Judul:
Labirin Rasa
Pengarang:
Eka Situmorang-Sir
Penerbit:
Wahyumedia
Tahun
Terbit: 2013
Tebal:
394 halaman
“Tuhan ciptakan otak dan mata. Itu adalah kamera dengan memory card yang paling canggih.”
Buku ini bercerita tentang gadis
bernama Kayla. Suatu hari Kayla pergi liburan ke rumah neneknya di Yogyakarta untuk refreshing lantaran
IPK-nya yang jeblok. Di perjalanan, Kayla bertemu pemuda tampan bernama Ruben.
Ingin menarik hati Ruben, Kayla memaksanya untuk menjadi pemandu gratis selama
Kayla berada di Yogya.
Hubungan mereka mulai dekat sampai
kemudian Kayla tahu kalau Ruben sebenarnya sudah punya pacar yang di mata Kayla
sempurna. Tentu saja Kayla merasa patah hati mengetahui hal itu padahal dia
telah banyak berkorban untuk bisa selalu dekat dengan Ruben. Dengan nekad Kayla
kemudian memutuskan untuk traveling ke berbagai daerah di Indonesia.
Di perjalanannya, Kayla bertemu
dengan orang-orang yang sedikit-banyak telah mengubah pandangannya tentang kehidupan.
“Cinta itu membahagiakan, namun jika ia sudah mulai jadi beban lepaskan
jika harus melepaskan. Beri waktu, beri ruang untuk cinta dapat bertumbuh alami
hingga ia bisa mengambil keputusan. Karena cinta tak boleh dipaksakan. Ia
hinggap bebas di hati setiap orang tanpa bisa diatur.”
Sebelumnya, dalam me-review buku ini saya membagi dua poin penting yaitu hal-hal yang (menurut saya) merupakan kekurangan buku ini dan kelebihan buku ini. Hal-hal yang kurang dalam buku ini:
- Yang pertama, saya tidak merasakan chemistry antar tokohnya.
- Cerita buku ini terkesan dipanjang-panjangkan dan berputar-putar. Kenapa Kayla harus dipertemukan lagi dengan si ini kalau akhirnya Kayla tetap dengan si itu. Jadinya bikin geregetan :D
- Typo yang bertebaran, kekurangan tanda petik(“), penulisan kata “frustasi” yang seharusnya “frustrasi”, termasuk tidak konsisten dalam penulisan "yangti" dan "yangkung", huruf “y”-nya mau huruf besar atau kecil sebenarnya?
- Pada halaman 377, sebagai penggemar The Lord of The Rings, saya merasa sedikit terganggu dengan kalimat “Ke negeri para Frodo.”, mungkin maksudnya Hobbit kali ya? Karena setau saya, Frodo itu nama karakter utamanya, kalau Hobbit itu jenis spesiesnya : ))
- Yang paling ganjil adalah pada halaman 153, tentang tokoh Ipul dan Iqko yang tiba-tiba saja muncul tanpa diperkenalkan sebelumnya. Awalnya saya merasa heran sekali dengan hal ini, saya pikir saya yang melewatkan perkenalan mereka, tapi setelah saya membolak-balik lagi halaman-halaman sebelumnya, saya tidak menemukan nama mereka disebut-sebut. Atau mata saya yang kurang jeli?
- Sayang sekali buku peninggalan Yangkung tidak dieksplor lagi lebih jauh, yang disebutkan hanya halaman-halaman yang ditulis khusus untuk Kayla saja.
Setelah nyinyir dengan kekurangannya, inilah poin-poin yang membuat saya betah membaca buku ini:
- Yang pertama, tentu saja settingnya yang menunjukkan keeksotisan Indonesia di berbagai kota dan pulau.
- Narasinya menyenangkan. Contoh: “Sementara, matanya, matanya hijau bening. Bukan karena titisan serigala, bukan juga karena ngeliat uang dolar.”
- Campuran genre-nya yang sedikit mengarah ke misteri. Lumayan menarik sebagai selingan.
- Judulnya, saya suka judul yang dipilih, “Labirin Rasa”. Ada kesan misterius dari judulnya, semisterius bentuk labirin.
- Saya suka buku yang memberikan pengetahuan kepada pembacanya, dan dalam buku ini terdapat penjelasan tentang budaya dan adat Batak, karena sebelum membaca buku ini saya sama sekali buta soal itu.
Akhirnya, walaupun buku ini tak sempurna, karena sebenarnya pun tak ada yang sempurna di dunia ini *sok bijak* :D, untuk ukuran sebuah karya debut, Labirin Rasa cukup menarik dan menghibur untuk dibaca.
“Banyak kok orang nikah tapi mengeluh hidupnya kayak di neraka. Nggak
kalah banyaknya juga mereka yang tidak berpasangan tapi justru selalu tertawa.
Soal bahagia itu kan bukan soal punya suami dan anak, tapi soal bagaimana
merasa puas dengan diri sendiri.”
RATING 3/5
Review ini diikutkan dalam Lomba Book Review: Labirin Rasa.