Judul: Hujan
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: April 2016 (cetakan
keempatbelas)
Tebal: 320
halaman
Tentang Persahabatan
Tentang Cinta
Tentang Perpisahan
Tentang Melupakan
Tentang Hujan
Ternyata, sebelum Eka Kurniawan,
bukunya Tere Liye sudah duluan menggunakan hanya beberapa kalimat di cover
belakangnya, tanpa sinopsis bagaimana isi bukunya. Kisah buku ini simpel
sekaligus kompleks untuk diceritakan, makanya agak susah sebenarnya memberikan
gambaran singkat mengenainya. Tapi akan saya coba :D
Di tahun 2042, terjadi gempa bumi
maha dahsyat yang merenggut lebih dari separuh populasi manusia di bumi. Lail
merupakan salah satu dari penduduk bumi yang selamat. Saat itu Lail baru berusia tiga belas tahun, dan dia harus
merasakan kehilangan segalanya.
Beruntung dia mengenal Esok akibat bencana
alam tersebut. Esok lebih tua beberapa tahun dari Lail, dialah yang selama
mereka tinggal di tenda pengungsian, yang mengembalikan semangat hidup Lail,
bahkan meski Esok sendiri kehilangan keluarganya, kecuali ibunya yang kedua
kakinya harus diamputasi akibat tertimpa benda berat ketika gempa terjadi.
Singkat cerita, kota tempat mereka
tinggal mulai pulih, Esok yang genius diangkat anak oleh orang kaya yang berjanji
akan menyekolahkannya dan merawat ibunya. Sedangkan Lail, bersama anak-anak
lain tinggal di asrama yang dibangun oleh pemerintah. Di sana dia kemudian
berkenalan dengan anak perempuan yang kelak akan menjadi sahabat sejatinya,
Maryam.
Banyak hal terjadi pasca bencana alam
tersebut, namun kehidupan masih tetap berlanjut. Terpisah oleh jarak dan
kesibukan masing-masing, Lail dan Esok yang beranjak dewasa semakin jarang
bertemu, paling sering satu tahun sekali. Namun perasaan spesial kepada Esok
semakin berkembang tanpa Lail sadari.
Buku ini sendiri dibuka dengan adegan
di sebuah ruangan berteknologi mutakhir. Di sana Lail yang telah berumur dua
puluh satu tahun bermaksud untuk menghapus memorinya tentang hujan. Lalu,
mengapa Lail malah ingin melakukannya? Padahal selama ini Lail menyukai hujan
karena hujan menjadi penanda banyak peristiwa penting yang dialaminya sejak
kecil. Dan apa pula hubungan keputusan Lail itu dengan Esok?
“Kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa
menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari
langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.”
Memang benar nyatanya, selera orang
bisa berubah. Kalau buku ini saya baca beberapa tahun sebelumnya, saya yakin
akan amat terkesan. Sayangnya, ketika timbul ketertarikan pada buku ini sejak pertama
terbit, saya pikir kisahnya akan sederhana. Maksud saya yang settingnya di masa
sekarang, dan sesuai dengan apa yang sedang terjadi sekarang, misalnya saja
seperti Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Salah saya sendiri sih tidak
membaca review-review, atau setidaknya mencari tahu terlebih dahulu seperti apa
ide cerita bukunya.
Dan sedikit kekecewaan lantaran
settingnya yang futuristik bertambah dengan, entah apa istilah yang tepat,
pembangunan dunia yang menjadi settingnya(?). Penulisnya gagal untuk meyakinkan
saya dalam hal membangun dunia sendiri (masa depan) sebagai setting cerita buku
ini. Saya merasa ada yang janggal. Sama seperti yang saya rasakan ketika
membaca novelnya yang berjudul Bumi.
Selanjutnya, gaya penceritaan dan
diksinya sih, memang Tere Liye banget.
Tapi kok dialog-dialognya berasa awkward
ya? Agak kaku gitu, apalagi kalau diucapkan keras-keras. Malah narasi sudut pandang
orang ketiganya lebih luwes dibanding dialognya sendiri. Ini lagi-lagi menurut
saya lho ya! x)
Satu lagi deh, sekalian nambahin yang
kurang, dikit banget kalimat qoute-able-nya!
Padahal kalimat-kalimat quote-able
yang #jleb adalah salah satu yang selalu saya tunggu-tunggu setiap membaca
buku-bukunya Tere Liye *lumayan, kan, bisa di-upload ke medsos xP*.
Akan tetapi... meski timbul beberapa
ke-nggak-sreg-an ketika membacanya, saya masih lumayan suka kok dengan buku ini.
Seperti membaca buku-buku Tere Liye lainnya, saya kembali mendapat banyak
pengetahuan baru setelah membaca ini. Dengan kata lain, Hujan tetap punya
elemen bergizinya. Dan sekarang saya jadi mengerti kenapa selama ini saya masih
susah move on. Sebab alih-alih
menerima, yang saya lakukan adalah (berusaha) melupakan. Padahal seharusnya yang
saya lakukan adalah belajar menerima. Mengutip dari buku ini: “...bukan melupakan yang jadi masalahnya.
Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan.
Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.”.
Tolong jangan baper! x))
“Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah
merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit
disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling
canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki.
Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu?
Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahya jatuh cinta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar