Judul: 9
November (November 9)
Pengarang: Colleen Hoover
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: November 2016
Tebal: 416
halaman
“Karena
jatuh cinta itu mudah, Ben. Bagian yang sulit itu ketika kau ingin keluar dari
sana.”
9 November. Hari ketika peristiwa naas yang
menimpa Fallon terjadi. Hari yang membuat hidupnya berubah dari seorang aktris
muda naik daun, bintang serial televisi remaja yang digadang-gadang punya
potensi besar untuk punya karir cerah, menjadi seorang cewek minderan dengan
bekas luka di wajah dan tubuhnya.
9 November. Hari ketika Fallon bertemu dengan
Ben untuk pertama kalinya. Ben yang tiba-tiba mengaku sebagai pacar Fallon di
depan ayahnya yang menyebalkan yang berusaha mencegah rencana Fallon untuk
pindah ke New York demi sebuah awal baru, demi mengejar mimpi berada di
panggung-panggung Broadway.
9 November. Menjadi satu hari yang ditetapkan
sebagai jadwal bertemu Fallon dan Ben tanpa berkomunikasi lewat apa pun
sebelumnya. Di 9 November pertama itulah mereka memberikan PR untuk
masing-masing: Fallon harus mengikuti banyak audisi untuk pertunjukan Broadway sedang Ben harus memulai
menulis novel dengan mereka berdua sebagai tokoh utamanya. Hanya satu hari di
dalam satu tahun, mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama. Anehnya ritual
pertemuan ini bukannya menjauhkan, malah semakin membuat Fallon dan Ben terikat
dalam perasaan menggebu-gebu.
9 November. Menjadi hari ketika Fallon
mengetahui kebenaran yang dirahasiakan Ben. Kebenaran tentang apa yang telah dilakukan Ben yang
menjadi benang merah dari semua 9 November yang mereka lalui. Kebenaran tentang
hal buruk yang menimpa Fallon bertahun-tahun silam. Ketika kebenaran itu telah
terkuak, masihkah 9 November menjadi hari spesial yang ditunggu-tunggu?
“Butuh waktu
empat tahun untukku akhirnya jatuh cinta seutuhnya pada lelaki itu.
Hanya butuh
empat halaman untuk berhenti mencintainya.”
Saya tak menyangka kalau akhirnya saya akan
menyukai buku ini. Saya punya pengalaman “buruk” dengan Colleen Hoover, oke,
itu lebay. Nggak buruk-buruk amat sih hanya bukunya yang berjudul Hopeless tidak berhasil saya selesaikan
karena kurang sesuai dengan selera saya. Saya simpulkan begitu karena rata-rata
pembaca yang ngikutin tulisannya Colleen Hoover pasti mengatakan kalau Hopeless adalah yang paling menjadi
favorit mereka dibanding yang lain. Dan saya lega saya telah memutuskan memberikan
kesempatan kedua untuk Colleen Hoover ketika melihat betapa cantiknya cover
buku ini.
Cerita di buku ini dibagi per bab dari November
Pertama hingga November Terakhir. Dan hal ini membuat bukunya tidak
membosankan. Alurnya cepat. Sekaligus dibikin penasaran dengan apa yang terjadi
pada kedua tokoh utamanya selama tahun itu. Lewat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
Ben demi kepentingan novelnya, dan percakapan-percakapan mereka berdua, pembaca
diajak langsung untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kedua tokoh tersebut sepanjang
tahun sebelum mereka bertemu pada 9 November.
Saya suka bagaimana penulisnya berhasil
mempertahankan rasa penasaran pembacanya tapi tidak sampai membuat pembaca jadi
kesal sampai akhirnya memutuskan untuk meninggalkan bukunya, dengan membuka
sedikit demi sedikit selubung misterinya.
Colleen Hoover mampu menyampaikan situasi yang
dialami oleh tokohnya serta bagaimana perasaan tokoh tersebut tentangnya dengan
sangat baik. Saya ikut kesal pada ayah Fallon yang sangat tak suportif, saya
ikut patah hati ketika tahu siapa yang dikencani Ben di November Keempat, saya
ikut deg-degan saat Fallon diam-diam membaca novel yang ditulis oleh Ben. Dan bagian
novel yang ditulis oleh Ben ini benar-benar ditulis ulang, disuguhkan layaknya
sebuah novel baru, menjadi novel di dalam novel. Sangat meyakinkan kalau
tulisan tersebut memang hasil dari pemikiran Ben meski yang disuguhkan hanya
beberapa bab.
Overall,
surprisingly saya puas dengan
buku ini. Saya jadi mau nyoba baca bukunya Colleen Hoover yang lain nih. Tapi
bingung mau baca yang mana dulu, Slammed,
Maybe Someday, Ugly Love, atau
Confess. Ada saran?
“Cinta
seharusnya terjalin antara dua orang, dan jika tidak seperti itu, lebih baik
aku keluar dibanding ikut serta dalam perlombaan.”
“Kau takkan
pernah bisa menemukan diri sendiri jika kau tersesat dalam diri orang lain.”