Minggu, 19 Januari 2014

[Book Review] Versus by Robin Wijaya






Judul: Versus
Pengarang: Robin Wijaya
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 400 halaman

“Satu hal lagi yang aku pelajari kini, bahwa manusia tak akan pernah punya sikap adil. Kita akan cenderung membela apa yang kita sukai.”

3 sahabat yang berasal dari latar belakang keluarga berbeda dengan keterlibatan pada konflik yang sama: perselisihan antar kampung. Kampung Bayah dan Kampung Anyar ini memang sudah sejak dulu berselisih. Bahkan tak jelas pihak mana yang memicu perselisihan ini. Masalah kecil pun bisa jadi amat besar jika yang berselisih adalah dua orang dari dua kampung itu.

Amri. Remaja pemberontak yang merasa ayahnya memperlakukan dia dan adiknya, Danu secara tidak adil. Danu yang penurut dan merupakan anak kebanggaan ayahnya. Sedang Amri merasa ayahnya selalu berpendapat bahwa apa pun yang selama ini dilakukannya salah.

Chandra. Persoalan Chandra lebih rumit lagi karena dia merupakan keturunan etnis Tionghoa. Chandra sering sekali menjadi korban diskriminasi hanya karena dia bukan ras asli pribumi. Dari bullying di sekolah sampai dipalak oleh preman. Sialnya lagi, kedua orangtua Chandra lebi memedulikan urusan bisnis toko mereka daripada anak mereka sendiri. 

Bima. Bagian Bima menurut saya yang paling menarik, tapi karena berdampak spoiler, saya ceritakan seidkit saja yak x)). Bima selama ini tinggal bersama kakaknya, Arya. Orangtua mereka bercerai dan telah menikah masing-masing dan dengan teganya menelantarkan darah daging mereka sendiri.

Kebersamaan mereka menyadarkan mereka arti hidup dan keluarga. Silakan simak kisah persahabatan dengan latar belakang perselisihan antar kampung ini dalam Versus :))

“Jadi, pelajaran nomor satu, jangan percaya sama aktor film laga kalo mau berantem.”

Kalau boleh jujur, 2 karya bang Robin yang pernah saya baca memang bukan selera saya. Karena bang Robin menggunakan bahasa puitis yang berbunga-bunga. Dan saya bukan penggemar gaya bahasa seperti itu :D

Tapi setelah membaca beberapa review tentang buku ini, dan banyak yang bilang kalau buku ini cukup berbeda dengan karya-karya bang Robin sebelumnya, terutama pada gaya bahasa. Dan hal tersebut berhasil membuat saya penasaran. Kebetulan sekali saya menang kuis yang sama sekali tidak saya ikuti, bahkan tau ada kuisnya pun nggak xD bisa dibilang saya jadi “korban” yang di-mention (via twitter), dan ternyata yang me-mention itu menang, otomatis saya ikut kecipratan dapet 1 eksemplar ;)) *maapkeun kalo malah pamer xD*

Ada yang pernah nonton drama Korea Reply 1997? Atau Reply 1994? Nah, cara bercerita buku ini kurang lebih seperti dua drama tersebut yaitu dengan penceritaan flashback masa kini dan masa lalu. Gaya bercerita seperti ini menurut saya membuat betah baca bukunya karena membuat penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Ditambah lagi dengan penggunaan 3 sudut pandang berbeda.

Karakterisasinya juara. Ada ciri khas tersendiri dari ketiga tokoh utamanya ketika bercerita. Menurut saya sik salah satu yang menunjang perbedaan cirri khas tersebut dengan penggunaan “aku”, “gue” dan “saya”.

Dan karena setting waktunya kebanyakan tahun 97-an, otomatis ada barang-barang yang membuat bernostalgia kayak: dingdong(saya malah baru tau kalo 1997 udah ada dingdong xD), Billabong, tamiya, walkman, komik Tinju Bintang Utara dan masih banyak lagi.

Eh iya sampe lupa, buku ini juga sedikit membahas isu sosial politik sekarang, nggak ketinggalan, the one and only si FA ;))

Sayang saya nggak menangkap maksud dari covernya. Menurut saya sik covernya kurang cocok dengan isinya.

Semoga bisa membaca karya bang Robin selanjutnya yang (kayak kata orang) maskulin macam buku ini.

MEMORABLE QUOTES:

  • “Bung, kedewasaan itu dibentuk dari waktu dan pengalaman. Sialnya, waktu yang menambahkan umur seseorang nggak bisa jadi jaminan kedewasaannya.” – Hal. 17
  • “Kalau waktu tak pernah berhenti, maka cara kita untuk bertahan adalah dengan terus bergerak.” – Hal. 23
  • “Kalau tak pernah ada solusi, maka cara kita bertahan dari masalah adalah dengan mencoba mengurangi.” – Hal. 23
  • “Pertemuan dengan Amri membuat gue menarik kesimpulan kalau ada hal-hal yang nggak bisa kita ubah sama sekali dalam hidup. Mereka akan terus ada, berjalan bersisian dalam kehidupan kita. Sekarang, tinggal bagaimana menentukan pilihan: larut dan hancur di dalamnya, atau malah membiarkannya. Membiarkan bukan dalam arti menyerah, dan bukan pula melawan. Karena melawan adalah bentuk kebencian yang lain.” – Hal. 159
  • “Perbedaan bukan sesuatu yang salah. Dan cara untuk menyiasatinya hanya dengan satu hal, menerima.” – Hal. 378


RATING 4/5

2 komentar:

  1. Semirip Reply 1997/1994? Maju mundur gitu yah? Ah, sayang kemarin saya kesal sekali dengan ending Reply 1994 *salah fokus,.
    Sering lihat buku ini diobrolin di twitter, jadi ingin baca juga,. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, gitu deh kira-kira :D tapi dengan kadar romance 5% x))

      Udah nonton Reply 1994 sampe abis? Aah saya masih di episode 5 -___- bagusan mana sama Reply 1997? *dibahas*

      Hapus