Senin, 13 Juni 2016

[Book Review] Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?: Kumpulan Cerpen Lintas Generasi, Lintas Genre






Judul: Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? (Cerpen Pilihan Kompas 2015)
Pengarang: Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki, Anggun Prameswari, Budi Darma, Dewi Ria Utari, Djenar Maesa Ayu, Faisal Oddang, Gde Aryantha Soethama, Guntur Alam, Gus TF Sakai, Indra Tranggono, Joko Pinurbo, Jujur Prananto, Martin Aleida, Miranda Seftiana, Ni Komang Ariani, Oka Rusmini, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Tawakal M Iqbal, Triyanto Triwikromo, Warih Wisatsana.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 256 halaman

“’Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh di mana, Pa?’
Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakkan wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
‘Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?’” (Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? – Ahmad Tohari)

Kalau boleh mengaku-aku, saya adalah penggemar kumpulan cerpen. Ada beberapa kumpulan cerpen yang masih meninggalkan kesan bahkan setelah lama sekali saya membacanya, di antaranya semua kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan, Semua untuk Hindia, Rectoverso, 9 dari Nadira, Cerita Cinta Indonesia, Dari Datuk ke Sakura Emas, Kumpulan Budak Setan, sudah, hanya judul-judul tersebut yang saya ingat :D. Dan, setelah membaca buku kumpulan cerpen ini saya berani ber-statement bahwa “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” adalah kumpulan cerpen terbaik yang pernah saya baca. Setidaknya terbaik sejauh ini.

Sebelum menyerempet ke cerpen-cerpen di dalamnya, saya mau membeberkan beberapa hal yang menjadi poin tambah buku ini, yaitu: judulnya yang akan langsung membuat siapa saja menoleh dua kali ketika melihat buku ini berjejer di rak toko buku, sampulnya, ilustrasi di setiap cerpen, dan terakhir kertas sampul yang tebal (sehingga tidak mudah melengkung) dan kertas isinya yang juga lebih tebal dari buku-buku kebanyakan.

Kedua puluh tiga cerpen di dalamnya sendiri beragam, dari genre sampai tema yang diangkat. Telah dituliskan di bagian sampul belakang kalau kontributor dari kumpulan cerpen ini berasal dari generasi berbeda mulai dari Ahmad Tohari sampai Faisal Oddang. Hebatnya, menurut saya semuanya seimbang, tak ada yang jomplang, meski tetap ada yang tidak menjadi favorit saya, tidak mengurangi kekaguman saya pada tiap cerpennya. Murni saya menyalahkan selera.

Banyak cerpen-cerpen yang hanya sekadar bagus di mata saya, tak sedikit pula yang istimewa. Sulit untuk menentukan cerpen yang mana yang paling saya favoritkan, tapi kalau harus dipaksa memilih, pilihan saya jatuh pada cerpen berjudul “Basa-Basi” karya Jujur Prananto. Cerpen ini satirnya yang paling ngena, bercerita tentang seorang karyawan BUMN yang sangat benci berbasa-basi, tapi keadaan menuntut sebaliknya.

“’Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?’ tanya Ratih. ‘Mendoakan orang yang sakit kan bagus.’
‘Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani? Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja, di wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan kata-kata keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!’
‘Jangan suka curiga....’
‘Mereka sendiri yang bicara.’” (Basa-Basi – Jujur Prananto)

Selanjutnya diikuti oleh “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” karya Faisal Oddang di posisi yang sama, sedikit di bawah “Basa-Basi”. 

Yang paling saya suka dari “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” adalah adegan per adegannya yang berhasil memotret sepenggal kehidupan orang pinggiran, terutama adegan makan mi instan. Didukung pula dengan dialog yang kuat. Terlalu bagus untuk jadi cerpen pembuka.

Sedangkan “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” sudah membuat saya takjub sejak kalimat pembukanya: “Kami dipaksa menganut agama resmi, mencantumkannya di KTP, dan dipaksa menjauhi Tuhan kami—Dewata Sewwae, tentu kami tidak berdaya lantas harus menerimanya dengan dada lapang yang perih.” Cerpen ini sekaligus berhasil membuat saya ngefans lagi pada Faisal Oddang setelah sempat kecewa dengan salah satu karyanya yang baru-baru ini saya baca. Sepanjang saya membaca cerpen ini, yang ada di benak saya adalah rasa kagum, kok bisa ya kepikiran ide cerita sekeren ini?

Cerpen-cerpen lain yang bikin saya iri setengah mati karena ide ceritanya ada “Dua Penyanyi” yang ditulis oleh Budi Darma, “Lidah Ketut Rapti” oleh Ni Komang Ariani, “Batu Lumut Kapas” oleh Gus TF Sakai, “Kebohongan Itu Manis, Vardhazh” oleh Indra Tranggono, “Linuwih Aroma Jarik Baru” oleh Anggun Prameswari, “Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan” oleh AK Basuki, dan “Nomor” oleh Seno Gumira Ajidarma.

“Setelah aku mati diriku adalah sebuah nomor dalam telepon genggam.” (Nomor – Seno Gumira Ajidarma)

Di sisi lain saya malah agak heran karena sedikit sekali yang mengambil isu LGBT, padahal biasanya isu ini yang cukup laris diangkat. Mungkin hanya cerpen-cerpen tersebut ya yang layak masuk dalam buku ini? Di buku ini ada dua (sebenarnya lebih, tapi kalau saya sebutkan nanti malah hilang kejutan dari cerpen yang dimaksud) yaitu “Upacara Hoe karya Guntur Alam dan “Sebatang Lengkeng yang Bercerita” karya Miranda Seftiana. Kedua cerpen tersebut untunglah cukup memuaskan, terutama yang ditulis oleh Guntur Alam. Latar belakang adat Tionghoa-nya itu lho. Thumbs up!

Singkat kata, kesimpulan dari review ini: “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” akan melengkapi daftar bacaan terbaik yang saya baca tahun ini :))

“Tidak mudah menjadi seorang perempuan. Sebab berkali-kali nyawanya harus digadaikan pada meja persalinan. Bernegosiasi dengan malaikat maut demi sebuah kehidupan lain. Pun tidak mudah pula menjadi seorang lelaki. Lantaran di tangan kukuhnyalah kehidupan baru itu meminta ketentuan. Apakah berlanjut atau cukup hingga air susu habis masanya?” (Sebatang Lengkeng yang Bercerita – Miranda Seftiana)


“Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... sangat manis... begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam kebohongan di mulut, orang macam kita bisa bertahan.” (Kebohongan Itu Manis, Vardhazh – Indra Tranggono)

  

Sabtu, 11 Juni 2016

[Book Review] The Husband’s Secret: Beberapa Rahasia Memang Ditakdirkan untuk Selamanya Menjadi Rahasia





Judul: The Husband’s Secret
Pengarang: Liane Moriarty
Penerbit: Pan Macmillan Australia (ebook)
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 416 halaman

For my wife, Cecilia Fitzpatrick
To be opened only in the event of my death

Cecilia tak sengaja menemukan surat bertuliskan kalimat tersebut di amplopnya ketika dia sedang mencari potongan reruntuhan Tembok Berlin di loteng rumah mereka. Surat yang ditujukan untuknya, dari suaminya, dan kalau melihat dari keadaan amplopnya, surat tersebut ditulis sudah lama. Mungkin beberapa tahun yang lalu?

Siapa yang tidak penasaran dengan isinya setelah membaca apa yang tertulis di amplop itu? Cecilia mati-matian berusaha mengenyahkan rasa penasarannya. Apa yang mungkin ditulis oleh John-Paul, suaminya? Sebuah pengakuan tentang hubungan gelap? Sebuah rahasia? Cecilia masih menahan diri untuk membukanya, dia masih mencoba menghargai privasi suaminya. Apalagi ketika dia menelepon John-Paul, suaminya itu memintanya untuk tidak membuka amplop itu dan mengatakan kalau surat tersebut hanya berisi suatu hal bodoh yang akan membuatnya malu.

Tapi, semakin menahan diri, otak Cecilia mulai berpikiran yang macam-macam. Dia tak sadar kalau ketika dia memutuskan untuk membaca surat tersebut, hidupnya, dan hidup orang-orang di sekitarnya, tak akan lagi sama.

“Did one act define who you were forever?”

Seperti yang saya ceritakan di sinopsis singkat di atas, kisah buku ini berfokus ke kehidupan pernikahan Cecilia Fitzpatrick yang berubah sejak dia membuka surat misterius tersebut. Tapi, tentu saja bukan Liane Moriarty namanya kalau ceritanya cukup sampai di situ. Seperti juga Big Little Lies, karya lain dari penulisnya yang pernah saya baca, fokus penceritaan The Husband’s Secret juga terpecah. Yaitu selain Cecilia, ada cerita tentang Tess yang memutuskan untuk pergi dari rumah dan kembali ke kampung halamannya di Sidney setelah mendengar pengakuan tentang affair suaminya dan Felicity, sepupu yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Dan ada Rachel, seorang ibu yang kehilangan anak perempuannya dengan cara yang kejam. Ketiga wanita ini tanpa mereka sadari ternyata berkaitan satu sama lain.

Jika boleh membandingkan, Big Little Lies dan The Husband’s Secret adalah jenis buku yang memberikan kenikmatan berbeda bagi pembacanya. Jika ketika membaca Big Little Lies saya sudah dari sejak awal kepincut dengan keceriwisannya, lain halnya dengan The Husband’s Secret. Menurut saya ini adalah jenis buku yang mengharuskan pembacanya bersabar terlebih dahulu sebelum menemukan bagian yang memukau. Di bagian ketika saya sudah mengetahui isi dari surat John-Paul, saya akui memang agak membosankan. Saya melanjutkan membaca hanya karena ingin tahu endingnya akan seperti apa. Tapi ternyata, BOOM! Ketika sampai di adegan klimaks buku ini, pandangan saya terhadapnya langsung berubah. Saya terpesona dengan bagaimana karakter-karakternya menjadi sebab-akibat dari adegan klimaks tersebut.

Selain adegan klimaksnya, bagian terbaik dari buku ini tentu saja epilognya. Saya suka sekali dengan epilognya yang membeberkan beberapa rahasia. Saya juga menyukai konsistensi keterkaian ceritanya dengan Tembok Berlin. Dan jangan lupakan analogi Pandora-nya. 

The Husband’s Secret merupakan salah satu bacaan terbaik tahun ini. Saya lega sudah memaksakan diri saya untuk membaca bukunya sampai selesai. Untuk yang penasaran, kabarnya sebentar lagi terjemahannya akan diterbitkan oleh GPU, saya juga jadi kepingin punya nih x) tapi sudah banyak sekali buku incaran yang mau terbit, Sharp Objects, TAOL... -_-

“’Did you know that some people wish the Berlin Wall never come down?’ said Esther. ‘That’s weird, isn’t it? Why would you want to be stuck behind a wall?”

“None of us ever know all the possible courses our lives could have, and maybe should have, taken. It’s probably just as well. Some secrets are meant to stay secret forever. Just ask Pandora.”



Rabu, 01 Juni 2016

Monolog ABOokaddict: Pembaca Poligamis





Halo, pembaca setia ABOokaddict! *emang ada?* *celingukan* *anggap aja ada yak? x))* Ada yang kangen saya? xD

Update-an saya kali ini sayangnya bukan review, saya belum sempat lagi menyelesaikan satu buku pun akhir-akhir ini. Mood saya masih fokus di drama Korea sik x)) tapi sebisa mungkin saya tetap baca kok setiap hari. Yah, nyicil dikit-dikit gitu lah.

Pagi ini saya tetiba kepikiran buat bikin rubrik baru di ABOokaddict, namanya Monolog ABOokaddict. Dan ini merupakan postingan pertama dari rubrik tersebut. Yeay! *tebar confetti* *bakar petasan*. Di Monolog ABOokaddict ini, saya akan ngoceh sendirian, panjang kali lebar tentang apa pun yang menarik untuk diocehkan selama itu menyangkut tentang buku xD. Buat yang mau ikutan nyumbang pendapat boleh banget, bisa tuliskan di kolom komentar :)

Naah, di kesempatan pertama ini saya akan membahas tentang “Pembaca Poligamis”. Pembaca Poligamis sebenarnya terjemahan suka-suka saya dari istilah Polygamist Reader *nggak tau bener atau nggak, huehehe*. Polygamist Reader sendiri adalah sebutan untuk jenis pembaca yang nggak bisa setia membaca satu buku saja, saking maruknya baca dua atau lebih buku dalam jangka waktu berbarengan. Untuk jelasnya sila lihat gambar yang saya dapat dari internet ini. Di bawah ini juga ada berbagai macam jenis kepribadian pembaca buku, termasuk Polygamist Reader. Saya kurang paham juga sih istilah-istilah ini buatan suka-suka atau gimana, yang jelas sering digunakan di kalangan sesama pembaca buku.



Kebetulan saya juga termasuk Pembaca Poligamis. Saya paling nggak tahan banget liat buku yang baru saya punya masih dibungkus plastik. Bawaannya langsung pengin saya lucutin aja plastiknya. Hahaha xD. Makanya kadang banyak buku-buku yang sudah dibuka plastiknya yang belum saya selesaikan, menumpuk bersesak-sesakan di rak.

Sebagai Pembaca Poligamis, tentu banyak buku-buku yang tidak berhasil saya selesaikan. Di bawah ini saya tulis sedikit buku-buku yang baru-baru ini saya baca berbarengan satu sama lain, dan masih saya pending, beserta sedikit komentar mengenainya.

Si Penghuni Mars (The Martian) – Andy Weir
Tidak se-enjoyable filmnya. Baca buku ini harus dengan konsentrasi tinggi. Banyak istilah-istilah yang saya nggak ngerti yang entah di awal-awal sudah pernah dijelaskan atau tidak artinya. Saya sudah nyoba tiga kali baca ulang buku ini dari awal, hasilnya masih gagal untuk saya selesaikan x(.

Satu Hari Saja (Just One More Day) – Gayle Forman
Tidak ada yang salah dengan bukunya. Ide ceritanya pun kesukaan saya: stranger meets stranger. Mungkin mood baca saya saja yang lagi jongkok.

Love on Probation – Christina Juzwar
Sudah lama sejak kali terakhir saya baca lini Metropop dari GPU. Buku ini merupakan lanjutan dari cerpen yang ditulis oleh pengarangnya di kumpulan cerpen Metropop Autumn Once More. Cerpennya sendiri memang kurang berkesan sih, tapi Love On Probation cukup seru meski nggak berhasil bikin saya penasaran. Mungkin kapan-kapan baru akan saya lanjut lagi.

Dan di bawah ini adalah buku-buku yang sekarang sedang saya baca. Kebanyakan e-book, yang cetak cuma satu.

Aku Akan Datang (I’ll Be Right There) – Kyung Sook-Shin
Beli ini karena saya suka sekali dengan karya penulisnya yang berjudul Please Look After Mom. Agak tersendat baca ini soalnya narasinya panjang-panjang.

Kerumunan Terakhir – Okky Madasari
Mungkin ekspektasi saya yang terlalu tinggi atau memang bukunya boring, membuat saya agak kesulitan baca buku terbarunya salah satu penulis favorit saya ini. Semoga ceritanya semakin menarik deh, biar bisa cepet kelar x)).

The Last Star – Rick Yancey
Ini sih project percobaan. Saya penasaran dengan buku terakhir dari seri The 5th Wave ini sejak baca buku keduanya beberapa bulan lalu. Tapi kayaknya bakal nyerah sik, saya udah telanjur nyaman dengan terjemahannya, dan di edisi terjemahannya banyak istilah-istilah yang sudah dialihbahasakan juga. Semoga cepat terbit aja deh terjemahannya. Juga, semoga covernya nanti bagus ya, nggak ada Mbak Selena Gomez KW lagi x)) *Lirik Mbak Vina xD*.

The Survival Kit – Donna Freitas
Setelah baca bareng The Vegetarian, Mbak Vina, Mbak Desty, dan saya kemudian nyoba baca bareng buku ini. Tapi kali ini baca barengnya selow. Saya malah baru baca dikit di bagian awal. Sepertinya seru.

The Husband’s Secret – Liane Moriarty
Udah nyoba baca buku ini dari tahun belakang, dan gagal. Tapi setelah baca Big Little Lies, saya jadi percaya diri untuk ngasih kesempatan lagi buat buku ini. Saya baca ulang dari awal, semoga kali ini bisa sampe selesai.

Whoa, banyak juga ya? -_-“ Kayaknya saya emang Pembaca Poligamis sejati deh xP. Semoga saja di antara buku-buku yang saya tulis di atas ada beberapa atau malah semuanya yang berhasil saya selesaikan. Bagaimana dengan kamu sendiri? Apakah kamu termasuk Pembaca Poligamis juga? Atau malah kamu orang yang setia baca satu buku sampai habis tak peduli semembosankan apa pun buku itu? 

**Klarifikasi dikit, saya poligamis cuma dalam hal membaca kok, kalau dalam mencinta, saya orangnya setia looh... xP #apaapaan