Kamis, 26 Mei 2016

[Book Review] The Vegetarian: Bukan Buku Tentang Gaya Hidup Sehat






Judul: The Vegetarian
Pengarang: Han Kang
Penerbit: Hogarth
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 188 halaman

“Her profile swam toward me out of the darkness. I took in her eyes, bright but not feverish, as her lips slowly parted.
‘I had a dream.’
Her voice was surprisingly clear.”

Akhir-akhir ini mood baca saya kembali menurun. Semua ini disebabkan oleh banyaknya drama-drama Korea bagus yang wajib banget buat diikutin >.< Gini deh kalo udah nemu tontonan menarik, bacaan jadi terbengkalai. Untungnya saya kemudian nimbrung maksa ikutan baca bareng Mbak Desty sama Mbak Vina pas saya tahu kalau mereka lagi baca bareng buku ini. Ketertarikan awal pada buku ini lebih karena keberhasilannya menyabet penghargaan Man Booker Prize 2016. Saya penasaran sebagus apa buku yang berhasil mengalahkan Man Tiger dan nominator lain ini.

Konsep review untuk baca bareng buku ini agak beda. Jadi kan buku ini terbagi menjadi tiga babak dengan sub judul berbeda, The Vegetarian yang diceritakan dengan pov pertama suami dari sang tokoh utama, Yeong Hye. Babak kedua Mongolian Mark yang bercerita dengan pov ketiga lewat kakak ipar Yeong Hye. Dan selanjutnya Flaming Trees, babak pamungkas yang juga menggunakan pov ketiga, kali ini lewat kakak perempuan Yeong Hye, In Hye. Kami bertiga memutuskan untuk masing-masing me-review satu sub judul.

Nah, saya lalu milih yang pertama. Alasan (biar kedengeran) kerennya, bagian ini yang menurut saya paling intens, bisa jadi karena mengunakan pov pertama. Alasan sebenarnya, saya paling ngertinya di bagian ini sik x)) semakin ke belakang bukunya semakin absurd, di bagian terakhir banyak yang saya nggak ngerti. Hahaha. Tapi sekarang sedikit banyak udah ngerti melalui rumpian diskusi kecil-kecilan sama Mbak Desty dan Mbak Vina.

The Vegetarian ini bacaan yang bagus sebenarnya, di awal saja sudah bikin saya kepincut. Berikut saya kutip kalimat pertamanya: “Before my wife turned vegetarian, I’d always thought of her as completely unremarkable in every way.”. Gimana? Sudah bikin bertanya-tanya kan? ;))

Saya ingatkan, buku ini sama sekali bukan buku tentang gaya hidup sehat yaa. Malahan ini termasuk buku yang sakit. Lebih tepatnya sih orang-orang yang diceritakan di dalamnya yang sakit x(. Di bagian pertama ini kisahnya sendiri berpusat ke Yeong Hye yang di suatu malam, ketika suaminya terbangun untuk ke kamar mandi di melihat Yeong Hye berdiri di depan kulkas yang terbuka dengan fokus tatapannya ke kantong-kantong daging di dalam kulkas. Teguran dari suaminya pun tak digubrisnya, suaminya pun mengabaikan, dia menganggap Yeong Hye hanya sedang berjalan dalam tidur. Ternyata dugaan suaminya salah, sejak itu kelakuan Yeong Hye semakin aneh. Dia membuang semua persediaan daging, telur, dan susu lalu mengatakan pada suaminya kalau dia memutuskan untuk menjadi vegetarian. Suaminya makin merasa bingung ketika Yeong Hye mengatakan alasannya karena sebuah mimpi. Mimpi seperti apa yang dialami Yeong Hye? Cari tahu sendiri dong xP

Yang menarrik dari bagian pertamanya ini, semakin jauh membaca, semakin dibuat bertanya-tanya. Dan memang baca buku ini tuh harus sabar memang, karena beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu menyebar dari tengah sampai di akhir bukunya.
 
Ngomong-ngomong, tadi saya sempat bilang kalau bagian pertama ini yang paling intens kan? Sebenarnya bukan karena di bagian ini menggunakan pov pertama saja. Tapi, ada beberapa bagian-bagian yang menjadi porsi Yeong Hye yang bercerita. Dan ini bagian terbaiknya, pembaca ikut tersesat di labirin pikiran Yeong Hye. Saya nggak mau spoiler, tapi ada bagian yang cukup membuat tak nyaman di babak pertama ini x(

Alur penceritaannya nyambung dari babak satu sampai terakhir, tapi dengan timeline yang maju mundur cantik. Dan masih tetap berpusat ke Yeong Hye. Penasaran dengan seperti apa cerita di Mongolian Mark dan Flaming Trees? Baca review Mbak Desty dan Mbak Vina di tautan yang telah saya buat di bawah ini ;)

Namun sebelumnya, izinkan saya ngasih rating untuk bukunya. Ketika membaca babak pertamanya, saya sudah putuskan untuk memberi 4 bintang, tapi... semakin ke belakang semakin membingungkan, bahkan sampai saya nulis review ini saya masih belum menangkap maksud dari sang pengarang menulis buku ini x)) jadi, 3 bintang untuk The Vegetarian.

 “Everything starts to feel unfamiliar. As if I’ve come up to the back of something. Shut up behind a door without a handle. Perhaps I’m only now coming face-to-face with the thing that has always been here. It’s dark. Everything is being snuffed out in the pitch-black darkness.”


“Can only trust my breasts now. I like my breasts, nothing can be killed by them. Hand, foot, tongue, gaze, all weapons from which nothing is safe. But not my breasts. With my round breasts, I’m okay. Still okay. So why do they keep on shrinking? Not even round anymore. Why? Why am I changing like this? Why are my edges all sharpening—what I am going to gouge?”






Sabtu, 14 Mei 2016

[Book Review] Kumpulan Budak Setan: Persembahan Bagi Penulis Horor Legendaris






Judul: Kumpulan Budak Setan
Pengarang: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Februari 2010
Tebal: 174 halaman

“Kata istriku, bajang itu serupa musang, tapi ia mengeong serupa kucing. Hantu macam begitu sering mendatangi perempuan-perempuan bunting, merampok anak di dalam perutnya, atau membuatnya gila. Aku telah berkeliling kampung mencari secarik sutera hitam dan kukaitkan di pergelangan tangan istriku sebagai penangkal hantu bajang, tapi aku tetap mencemaskannya.” – Penjaga Malam - Eka Kurniawan

Iseng nge-search “Eka Kurniawan” di menu pencarian SCOOP ternyata membawa saya menuju harta karun tak terduga. Tanpa sengaja saya menemukan buku ini yang dijual dengan harga sangat murah. Dari semua buah karya Eka Kurniawan (yang fiksi) buku inilah yang belum saya punya. Kecuali Corat-Coret di Toilet, karena saya sudah pernah membaca cerpen-cerpen di dalamnya di Gelak Sedih, jadi tak punya pun rasanya tak apa :p.

Kumpulan cerpen ini boleh dibilang sebuah tribute untuk Abdullah Harahap, beliau merupakan penulis yang dikenal lewat novel-novel bertema horornya. Seingat saya, saya belum pernah membaca satu pun karyanya, tapi menyimpulkan dari bagian pengantarnya garis besar tema yang diangkat di novel-novel Abdullah Harahap yaitu horor dengan sedikit bumbu erotika.

Membaca buku ini seperti sedang menonton film omnibus horor yang setiap segmennya berisi lagi film-film pendek. Untuk itu, dalam review ini saya akan membahas per segmennya. Anyway, Kumpulan Budak Setan ini terbagi menjadi tiga segmen yang diracik oleh masing-masing penulis yang berkontribusi di dalamnya. Tiap segmen terdiri dari empat cerpen.

“Kini ia paham: orang banyak mengira selangkangan itu adalah bagian dari tubuh mereka, alat mereka, sesuatu yang digerakkan oleh hasrat mereka. Mereka keliru, tentu. Benda kecil di selangkangan itulah iblisnya. Laki-laki hanyalah inang.” – Hidung Iblis - Ugor Prasad

Dalam segmen pertama, Eka Kurniawan menulis cerpen-cerpen bertemakan mitos dan kepercayaan yang berhubungan dengan hal mistis. Mungkin karena tiga cerpen pertamanya sudah pernah saya baca di buku lain (Penjaga Malam, Taman Patah Hati, dan Riwayat Kesendirian), cerpen paling berkesan buat saya adalah cerpen terakhir di segmen ini yang berjudul Jimat Sero.

Selanjutnya, di segmen kedua, Intan Paramaditha menawarkan keseraman di kelas berbeda. Cerpen-cerpen yang ditulis olehnya lebih sadis dan cenderung disturbing. Keempatnya menjadi favorit tapi yang paling meninggalkan bekas tentu saja Si Manis dan Lelaki Ketujuh. Sampai saya menulis review ini, masih terbayang adegan dan penggambaran disturbing-nya -_-“.

Segmen terakhir, menurut saya yang paling lemah dibanding yang lain. Tapi di sini Ugoran Prasad berani mengambil ide cerita yang lebih beragam. Eh, mungkin “segman paling lemah” juga bukan kata yang tepat sih untuk menggambarkannya. Saya cuma kurang suka dengan gaya berceritanya yang kurang lugas. Favorit saya di segmen ini jatuh pada cerpen Hidung Iblis.

Tak salah saya mengidamkan buku ini sejak lama. Hasil setelah baca, saya sangat puas dengan suguhan kengerian yang sensasinya berbeda-beda. Tapi, ada satu kekurangan dari buku ini yang menonjol, typo-nya sudah masuk ke dalam ketegori mengganggu. Ada pula beberapa kali kesalahan penggunaan awalan “di”. Saya malah sempat bertanya-tanya: benarkah ini edisi final-nya? Untuk tata bahasa, baku tidak baku, terlepas itu disengaja atau tidak, saya tak mau berkomentar panjang lebar lagi ah, takut nanti dibilang sok tahu. xD

Akhir kata, buku ini saya rekomendasikan untuk yang mengaku pencinta kumpulan cerpen maupun karya fiksi bertema horor.

“Benar kata orang, lebih mudah menikah daripada bercerai. Dan lebih mudah mengatakan cinta daripada memutuskan tali asmara.” – Taman Patah Hati - Eka Kurniawan




Jumat, 13 Mei 2016

[Book Review] Hujan: Antara Melupakan, Penerimaan, dan Kebahagiaan






Judul: Hujan
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: April 2016 (cetakan keempatbelas)
Tebal: 320 halaman

Tentang Persahabatan
Tentang Cinta
Tentang Perpisahan
Tentang Melupakan
Tentang Hujan

Ternyata, sebelum Eka Kurniawan, bukunya Tere Liye sudah duluan menggunakan hanya beberapa kalimat di cover belakangnya, tanpa sinopsis bagaimana isi bukunya. Kisah buku ini simpel sekaligus kompleks untuk diceritakan, makanya agak susah sebenarnya memberikan gambaran singkat mengenainya. Tapi akan saya coba :D

Di tahun 2042, terjadi gempa bumi maha dahsyat yang merenggut lebih dari separuh populasi manusia di bumi. Lail merupakan salah satu dari penduduk bumi yang selamat. Saat itu Lail baru  berusia tiga belas tahun, dan dia harus merasakan kehilangan segalanya.

Beruntung dia mengenal Esok akibat bencana alam tersebut. Esok lebih tua beberapa tahun dari Lail, dialah yang selama mereka tinggal di tenda pengungsian, yang mengembalikan semangat hidup Lail, bahkan meski Esok sendiri kehilangan keluarganya, kecuali ibunya yang kedua kakinya harus diamputasi akibat tertimpa benda berat ketika gempa terjadi.

Singkat cerita, kota tempat mereka tinggal mulai pulih, Esok yang genius diangkat anak oleh orang kaya yang berjanji akan menyekolahkannya dan merawat ibunya. Sedangkan Lail, bersama anak-anak lain tinggal di asrama yang dibangun oleh pemerintah. Di sana dia kemudian berkenalan dengan anak perempuan yang kelak akan menjadi sahabat sejatinya, Maryam.

Banyak hal terjadi pasca bencana alam tersebut, namun kehidupan masih tetap berlanjut. Terpisah oleh jarak dan kesibukan masing-masing, Lail dan Esok yang beranjak dewasa semakin jarang bertemu, paling sering satu tahun sekali. Namun perasaan spesial kepada Esok semakin berkembang tanpa Lail sadari. 

Buku ini sendiri dibuka dengan adegan di sebuah ruangan berteknologi mutakhir. Di sana Lail yang telah berumur dua puluh satu tahun bermaksud untuk menghapus memorinya tentang hujan. Lalu, mengapa Lail malah ingin melakukannya? Padahal selama ini Lail menyukai hujan karena hujan menjadi penanda banyak peristiwa penting yang dialaminya sejak kecil. Dan apa pula hubungan keputusan Lail itu dengan Esok?

“Kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.”

Memang benar nyatanya, selera orang bisa berubah. Kalau buku ini saya baca beberapa tahun sebelumnya, saya yakin akan amat terkesan. Sayangnya, ketika timbul ketertarikan pada buku ini sejak pertama terbit, saya pikir kisahnya akan sederhana. Maksud saya yang settingnya di masa sekarang, dan sesuai dengan apa yang sedang terjadi sekarang, misalnya saja seperti Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Salah saya sendiri sih tidak membaca review-review, atau setidaknya mencari tahu terlebih dahulu seperti apa ide cerita bukunya.

Dan sedikit kekecewaan lantaran settingnya yang futuristik bertambah dengan, entah apa istilah yang tepat, pembangunan dunia yang menjadi settingnya(?). Penulisnya gagal untuk meyakinkan saya dalam hal membangun dunia sendiri (masa depan) sebagai setting cerita buku ini. Saya merasa ada yang janggal. Sama seperti yang saya rasakan ketika membaca novelnya yang berjudul Bumi.

Selanjutnya, gaya penceritaan dan diksinya sih, memang Tere Liye banget. Tapi kok dialog-dialognya berasa awkward ya? Agak kaku gitu, apalagi kalau diucapkan keras-keras. Malah narasi sudut pandang orang ketiganya lebih luwes dibanding dialognya sendiri. Ini lagi-lagi menurut saya lho ya! x)

Satu lagi deh, sekalian nambahin yang kurang, dikit banget kalimat qoute-able-nya! Padahal kalimat-kalimat quote-able yang #jleb adalah salah satu yang selalu saya tunggu-tunggu setiap membaca buku-bukunya Tere Liye *lumayan, kan, bisa di-upload ke medsos xP*.

Akan tetapi... meski timbul beberapa ke-nggak-sreg-an ketika membacanya, saya masih lumayan suka kok dengan buku ini. Seperti membaca buku-buku Tere Liye lainnya, saya kembali mendapat banyak pengetahuan baru setelah membaca ini. Dengan kata lain, Hujan tetap punya elemen bergizinya. Dan sekarang saya jadi mengerti kenapa selama ini saya masih susah move on. Sebab alih-alih menerima, yang saya lakukan adalah (berusaha) melupakan. Padahal seharusnya yang saya lakukan adalah belajar menerima. Mengutip dari buku ini: “...bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.”. Tolong jangan baper! x))


“Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahya jatuh cinta.”






Rabu, 11 Mei 2016

[Book Review] Always the Bride: Tak Ada Kehidupan yang Sempurna, Terutama Kehidupan Pernikahan






Judul: Always the Bride: Pengantin Baru (Lagi)
Pengarang: Jessica Fox
Penerbit: Esensi
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 240 halaman

“Aku hanya akan menikah satu kali. Aku benar-benar percaya bahwa pernikahan adalah untuk seumur hidup. Kau sendiri yang mengatakannya, kan?”

Alih-alih penari striptis, kejutan yang didapat oleh Zoe di acara pesta lajangnya adalah seorang cenayang. Zoe senang tidak kedatangan penari striptis. Tapi... belakangan dia menyesali apa yang terjadi di malam itu. Lebih tepatnya, apa yang diramalkan oleh Angela sang cenayang. Bagaimana tidak? Dia diramalkan akan menikah dua kali! 

Padahal Zoe yang perfeksionis menganggap kalau Steve, suaminya adalah orang yang sempurna untuknya. Mereka bisa melengkapi satu sama lain. Maka, sangat tak mungkin kalau apa yang diramalkan oleh cenayang tersebut akan menjadi kenyataan.

Sampai kemudian Zoe sadar kalau kehidupan pernikahannya terancam. Jadi, Zoe terlibat dalam produksi film BBC sebagai penulis skrip, dan Steve adalah sutradaranya. Karena suatu hal, pemeran utama prianya diganti dengan Luke Scottman, aktor seksi pujaan hampir semua wanita di dunia. Parahnya, Luke pernah menjadi kesalahan di masa lalu Zoe. Nah lho!

Dan, tanpa diduga, Steve yang manis dan mudah ditebak, ternyata juga menyimpan masa lalu yang akan semakin mengancam pernikahan mereka. Akankah ramalan si cenayang menjadi kenyataan?

“Semua hal harus sempurna bagimu. Sama sekali tidak ada toleransi untuk kesalahan atau kekhilafan alami manusia dalam duniamu. Benar begitu, bukan?”

Buku ini punya formula klise yang khas chicklit banget. Mulai dari konfliknya yang drama, dengan tokoh utama wanita tangguh, dan tak ketinggalan, seorang tokoh pria seksi. Saya jadi rindu untuk membaca lagi chicklit terjemahan setelah membaca Always the Bride ini. Meski premisnya klise, menurut saya cukup menarik. Prolognya sudah menyimpan misteri yang menanti untuk diungkap.

Hal yang saya suka dari buku ini adalah tokoh-tokohnya yang menonjol. Karakterisasinya keren. Saya sampai benci setengah mati dengan Rufus -_- dan tokoh terfavorit saya adalah Libby, adik Zoe.

Tapi, tentu saja buku ini setaksempurna kehidupan pernikahan Zoe. Ceritanya memang ringan, khas chicklit banget. Dan agak berputar-putar. Konfliknya juga terlalu drama buat saya. Masalah selera sih :D soalnya dari awal saya pikir akan semanis Bridget Si Ratu Sekolah ^^,

Hal yang saya pelajari dari membaca dua buku terbitan Esensi. Kelebihannya, cover-covernya cantik-cantik. Terjemahannya juga enak. Tapi di sisi lain ukuran font-nya sedikit terlalu kecil. Dan tak dilengkapi dengan bookmark. Bookmark memang terkesan remeh, tapi tetap rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran bookmark yang matching dengan cover bukunya :D

Menurut saya sih, buku ini sendiri dari segi ceritanya diselamatkan oleh endingnya. Saya sendiri meskipun tak menyangka akhirnya akan seperti itu, saya cukup suka dengan bagaimana cara penulisnya menutup kisah Zoe sampai Epilog. Cocok dengan ide besar yang dari awal coba untuk disampaikannya. Bahwa tak ada kehidupan yang benar-benar sempurna.

“Kepercayaan adalah sesuatu yang harus kau miliki dalam pernikahan.”