
menimbulkan sensasi berbeda untuk pembacanya. Bagian I berisikan tentang
penculikan Alex. Bagaimana keadaannya ketika disekap, membuat saya mau tak mau
bersimpati pada Alex. Bagian II, yang paling mengasyikkan, berisi fakta-fakta
tentang Alex yang sedikit demi sedikit terbongkar. Bagian ini sukses membuat
saya menyumpah-serapah. Bagian III, adalah bagian klimaks yang tak kalah
mengejutkan dari dua bagian sebelumnya. Sebuah penutup yang sempurna.
Saya kira kisah di buku ini hanya akan
berpusat ke upaya penyelamatan oleh Camille dan bagaimana Alex mencoba bertahan
hidup dengan kondisinya yang mengenaskan. Saya hampir ingin menunda dulu
membaca buku ini karena saya paling tidak tahan dengan kisah tentang perjuangan
hidup melawan kematian. Ternyata, kisah di buku ini jauh lebih pelik. Penculikan
hanya sebuah jalan pembuka cerita sebenarnya.
Susah memang menemukan kekurangan sebuah buku
jika sudah terjerat dengan jalan ceritanya, fokus ketika membaca hanya pada
kelanjutannya kisahnya saja. Tapi jika dipaksa menyebutkan kekurangan di buku
ini karena alasan bahwa review harus memuat sisi lebih dan sisi kurang sebuah
buku, yang saya sadar hanya satu: typo-nya
lumayan banyak. Tapi belum masuk ke dalam kategori yang mengganggu. Apalagi ketika
sudah keasyikan membaca bagian II-nya yang mencengangkan.
Seperti yang sudah saya sebutkan di judul, twist yang dimiliki Alex berlapis-lapis,
bahkan hingga di lembar terakhirnya! Dengan kejeliannya sang penulis berhasil
menyusun twist ini tanpa meninggalkan
kesan maksa. Dan saya pikir saya mulai suka dengan gaya penulisan Pierre
Lemaitre. Saya harap seri Camille Verhœven
yang lain juga diterjemahkan segera.
“Hah,
kebenaran, kebenaran... siapa yang bisa mengatakan mana yang benar dan yang
tidak, Komandan? Bagi kita, yang terpenting bukan kebenaran, tetapi keadilan,
bukan?”