Postingan
terkait:
Judul: Ulat Sutra (The
Silkworm)
Pengarang: Robert
Galbraith
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 536 halaman
“Kita tidak saling mencintai; kita
mencintai gagasan yang kita miliki tentang yang lain. Hanya sedikit manusia
yang memahaminya ataupun sanggup merenungkannya. Mereka buta terhadap kemampuan
imajinasi mereka sendiri. Semua bentuk cinta, pada akhirnya, adalah cinta
kepada diri sendiri.”
Kesuksesan memecahkan kasus Lula
Landry membuat Strike menjadi sorotan. Suatu hari seorang wanita bernama
Leonora Quine meminta bantuan Strike untuk melacak keberadaan suaminya, Owen
Quine. Dia adalah seorang penulis, dan memang sering menghilang tanpa kabar.
Tapi kali ini suaminya menghilang lebih lama dari biasanya. Sedangkan
melaporkannya ke polisi hanya akan membuat Leonora disalahkan jika ternyata
Owen Quine hanya pergi tanpa pamit seperti biasa.
Akan tetapi, seharusnya sedari awal
Strike sudah merasakan bahwa kasus ini akan rumit. Sebelum menghilang, Owen
Quine baru saja merampungkan naskah novel terbarunya. Masalahnya naskah
tersebut amat berbahaya, sebab isinya menyinggung dan menghujat banyak orang di
sekitar Owen Quine. Dan naskah tersebut, karena sebuah kesalahan, telah bocor
ke berbagai pihak di dunia penerbitan termasuk orang-orang yang dihujat di
dalamnya.
Akhirnya Strike menemukan Owen Quine,
yang telah tak bernyawa, tentu saja. Kondisi mayatnya amat mengenaskan, sulit
dikenali jika hanya dengan melihatnya. Leonora pun menjadi yang pertama
dicurigai oleh kepolisian.
Ketika kepolisian berusaha mencari
bukti yang akan memberatkan Leonora, bersama Robin yang kini telah resmi
menjadi asistennya Strike melakukan penyelidikan untuk membuktikan bahwa
kliennya tersebut tak bersalah. Akankah Strike kembali berhasil memecahkan kasus
yang lebih keji dari kasus-kasus yang pernah ditanganinya ini?
“Tetapi penulis adalah makhluk buas, Mr. Strike. Jika Anda mengharapkan
persahabatan seumur hidup dan kesetiakawanan yang tidak egois, bergabunglah
dengan militer dan belajarlah membunuh. Kalau Anda menginginkan aliansi
temporer seumur hidup dengan sesama yang akan menari gembira di atas tiap
kegagalan Anda, menulislah novel.”
Saya yakin setiap buku yang dimiliki
seseorang pasti ada cerita di baliknya. Tentang bagaimana perjuangan
mendapatkannya, atau punya kesan lebih karena mendapat bukunya secara gratis, diberikan
oleh orang tersayang, atau sekadar cerita sederhana nggak sengaja kebeli
padahal niat ke toko buku cuma pengin liat-liat doang. Jika saya ditanya adakah
cerita berkesan di balik buku-buku yang saya punya, tentu saja banyak. Namun cerita
saya dengan buku ini masuk ke kategori spesial.
Jadi, sebelum buku ini diterjemahkan
dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, akibat terlalu jatuh cinta dengan
buku pertamanya, saya nekat baca edisi Bahasa Inggrisnya. Meski harus beberapa
kali bolak-balik buka aplikasi kamus di ponsel, terutama di bagian nukilan dari
tulisan Owen Quine dan sedikit penjelasan tentang naskah Bombyx Mori-nya.
Nah, kebetulan pas buku terjemahannya
terbit, bukunya nggak masuk di toko buku kota saya. Saya pun kecewa. Sedangkan
untuk beli online rasanya berat di
ongkos kirim. Ongkirnya lumayan banget sih, udah bisa beli satu judul buku lagi.
Makanya saya jarang banget beli buku online,
kecuali kalau memang kepingin banget, atau ada pre-order plus plus *malah tjurhat*.
Itulah kenapa banyak yang bilang
kalau urusan buku ini sama aja kayak jodoh. Kalau udah ditakdirkan jadi milik
kita, juga nggak bakal ke mana. Singkatnya, suatu hari saya menang kontes #ResensiPilihan
yang diadakan GPU setiap minggu. Dan kerennya, nggak kayak dulu yang berhadiah
satu buku, sekarang #ResensiPilihan hadiahnya dua buku! Agak nggak nyangka sih
pas ternyata salah satu buku yang dikirim ke saya sebagai hadiah adalah buku
ini. Begitulah cerita singkat saya
bersama buku ini.
Buku kedua ini jelas lebih brutal dan
disturbing dari Dekut Burung Kukuk. Plotnya
juga lebih seru. Tak butuh waktu lama dari mulai membaca, saya sudah kembali
terlarut dalam penyelidikan Strike. Ternyata cukup banyak detail yang saya
lewatkan ketika membaca versi Bahasa Inggrisnya dulu.
Udah nggak bisa ngomong panjang lebar
lagi deh. Ulat Sutra harus dibaca bagi yang sudah baca buku pertamanya, bagi
yang suka buku yang bikin ikutan nebak-nebak, bagi yang suka kisah yang
dipelintir di ending.
Ngomongin soal ending, ini nih bagian yang jadi favorit saya. Karena: satu, saya sudah yakin betul tebakan saya dari
awal kalau pelakunya “dia”, eh ternyata saya salah kaprah. Pelakunya adalah
orang terakhir yang saya curigai. Dua, Robin berperan cukup besar di ending-nya. Bahkan hampir membahayakan
nyawanya sendiri. Dan sisi lain dari Robin yang tak saya sangka bikin saya
makin suka sama dia.
Lima bintang tentu saja pantas diberikan
untuk Bombyx Mori, eh... Ulat Sutra
maksudnya.
“Manusia membunuh demi keuntungan dan pertahanan diri, mendapati dalam
diri mereka kemampuan untuk pertumpahan darah ketika tak satu pun alternatif
tersedia; tetapi ada pula orang-orang yang berada di bawah tekanan paling
intens pun tetap tak mampu mendesak, menyambar peluang, membongkar tabu paling
besar dan final.”
Cerita yang bercerita mengenai penulis.... Lha penulis saja adl pribadi yg rumit, apalagi cerita tentang kasus pembunuhan terjadap penulis, pasti rumit.
BalasHapus