Kamis, 24 Maret 2016

[Book Review] Panggilan Sang Monster: Tiga Kisah yang Harus Kaudengarkan, Satu Kisah yang Harus Kauceritakan






Judul: Panggilan Sang Monster (A Monster Calls)
Pengarang: Patrick Ness
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 216 halaman

“Aku tulang punggung yang menyangga pegunungan! Aku air mata yang ditumpahkan sungai! Aku paru-paru yang bernapaskan angin! Aku serigala yang membunuh rusa, elang yang membunuh tikus, laba-laba yang membunuh lalat! Akulah rusa, tikus, dan lalat yang dimakan itu! aku ular dunia yang melahap ekornya! Aku segala sesuatu yang liar dan tak bisa dijinakkan! Sang monster mendekatkan Conor ke matanya. Aku adalah bumi liar ini, dan aku datang untukmu, Conor O’Malley.”

Setiap pukul 00.07 monster itu datang menemui Conor. Monster ini punya sosok yang amat besar dan merupakan jelmaan dari pohon yew di belakang rumah Conor. Anehnya, ketika kali pertama didatangi oleh monster itu Conor tak merasa ketakutan. Karena dia pernah melihat yang lebih buruk dari mimpi-mimpi yang selama ini mengganggunya.

Mimpi-mimpi buruk yang datang semakin sering sejak Mum menjalani pengobatan. Mimpi-mimpi yang selalu diakhiri dengan jeritan Conor, dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya ketika dia terjaga.

Tapi Conor keliru jika meremehkannya. Monster itu membawa hal yang amat liar dan berbahaya: kisah-kisah. Kisah-kisah yang nantinya akan memengaruhi Conor di kehidupannya. Dan setelah monster itu menceritakan tiga kisahnya, dia menuntut Conor untuk menceritakan kisahnya sendiri, yang akan menjadi kisah keempat. Di kisah keempat, sang monster menginginkan kebenaran.

“Tidak melulu ada pihak yang baik. Sama halnya bahwa tidak melulu ada pihak yang jahat. Sebagian besar orang berada di tengah-tengahnya.”

Baper karena baca buku? Sudah biasa. Yang jarang adalah perasaan gloomy yang hinggap saat membaca sebuah buku. Dan buku ini salah satu yang mampu melakukan itu.  Ketika membacanya saya seakan dipaksa masuk ke sebuah dunia yang didominasi warna kelabu, dengan cuaca yang selalu mendung. Dan di sana saya diharuskan berperan menjadi anak laki-laki bernama Conor. 

Menurut saya yang berhasil membuat buku ini memengaruhi sampai segitunya adalah karakterisasi tokoh Conor yang ditulis dengan luar biasa. Berkali-kali saya merasa dibuat kalau Conor adalah saya sendiri. Saya bisa ikut merasakan kesedihannya, ketakutan-ketakutannya, amarahnya, tak kalah penting, saya dibuat mengerti dengan jalan pikirannya, dengan tindakan-tindakan yang dilakukannya.

Dilihat dari judul dan covernya, saya pikir buku ini cuma buku fantasi biasa yang bercerita tentang anak kecil yang diganggu oleh sesosok monster. Saya salah besar. A Monster Calls, atau judul terjemahannya: Panggilan Sang Monster adalah sebuah buku tentang hubungan keluarga, tentang ketakutan-ketakutan di kehidupan nyata, tentang keputusan merelakan, melepaskan.

Pastinya cerita dalam buku ini sedih dan nyesek. Akan memengaruhi mood-mu ketika membacanya. Jantung saya rasanya mau meledak saking nyeseknya. Beberapa kali saya harus menghela napas , istirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan membaca.

Eh iya, jangan terkejut ketika melihat harga buku ini dan mengetahui kalau jumlah halamannya hanya 200-an, meski ukurannya agak lebih lebar dari novel pada umumnya. Menurut saya harganya pantas untuk bukunya. Selain karena tetap menggunakan cover asli, di dalam buku ini terdapat ilustrasi-ilustrasi ber-tone dark karya Jim Kay yang akan semakin menambah kesuraman dari cerita di dalamnya.

Satu fakta menarik yang tidak terlalu penting, saya berhasil menulis review ini setelah membaca buku ini dua kali. Dan ketika membaca untuk kedua kalinya-lah saya menemukan fakta bahwa konsep buku ini sangat dipersiapkan dengan matang. 3 kisah yang diceritakan oleh sang monster, awalnya saya menganggap kisah-kisah ini biasa saja. Tapi kemudian saya sadar kalau ketiga kisah ini bukan hanya sekadar pelengkap, apalagi pemanis. 3 kisah ini sangat penting dan berhubungan erat dengan apa yang dialami oleh Conor. Dari ketiga kisah tersebut yang paling saya suka adalah kisah tentang pria tak kasatmata. Efek dari kisah ini cukup mengejutkan sekaligus menyedihkan. 

Saya meyakini dengan pasti kalau review saya ini tidak akan mampu mengungkap semua hal-hal menakjubkan yang akan kamu temui ketika membacanya. Percayalah, buat saya buku ini tidak hanya layak dibaca, tapi sangat layak untuk dimiliki.

“Kau tidak menulis hidupmu dengan kata-kata, ujar sang monster. Kau menulisnya dengan tindakan. Apa yang kaupikirkan tidaklah penting. Satu-satunya yang penting adalah apa yang kaulakukan.”



Selasa, 22 Maret 2016

Terima Kasih :)





Maaf sekali buat teman-teman yang sudah nungguin pemenang giveaway di blog saya. Banyak banget halangan yang bikin nunda saya mengumumkan pemenangnya. Mulai dari listrik mati seharian (damn you, PLN!) sampe ke drama abis kuota (internet) .__.

Terima kasih mungkin tak cukup untuk mengungkapkan apresiasi kalian atas jawaban kalian yang keren-keren banget. Jadi bikin saya semangat lagi buat semakin rajin ngurusin blog ini :))

Sedikit rekap dari jawaban-jawaban terbanyak dari kalian tentang postingan apa yang menarik untuk saya tulis sebagai selingan dari review buku:

- Interview dengan penulis/pihak-pihak yang terlibat dalam terbitnya sebuah buku. Ini emang sudah dipikirkan sih, tapi sampai sekarang belum terwujud :D semoga nanti bisa saya wujudkan yaa..

- Tips menulis review. Saya agak kaget karena banyak yang ngasih saran untuk membuat postingan seperti ini. Wong saya kalo nulis review kadang suka beminggu-minggu nggak kelar x)) malah bikin minder kalo mau sok-sokan ngasih tips. Huehehe..

- Guest post alias mengundang blogger lain untuk diwawancarai tentang dunia per-blog-an. Ini juga keren dan pernah beberapa kali saya baca postingan serupa dari blogger-blogger buku favorit saya.

- Postingan tentang lagu-lagu yang bisa bikin kenikmatan membaca sebuah buku bertambah. Menarik sekali, tapi... saya tipe pembaca yang kurang suka diganggu dengan suara-suara lain pas lagi baca. Kalo baca buku sambil denger lagu, saya suka salah fokus, malah ikutan nyanyi x))

- Tentang tempat-tempat baca favorit atau share toko buku favorit. Kayaknya nggak bakal terwujud. Saya bacanya suka di rumah aja, lagian di tempat saya tinggal, toko bukunya cuma ada satu (yang benar-benar update, itu pun nggak update-update banget). Makanya saya kalo kepingin sebuah buku dan nggak ada di kota saya, terpaksa beli online atau ikutan kuis-kuis :p tapi makasih banyak lho buat sarannya :)

- Postingan yang ikut mengajak pengunjung berpartisipasi. Ini juga saran yang oke, sayangnya blog saya ini agak sepi pengunjung x)) terus saya nggak rajin balesin komentar-komentar dari pengunjung :”>

- Artikel tentang alasan suka membaca, list-list buku rekomendasi, buku favorit, dan sebagainya.

- Ada juga beberapa saran yang agak melenceng dari dunia perbukuan. Karena saya salah satu anggota BBI, jadinya blog ini memang dikhususkan untuk semua hal yang berbau buku :))

Masih banyak lagi saran dari kalian yang tak tercantum di atas. Saran-sarannya menginspirasi saya untuk menjadi blogger lebih rajin lagi ke depannya.

Dan yang ditunggu-tunggu, tanpa berbasa-basi lebih panjang lagi, orang yang beruntung untuk mengadopsi 4 buku kolpri saya adalah...

Frida Kurniawati (@kimfricung)

Selamaaaaat!!! Nanti kamu akan saya hubungi untuk konfirmasi pengiriman hadiahnya :)

Untuk peserta lain, sekali lagi terima kasih sudah berpartisipasi. Di awal april nanti blog ini akan mengadakan blog tour dari sebuah buku lini Young Adult yang keren pake banget terbitan Gramedia Pustaka Utama. Nggak ketinggalan, akan ada giveaway-nya juga! Jangan lupa ikutan yaa ^^

Minggu, 20 Maret 2016

[Book Review] O: Ketika Seekor Monyet Terobsesi Menjadi Manusia






Judul: O
Pengarang: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 478 halaman
Available at: Bukupedia (bukupedia.com)

“Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut.”

Begitulah kalimat yang tertulis di bagian belakang buku terbaru karya Eka Kurniawan ini. Tak ada keterangan lebih lanjut mengenai garis besar ceritanya. Judulnya pun pendek saja, hanya satu huruf.

Jadi, untuk kalian yang penasaran, buku ini bercerita tentang seekor monyet bernama O yang ditinggalkan oleh kekasihnya (yang juga monyet, tentu saja), Entang Kosasih. Dari habitat tempat O tinggal, ada legenda bahwa pernah hidup seekor monyet yang berhasil berubah menjadi manusia. Dan O meyakini kalau Entang Kosasih yang amat terobsesi dengan legenda tersebut telah berhasil menjadi manusia seperti yang selama ini Entang Kosasih impikan.

O pun percaya kalau Entang Kosasih masih menunggunya untuk berubah menjadi manusia dan mereka akan menikah pada bulan kesepuluh, seperti janji yang pernah diucapkan kekasihnya itu. Dengan tekad itu, O berkelana sampai ia bertemu dengan pawang topeng monyet, dan menjalani hidupnya dari seekor monyet bebas menjadi monyet untuk pertunjukan topeng monyet. Bagi O, topeng monyet akan mengajarinya untuk menjadi manusia seutuhnya. Masuk akal kan? Dari sana O diajari untuk bertingkah layaknya seorang manusia. Berjalan dengan dua kaki seperti manusia. Memperagakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia.

Suatu hari secara tak disengaja, O melihat foto dari seorang terkenal yang dikenal sebagai Kaisar Dangdut. Sejak pertama melihat foto itu, hati O berkata kalau Kaisar Dangdut adalah Entang Kosasih, kekasihnya yang telah berubah wujud menjadi manusia.

Benarkah Kaisar Dangdut adalah perwujudan manusia dari Entang Kosasih? Berhasilkah O berubah menjadi manusia?

“Bukan cinta yang membuat kita buta. Tapi keyakinan.”

Ucapan selamat dan salut rasanya harus saya berikan untuk penulis favorit saya ini. Bagaimana tidak, dalam buku terbarunya ini, Mas Eka Kurniawan mencoba hal yang baru dari tulisannya, menceritakan kisah dengan bermacam hewan sebagai karakter-karakter di dalamnya. Yah, memang saya pernah membaca cerpen beliau yang juga berkisah dari sudut pandang seekor bebek dan sebongkah batu, tapi tetap saja saya salut dengan Mas Eka yang menulis buku menakjubkan ini. Saya yakin tak mudah untuk secara konsisten mengemas cerita dari sudut pandang berbagai spesies hewan di dalam buku setebal hampir 500 halaman ini.

Dan seperti yang sudah diketahui selama ini, pantang bagi Mas Eka untuk bercerita hanya dari satu karakter tok, dalam buku ini ada banyak sekali karakter-karakter yang berebut untuk diceritakan kisahnya. Mulai dari hewan-hewan, manusia, bahkan sampai sebuah revolver dan kaleng sarden. Gilanya, kesemua cerita-cerita ini amat menarik, dan saling terkait satu sama lain.

Hal melenakan lain dari O adalah timeline-nya yang acak-adut. Kuat sekali kesannya kalau di buku ini sang penulis menulis dengan seenaknya. Agak sedikit membuat pusing memang timeline ceritanya yang kacau dan sesukanya ini. Tapi yang ini sensasi pusingnya beda, buktikan sendiri kalau tak percaya.

Selain unik karena bukunya tergolong fabel, ada hal lain yang membuat O agak berbeda dari novel-novel Mas Eka sebelumnya, di sini beliau menyisipkan sedikit konten agama, dan menurut saya O inilah karya beliau yang cukup aman, tidak terlalu vulgar. Jauh sekali jika dibanding “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” yang berlabel 21+. Kecuali kalau kamu menganggap narasi tentang hewan kawin termasuk ke dalam kategori vulgar :p

Saya akui saya pembaca yang belum terlalu melek sastra, tapi ada dua poin yang secara tersirat saya tangkap ketika membaca buku ini. Pertama, saya mikirnya kalau kisah O yang ingin menjadi manusia ini merupakan kritik sosial untuk keadaan masyarakat sekarang, di mana semua manusia diharuskan memakai topeng untuk dianggap sebagai manusia oleh manusia-manusia lain. Kedua, bahkan terkadang binatang pun bisa lebih manusiawi dari manusia sekalipun. Atau kebalikannya, bahkan manusia pun bisa lebih binatang dari binatang itu sendiri.

Tapi... karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, tentu saja O tak lepas dari cela. Yang saya sayangkan sedikit sih sebenarnya. Pertama, buku ini merupakan bukunya Mas Eka Kurniawan yang paling banyak typo-nya. Mungkin pengaruh cetakan pertama juga kali ya? Soalnya buku-buku Mas Eka yang saya baca sebelumnya selalu cetakan kesekian. Selanjutnya, yaitu terlalu lamanya jeda di antara rangkaian kisah-kisahnya. Misalnya, ketika satu cerita diakhiri dengan gantung yang membuat penasaran, selanjutnya langsung disambung dengan cerita lain, atau lanjutan cerita lain, nah cerita ini nantinya akan merambat ke mana-mana, sebelum kembali lagi ke lanjutan cerita yang digantung tadi. Karena terlalu lama jedanya, jadi dibuat tidak penasaran lagi. Itu saja sih.

Secara keseluruhan, O tentu saja layak dibaca. Rangkaian kisah-kisah di dalamnya akan membuatmu tersenyum simpul, terenyuh, sampai geleng-geleng kepala. Jadi, tunggu apa lagi? Bukunya sudah mulai beredar dalam minggu ini. Segera dapatkan di toko buku/toko buku online kesayanganmu. 

 “Menjadi batu sering kali satu-satunya yang bisa dilakukan manusia. Lihatlah bongkah batu, yang sebesar rumah maupun sekecil kerikil. Mereka mungkin terlihat, tapi pada saat yang sama terabaikan. Mereka tampak kukuh, tapi pada saat yang sama diam. Batu tampak seperti gumpalan dunia di mana kehidupan berhenti di dalam dirinya sendiri, sementara dunia di luar dirinya bergerak dengan cepat.”

“Ada hal yang juga sabar mendekam: dendam. Ia bisa menyala berkobar membakar apa saja. Di lain waktu, ia barangkali hanya bara kecil yang terpendam. Dendam dilahirkan untuk sabar mendekam.”




Sabtu, 05 Maret 2016

[Book Review] Inteligensi Embun Pagi: Episode Pamungkas yang Masih Menyisakan Pertanyaan





Judul: Inteligensi Embun Pagi (Supernova #6)
Pengarang: Dee Lestari
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 710 halaman

Peringatan! Review ini berisi beberapa spoiler terkait serial Supernova!

Setelah mendapat petunjuk dari upacara Ayahuasca di Lembah Suci Urubamba, Gio berangkat ke Indonesia. Di Jakarta, dia menemui Dimas dan Reuben. Bersama, mereka berusaha menelusuri identitas orang di balik Supernova.

Di Bandung, pertemuan Bodhi dan Elektra mulai memicu ingatan mereka berdua tentang tempat bernama Asko. Sedangkan Zarah, yang pulang ke desa Batu Luhur setelah sekian lama melanglangbuana, kembali berhadapan dengan misteri hilangnya Firas, ayahnya.

Sementara itu, dalam perjalanan pesawat dari New York menuju Jakarta, teman seperjalanan Alfa yang bernama Kell mengungkapkan sesuatu yang tidak terduga. Dari berbagai lokasi yang berbeda, keterhubungan antara mereka perlahan terkuak. Identitas dan misi mereka akhirnya semakin jelas.
Hidup mereka takkan pernah sama lagi.

“Mati yang sesungguhnya bukan urusan putusnya kesadaran dari tubuh. Mati adalah ketika kita lupa. Lupa kalau kita sebenarnya tidak harus jadi bagian dari penjara ini.”

Kosong, sekaligus penuh. Itulah yang saya rasakan ketika buku ini saya selesaikan. Jarang sekali saya merasa seperti ini ketika membaca sebuah buku. Ini lebih dari sekadar book hangover biasa. Ada kehampaan dan kekosongan hati ketika melihat kata TAMAT, yang hanya akan sembuh ketika saya membaca buku yang tak kalah bagusnya di kemudian hari.

Wajar sih saya merasa begini. Meski perkenalan saya dengan serial Supernova baru ±4 tahun yang lalu. Tetap saja, sebagai buku terakhir, membaca IEP seperti melepaskan orang yang kita cintai untuk pergi jauh, dan tak jelas kapan akan dipertemukan kembali. Untuk memulai membaca saja saya masih sempat ragu, takut belum siap. Padahal sejak PO-nya dibuka kemarin, saya amat tidak sabar menantikan kedatangannya.

Sebagai buku terakhir, IEP tentunya menjadi ajang reuni dengan karakter-karakter yang bermunculan di buku-buku sebelumnya. Dan siapkanlah dirimu untuk menikmati pelintiran-pelintiran kisah di dalamnya. Dengan kata lain, akan ada banyak sekali twist-twist bertebaran di dalamnya. Dan meski twist-twist ini mengejutkan sampai bengong, saya sama sekali tidak mendapatkan kesan maksa dengan kemunculannya. Semua terasa masuk akal.

Setelah membaca IEP saya jamin padangan kalian tentang buku-buku sebelumnya akan berubah. Kalian akan melihatnya dari sudut pandang berbeda, anggapan kalian tentangnya tak akan lagi sama.

Selain ajang reuni buku ini bisa dibilang merupakan penggabungan dari buku-buku sebelumnya. Bukan karena karakter-karakternya, tapi juga nyawa dari KPBJ, Akar, Petir, Partikel dan Gelombang sangat kental di dalamnya. Sebagai fans berat Petir, yang paling saya rasakan sih, kekonyolan dari buku Petir masih terasa banget di sini. **Etraaaa!! Aku padamu! xP**

Namun, seperti yang saya tulis di judul, buku ini kurang memenuhi ekspektasi saya. Disebut-sebut kalau semua pertanyaan pembaca akan dijawab IEP, buat saya masih saja IEP menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Tapi meski begitu, 5 bintang layak saya berikan untuk IEP. Terima kasih Mbak Dee, sudah menciptakan serial yang akan selalu memorable buat saya :))

Biar nggak kepanjangan, yang saya tulis di bawah adalah daftar hal-hal yang bikin saya penasaran banget:


  • Tujuan para Peretas ini sebenarnya apa? Misi mereka apa? Apa yang membuat mereka ngebet banget sampai rela lahir berkali-kali di dalam tubuh manusia berbeda? Apakah mereka ini semacam masokis yang senang menyiksa diri dengan petualangan (yang menurut mereka) seru? Atau psycho seperti Rio Dewanto di Modus Anomali? Tolong yakinkan saya kalau mereka bukan jenis orang makhluk seperti itu.

  • Ke mana sosok Firas-yang-bukan-Firas-lagi itu pergi? Kenapa sejak dilihat Zarah sosok itu tak muncul lagi?

  • Saya tahu kalau yang ditemui oleh Bong di Taman Lawang(?) adalah Ishtar. Tapi kemudian apa yang terjadi pada Bong setelah dia bilang “Halo, Kesatria.”? Apakah Bong “terbangun”? Atau dia punya rencana jahat pada Kesatria?

Untuk saat ini saya hanya bisa berpuas diri dengan menerka-nerka sendiri keingintahuan saya. saya paham betul kalau “setiap pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban”. Yang menjadi masalah adalah kapan? Kapan saya bisa bertemu dengan pasangan hidup saya (eh) pasangan dari pertanyaan saya?

Yang menjadi satu-satunya harapan adalah janji(?) yang tersirat di halaman 705: “Sebuah akhir akan melahirkan sebuah awal. Kata “Tamat” akan menggiring kita ke “Pendahuluan” yang baru. Sampai bertemu di kisah berikutnya.” Seperti itulah yang ditulis oleh Mbak Dee di paragraf terakhir bagian “Dari Penulis”. Mari kita berharap saja yang terbaik :))

Untuk mengakhiri review ini, sebagai orang yang sudah baca IEP, walaupun puas (sekaligus juga masih kurang puas *gimana sik? x))*), ada hal-hal yang saya sesali tidak saya lakukan ketika akan dan sedang membacanya. Berikut ini tips dari saya untuk kamu yang baru mau mulai baca IEP:


  • Kalau belum baca buku-buku sebelumnya, bacalah dulu. Sensasinya akan beda karena di situlah letak twist-nya. Pokoknya baca dulu 5 buku sebelumnya. Saya yang udah baca aja masih agak kesulitan ngikutinnya di awal-awal, apalagi yang sama sekali belum kenal dengan serial ini.

  • Kalau sebelumnya sudah baca, bacalah ulang terlebih dahulu KPBJ, Akar, Petir, Partikel dan Gelombang. Jangan ikutan ekstrem kayak saya yang langsung baca IEP. Kalian akan merasa kagok dan keblinger, karena karakter-karakter baik yang utama maupun yang pendukung dari buku-buku tersebut akan muncul lagi. Dengan peran yang sama sekali tidak akan kalian bayangkan di imajinasi terliar sekalipun. Seriusan, sampai sekarang saya masih nyesel nggak baca ulang dulu. Pas di pertengahan, baru nyadar kalau si anu pernah nongol di buku itu, si itu pernah nongol di buku anu, dsb.

  • Siap-siaplah untuk baca ulang lagi, pas selesai baca IEP. Saya juga mau baca ulang kok, tapi tidak sekarang. Sekarang masih belum siap mental >,<

  • Siapkan camilan. Teori sotoy saya: baca sambil mengunyah akan meningkatkan konsentrasi, setiap kunyahan akan membantu proses mencerna setiap kalimat yang kita baca :p

  • Terakhir, kalau menemukan kata-kata yang kurang dimengerti coba cek Glosarium di bagian belakang. Semoga menemukan arti dari kata-kata tersebut yang bikin kalian penasaran.