Selasa, 28 Juli 2015

[Book Review] Aku, Audrey by Sophie Kinsella






Judul: Aku, Audrey (Finding Audrey)
Pengarang: Sophie Kinsella
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 360 Halaman

“Dalam benakku yang rasional aku tahu bahwa mata tak menakutkan. Mata adalah gumpalan jelly kecil mungil tak berbahaya. Mata itu bagian amat kecil dari seluruh tubuh kita. Kita semua memilikinya. Lalu kenapa mata menggangguku?”

Karena gangguan kecemasan yang dideritanya, Audrey mengenakan kacamata sepanjang hari walau dia hanya tinggal di rumah saja. Audrey tidak bisa melakukan kontak mata kepada siapa pun bahkan kedua orangtuanya, kecuali adiknya yang berumur empat tahun, Felix. Bagi Audrey tatapan mata Felix adalah yang paling membuatnya nyaman.

Kakak laki-laki Audrey, Frank sedang tergila-gila pada game Land of Conquerors dan ingin mengikuti turnamen game tersebut. Salah satu rekan setimnya adalah Linus. Linus yang sering datang ke rumah mereka untuk latihan persiapan turnamen game LOC membuat gangguan kecemasan Audrey kambuh ketika Audrey berhadapan langsung dengannya.

Tapi, perlahan Linus, dengan caranya sendiri berhasil mendekati Audrey dan membuat Audrey merasa nyaman untuk menceritakan isi hatinya. Audrey pun melakukan tantangan-tantangan yang diberikan Linus untuk mulai bisa bicara dengan orang asing walaupun tetap memakai kacamata hitamnya.

Bertemu dengan Linus ternyata tidak hanya menolong Audrey, tetapi juga keluarganya. Bagaimana kelanjutan hubungan Audrey dengan Linus? Hal buruk apa yang menyebabkan Audrey menderita gangguan kecemasan? Baca Aku, Audrey untuk mengungkap jawabannya.

“Tapi Audrey, begitulah hidup. Kita semua memiliki grafik bergerigi. Aku tahu aku begitu. Naik sedikit, turun sedikit. Begitulah hidup.”

Sophie Kinsella adalah sedikit dari penulis yang saya ketahui eksistensinya tapi belum pernah satu pun dari karyanya yang saya baca. Aneh juga sih kedengarannya kalau buku pertama dari Sophie Kinsella yang saya baca adalah young adult, bukan chicklit, genre yang melambungkan namanya sebagai penulis.

Beli buku ini pun nggak sengaja. Awalnya yang kepingin saya beli adalah satu dari dua buku baru yang jadi incaran saya, karena bingung saya memutuskan untuk melihat-lihat judul lain yang juga baru terbit. Cover-nya langsung bikin saya jatuh cinta. Seriusan, saya beli buku ini cuma karena cover-nya yang enak dipandang.

Ketika pertama baca, gaya bercerita yang lincah bikin saya nggak bisa berhenti baca. Ditambah dengan terjemahannya yang oke dan karakter-karakternya yang lovable dan kocak. Karakter-karakter di buku ini punya ke-charming-annya sendiri. Dan sudut pandang bercerita lewat Audrey menurut saya semakin menambah kekonyolan ke-charming-an mereka.

Kalau kalian sudah membaca Minoel-nya Ken Terate, dan suka, saya jamin kalian juga akan suka buku ini. Begitu pula sebaliknya, yang sudah baca buku ini, saya merekomendasikan Minoel buat kalian. Bisa dibilang Finding Audrey adalah versi moderennya Minoel. Meski yang sama hanya temanya, tentang remaja yang berusaha sembuh dari trauma pasca kejadian buruk yang dialami.

Yang bikin saya agak jengkel sik, karena POV-nya dari sudut pandang Audrey. Kejadian penyebab gangguan kecemasan yang dideritanya nggak terlalu dijelaskan. Malah hanya berupa clue-clue yang mengharuskan pembacanya sendiri menyimpulkan.

Dan yang paling saya suka dari Finding Audrey adalah bagian transkrip project film dokumenternya Audrey. Bagian inilah yang paling sering bikin saya ngakak. Keluarganya Audrey emang kocak. Saya jadi ngebayangin jika misalnya buku ini diadaptasi ke film, pasti keren kalau filmnya ada campuran found footage-nya. 

Empat bintang saya berikan untuk kisah singkat Audrey dan keluarganya. Tambahan satu bintang untuk cover dan terjemahannya.


“Berhenti di tengah-tengah kalimat itu adalah hal terburuk yang bisa dilakukan seseorang. Itu benar-benar pasif agresif, sebab kau tak bisa mendebat apa yang mereka katakan. Kau harus mendebat sesuatu dengan apa yang menurutmu akan mereka katakan.”

RATING 5/5

Minggu, 19 Juli 2015

[Book Review] Above the Stars by D. Wijaya






Judul: Above the Stars
Pengarang: D. WIjaya
Penerbit: Ice Cube
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 248 Halaman

“Aku takut tidak bisa melihat selamanya.”

Sejak lahir, yang bisa dilihat oleh Danny Jameson hanyalah kegelapan. Ya, Danny mengalami kebutaan sejak lahir. Dia bersekolah di sekolah biasa walaupun kadang sering diganggu oleh bullies di kelasnya.

Beruntung Danny punya Mia Berry, sahabatnya sejak kanak-kanak yang sifat protektifnya menyamai kedua orangtua Danny. Lalu hadirlah murid pindahan di kelas mereka bernama Will Anderson. Berteman dengan Will membuat Danny memandang dunia dari cara yang berbeda. Dengan Will setidaknya Danny bisa merasa ‘normal’, dia punya kesempatan untuk bisa melakukan hal-hal yang dulu dianggap tidak mungkin oleh Danny lantaran keterbatasan fisiknya. Termasuk 3 keinginan yang telah dijanjikan untuk dikabulkan oleh Will.
 
Danny mulai merasakan perasaan spesial di hatinya ketika bersama dengan Will, namun sayang, sejak kejadian terkait dengan salah satu keinginan Danny, Will mendadak menghilang.

“Bagiku, ‘dulu’ adalah kata yang dipakai sebagai pengantar untuk menjelaskan bahwa sekarang keadaan sudah berubah.”

Hoje Eu Quero Voltar Sozinho atau lebih dikenal dengan judul The Way He Looks, merupakan film coming of age yang berasal dari Brazil. The Way He Looks awalnya adalah film pendek yang berjudul I Don’t Want to Go Back Alone. Walaupun ada beberapa perubahan dalam perkembangan cerita di versi panjangnya, secara garis besar The Way He Looks tidak melenceng jauh dari film pendeknya. 

Bercerita tentang seorang remaja yang buta sejak lahir, Leonardo, yang hidupnya berubah sejak mengenal siswa pindahan di kelasnya Gabriel, The Way He Looks sukses menyentuh saya dengan kemanisan ceritanya. 

Kenapa saya menulis tentang film tersebut di awal review ini? Karena sinopsis buku ini tidak bisa dimungkiri mengingatkan saya pada film itu, pun begitu ketika saya membaca di bagian-bagian awal. Dan by the way, penulisnya sendiri sudah mengonfirmasi kalau dia belum menonton film asal Brazil itu dan kaget dengan kemiripan keduanya.

Bahkan kalaupun terinspirasi dari film tersebut juga tidak masalah sih karena beberapa karya dari Tere Liye, salah satu penulis favorit saya, ada juga yang terinspirasi dari film/buku. Seperti Moga Bunda Disayang Allah (dari film Bollywood “Black”, yang keduanya sama-sama terinspirasi dari kisah hidup Helen Keller), Ayahku (bukan) Pembohong (dari buku “Big Fish”. Saya belum baca bukunya sih, baru nonton filmnya doang). Plus ada satu adegan dalam Rembulan Tenggelam di Wajahmu yang mengingatkan saya pada salah satu scene film Bollywood “Mohabbatein”.

Tapi cukup membahas kemiripan-kemiripannya, selanjutnya saya hanya akan membahas apa yang saya suka dan apa yang menurut saya agak mengganggu ketika membaca Above the Stars. 

Pas pertama kali baca sedikit tidak menyangka sih kalau setting dan karakter buku ini bukan asli Indonesia, yang artinya buku ini diceritakan dengan cita rasa terjemahan tapi kadang masih berasa ke-Indonesia-an.

Saya salut dengan penulis yang mengangkat isu LGBT untuk novel remaja. Saya juga punya draft (novel) young adult bertema LGBT yang terendap dari bertahun-tahun lalu dan tetap mentok di bab awal di folder komputer saya (*nggak ada yang nanya), dan baca buku ini sukses bikin saya iri sama penulisnya x))

Above the Stars saya nilai cukup lumayan sebagai novel debut sang penulis, dan saya pasti akan membaca buku dari D selanjutnya. Tapi di balik kelebihannya, ada hal yang cukup mengganggu, beberapa detail hal-hal remeh yang menjadi pendukung cerita seolah terlupakan. Padahal hal-hal remeh ini juga penting untuk membangun cerita yang utuh. 

Seperti, kening saya berkerut ketika membaca bagian Will dan Danny membolos dan mengganti seragam mereka. Saya tidak tahu dengan pasti, tapi apakah sekolah-sekolah di Amerika juga masih memakai seragam? Bukannya pakaiannya bebas yak, malah bisa fashionable kayak siswa-siswi Rosewood (dari Pretty Little Liars). Dan tidak ada kejelasan juga apakah sekolah mereka public school atau private school

Selanjutnya, juga masalah sistem sekolah misterius ini. Masa membolos sehari aja langsung dipanggil ke “ruang BP” sik? Apalagi mereka kan es em a, wajarlah sekali-kali bolos xD. Perhatian sekali ya, sekolahnya sampe murid membolos sekali udah dikepoin. Nggak penting sih, tapi tetap saja saya tidak bisa menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya.

Lalu, Bagian sisipan penting-nggak-penting soal “daftar pertanyaan yang mungkin ingin kalian tanyakan pada Danny”, “awal mula Mia bersahabat dengan Danny”, “hubungan buruk Will dan ayahnya”, sebenarnya bisa diselipkan di sepanjang cerita saja. Apalagi dengan sudut pandang orang ketiga yang sudah mendukung. Kalau dibuat terpisah seperti itu kesannya terlalu maksa untuk diceritakan.

Terakhir, penulis sering sekali menggunakan sebutan nama (misal: Mrs. Jameson, Mr. Jameson) di narasinya. Memang kadang juga kata ganti “ibunya” dan “ayahnya” juga dipakai sih, tapi sebutan nama ini sering mendominasi. Tidak cuma sekali saya salah mengenali Mr. Anderson sebagai Mr. Jameson.

Seperti seri YARN yang saya baca sebelumnya, Perfection, Above the Stars jelas tidak sempurna. Terlepas dari kemiripan atau kekurangan atau endingnya yang ketebak (dan saya kurang suka), buku ini layak dibaca untuk mengisi libur lebaranmu :))

“Aku benci menjadi buta! Aku benci terus-menerus diberi tahu mana yang bisa dan tidak bisa aku lakukan karena aku buta! Aku benci dicemaskan sepanjang waktu karena aku buta!”


RATING 3/5

p.s.: Nih saya kasih bonus, There’s too Much Love-nya Belle & Sebastian :D Selamat melanjutkan libur lebaran! Semoga kita semua dijauhkan dari segala dampak buruk makanan bersantan x))




I could hang about and burn my fingers
I've been hanging out here waiting for something to start
You think I'm faultless to a 't'
My manner set impeccably
But underneath I am the same as you

I could dance all night like I'm a soul boy
But you know I'd rather drag myself across the dance floor
I feel like dancing on my own
Where no one knows me, and where I
Can cause offence just by the way I look


Rabu, 08 Juli 2015

[Book Review] 2 States by Chetan Bhagat






Judul: 2 States: The Story of My Marriage
Pengarang: Chetan Bhagat
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 482 halaman
Available at: Bukupedia

“Untuk para pasangan India yang menikah karena cinta, saat pernikahan akhirnya terjadi, orang bertanya-tanya apakah masih ada cinta.”

Pernikahan seharusnya terjadi dengan sederhana: pria mencintai wanita, demikian pula sebaliknya. Mereka lalu menikah. 

Di India, masalahnya tidak sesederhana itu: pria dan wanita saling mencintai. Keluarga wanita harus menyukai si pria dan keluarganya. Keluarga pria harus pula menyukai si wanita dan keluarganya. Jika setelah itu si pria dan si wanita masih saling mencintai, barulah mereka menikah.

Krish dan Ananya berasal dari dua tradisi berbeda di India. Mereka saling mencintai dan ingin menikah. Tentu saja keluarga mereka tidak setuju. Memberontak dan melawan itu mudah, tetapi meyakinkan orangtua masing-masing jauh lebih sulit. Berhasilkah mereka melanjutkan kisah cinta mereka menjadi pernikahan?

Dari penulis novel berbahasa Inggris terlaris sepanjang sejarah India, 2 States merupakan sebuah kisah jenaka mengenai pernikahan antarbudaya pada era India modern.

“’Kau punya pacar? Pacar?’ tanyanya seolah aku tertular AIDS.
‘Teman baik,’ kataku untuk menenangkannya
‘Teman baik? Memangnya kau punya teman jahat?’”

Pertama tahu tentang cerita Krish dan Ananya ketika seorang teman yang amat tergila-gila pada film Bollywood merekomendasikan filmnya kepada saya. Saya sebenarnya tidak terlalu suka film India sih, malah cenderung anti pada film yang separuhnya berisi nyanyian dan joget-joget itu. Tapi karena termakan rayuan kalau “pemain ceweknya cantik” (yang by the way emang beneran cantik x)), akhirnya saya memutuskan untuk memberi kesempatan pada film ini. Saat itu sedikit sekali film Bollywood yang memorable buat saya. Cuma tiga: My Name is Khan, 3 Idiots, dan Kahaani.

Ternyata ceritanya yang simple tapi juga complicated dan kecantikan pemeran utama ceweknya membuat saya mudah sekali menyukai film ini (walaupun bagian yang nyanyi+joget di-skip­ xD). Dan ketika itu saya tidak tahu kalau film ini diadaptasi dari sebuah buku yang ditulis oleh pengarang yang juga menulis buku Five Point Someone (buku yang menjadi inspirasi film berjudul 3 Idiots).

Bisa dibilang sejak menonton 2 States saya jadi sedikit menyukai film Bollywood :”> walaupun yang saya tonton cuma yang terkenal dan ratingnya tinggi seperti: The Lunchbox, Haider, Queen, Peekay, Dum Laga Ke Haisha (yang terakhir ini lucu, tentang cowok yang terpaksa menikahi cewek berbadan kurang langsing karena tuntutan ekonomi :D).

Tapi karena ini adalah review buku, maka mari stop membahas film-film Bolywood dan mulai me-review bukunya saja ;)

Saya merasa beruntung bisa mendapatkan buku ini (dari obralan Mizan Online Bookfair) dengan harga yang cukup murah. Isinya sendiri tidak jauh beda dengan filmnya. Malah versi filmnya memang benar-benar mengikuti versi novel, hanya sedikit bagian di akhir yang dihilangkan. Yang jelas feel-nya tetap sama.

Entah karena saya sudah familiar dengan jalan ceritanya, atau karena gaya bercerita penulis, atau karena terjemahannya yang enak dibaca, saya tidak sekali pun merasa bosan ketika membaca buku ini. Tak jarang sampai ngerasa gila sendiri gegara ngakak baca tingkah ajaib keluarga-keluarga Krish.

Beruntunglah kita yang hidup di Indonesia. Walaupun kadang ada beberapa anggota keluarga yang kepo dan sering ngurusin apa yang seharusnya bukan urusan mereka, di India (setidaknya yang digambarkan di buku ini dan di beberapa film yang sudah saya tonton) anggota keluarga dekat dan jauh kesannya lebih menyebalkan lagi. Mungkin emang sudah tradisi di sana juga ya, kalau keluarga harus selalu dilibatkan dan melibatkan diri dalam segala urusan anggota keluarganya yang lain.

Konflik di buku ini tidak hanya berfokus pada kisah cinta Krish dan Ananya. Tapi juga cinta pada orangtua mereka. Terutama Krish yang punya hubungan tidak baik dengan ayahnya sendiri. Saya suka cara penulis menyelesaikan semua konfliknya di ending :))

Omong-omong beruntung juga yak jadi cowok India, kalo nikah dikasih mahar oleh keluarga pihak perempuan. Jadi kepingin nyari cewek India biar bisa minta mahar perpustakaan lengkap dengan koleksi buku terbaru x))

“Aku mencintainya, dan kami saling membahagiakan. Tapi jika kebahagiaan kami membuat begitu banyak orang tidak bahagia, apakah ini perbuatan yang benar?”

“Memaafkan tidak membuat orang yang melukaimu merasa lebih baik, tapi membuat kau merasa lebih baik.”

RATING 5/5

Sabtu, 04 Juli 2015

Happy Bi12thday GagasMedia, #TerusBergegas






Ada apakah yang spesial di bulan Juli? THR yang akan segera datang setelah sekian lama dirindukan kemunculannya? Atau persiapan menuju Hari Kemenangan? Atau ada yang berulang tahun?

Nah, bulan Juli juga merupakan bulan yang spesial buat salah satu penerbit mayor di Indonesia: GagasMedia. Tak terasa waktu berlari dengan cepat. Rasanya baru kemarin saya bikin postingan #11TanpaBatas tentang “11 Buku GagasMedia yang Wajib Dibaca” dalam rangka mengikuti salah satu kontes di ulang tahun ke-11 GagasMedia itu. Walaupun akhirnya nggak menang x))

Juga masih membekas di ingatan ketika saya memenangkan 10 buku dari penerbit ini berkat event10 Things I Hope from GagasMedia” di ulang tahunnya yang ke-10 yang saat itu mengambil tema #unforgotTen.

Di tahun ke-12 ini, GagasMedia kembali merayakan ulang tahunnya bersama para pembaca. Tahun ini tema yang diambil adalah #TerusBergegas. Postingan ini dibuat dan diikutkan untuk event “Kado untuk Blogger”.

Tanpa berlama-lama, inilah jawaban dari 12 pertanyaan Kado untuk Blogger dari GagasMedia (biar nyambung dengan judul dan tema, jawaban-jawaban saya semuanya soal buku terbitan GagasMedia ;))

1. Sebutkan 12 judul buku yang paling berkesan setelah kamu membacanya!
Pertanyaan yang sulit untuk orang yang mudah jatuh cinta (pada buku yang saya baca) seperti saya. Agar lebih mudah, akan saya jawab berdasarkan judul-judul yang muncul di pikiran ketika saya baca pertanyaan ini:
Here, After – Mahir Pradana
Rhapsody – Mahir Pradana
Restart – Nina Ardianti
Fly to the Sky – Nina Ardianti & Moemoe Rizal
Joker – Valiant Budi Yogi
Sabtu Bersama Bapak – Adhitya Mulya
London – Windry Ramadhina
Interlude – Windry Ramadhina
Melbourne – Winna Effendi
Bangkok – Moemoe Rizal
Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri – Bernard Batubara
Marriageable – Riri Sardjono

2. Buku apa yang pernah membuat menangis, kenapa?
Sabtu Bersama Bapak. Drama keluarganya benar-benar menghangatkan (hati dan kadang mata). Bagian yang sering bikin mata berkaca-kaca sih bagian yang melibatkan rekaman-rekaman Bapak (pastinya). Petuah-petuah bijak Bapak soal hidup nggak kalah deh sama profesor Morrie di Tuesdays With Morrie.

3. Apa quote dari buku yang kamu ingat dan menginspirasi?
“Every dream has a deadline. Then a good dreamer must ignore the deadline.”
Quote di atas adalah salah satu Lesson of Life yang disebar bang Mahir Pradana di setiap awal bab dalam Rhapsody. Intinya adalah tidak ada kata terlambat untuk bermimpi. Yang harus kaulakukan adalah bekerja keras untuk meraih mimpimu. Kesuksesan tidak mengenal umur.

4. Siapakah tokoh di dalam buku yang ingin kamu pacari? Hayo, berikan alasan kenapa kamu cocok jadi pasangannya. Hehehe.
Edyta dari Fly to the Sky karya duet Nina Ardianti dan Moemoe Rizal. Sifatnya yang lucu dan ceroboh yang menjadi daya tarik Edyta. Bahkan pas dia “muncul” lagi di Restart sebagai sahabat Syiana, saya makin jatuh cinta x))
Alasan kenapa Edyta cocok dengan saya... I just have a feeling that I’m her destiny, she belongs to me, not Ardian x))

5. Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak akan kamu lupakan!
Ending dari London-nya mbak Windry Ramadhina dong. Saya kagum dengan keputusan yang diambil oleh karakter utamanya. Dan bagian epilog-nya itu loh, sukses bikin senyum karena pada akhirnya semua orang akan sampai ke akhir bahagianya masing-masing :)

6. Buku pertama GagasMedia yang kamu baca, dan kenapa memilih itu?
Kambing Jantan – Raditya Dika. Waktu itu pas saya masih SMA kelas 1, emang Kambing Jantan sedang hangat-hangatnya dibicarakan sih, makanya jadi tertarik buat baca. Kebawa hype. Dan akhirnya sampai sekarang pun jadi penggemar tulisan bang Radit berkat perkenalan dengan Kambing Jantan :D

7. Dari sekian banyak buku yang kamu punya, apa judul yang menurutmu menarik, kenapa?
Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Kumpulan cerpennya Bernard Batubara. Sedikit buku yang bisa membuat saya penasaran kepingin baca karena judulnya, dan buku ini jadi salah satunya. Nggak tahu kenapa. Mungkin karena ketidakbiasaan penulis yang tidak mempermanis sebuah hal bernama Cinta. Malah bermaksud menunjukkan sisi gelap dari Cinta.

8. Sekarang, lihat rak bukumu... cover buku apa yang kamu suka, kenapa?
All You Can Eat. Dari pertama liat cover-nya udah langsung suka. Menurut saya cover All You Can Eat inilah yang menjadi cikal-bakal dari cover-cover kece ala buku-buku luar yang dipakai oleh GagasMedia di buku-buku terbitannya.

9. Tema cerita apa yang kamu sukai, kenapa?
Saya selalu suka dengan buku romance yang memuat unsur perjalanan (traveling). Khususnya “stranger meets stranger”. Sejak nonton Before Sunrise, saya sudah tergila-gila dengan dengan ide jatuh cinta dengan orang asing yang dikenal di tempat asing. Errr... kedengaran mengerikan sih x)) tapi menurut saya romantis dan menarik. Apalagi kalau buku tersebut berhasil mengajak saya ikut mengunjungi tempat-tempat keren yang menjadi settingnya.

10. Siapa penulis yang ingin kamu temui, kalau sudah bertemu, kamu mau apa?
Mbak Nina Ardianti! Kalo ketemu, saya pengin minta tanda tangan, selfie bareng, terus nodong minta ditulisin cerita yang tokoh utamanya saya dan Edyta. Hahaha. Terus saya juga pengin ngepoin caranya meluangkan waktu untuk menulis di sela-sela kesibukan, tips menulis, cara bikin dialog yang enak dibaca, dan banyak lagi! Semoga suatu saat bisa ketemu, ya Mbak Nin :))

11. Lebih suka baca e-book (buku digital) atau buku cetak (kertas), kenapa?
Buku cetak. Karena tidak ada aroma yang lebih wangi daripada aroma kertas dari buku baru :)

12. Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia menurutmu!
Penerbit paling berani dalam berinovasi demi memuaskan para pembaca. Happy Birthday, GagasMedia!

Itulah jawaban-jawaban saya dari 12 pertanyaannya. Yang juga tertarik pengin ikutan Kado untuk Bloger, bisa melihat caranya di gambar di bawah ini (klik gambar untuk memperbesar). Masih ada waktu loh buat ikutan :))