Minggu, 25 September 2016

[Book Review] Alex: Thriller Prancis dengan Twist Berlapis-lapis




Judul: Alex (Camille Verhœven #2)
Pengarang: Pierre Lemaitre
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: September 2016
Tebal: 440 halaman


“’Mengapa aku?’
Perlahan pria itu tersenyum. Bibir yang begitu tipis itu....
‘Karena aku ingin melihatmu mati, pelacur kotor.’
Nada suaranya keras. Dia tampak yakin sudah menjawab pertanyaan itu dengan jelas.”


Suatu malam dalam perjalanan pulang, Alex Prévost diserang oleh pria misterius yang baru dia sadari telah menguntitnya. Dia dipukul dan ditonjok hingga pingsan. Ketika kesadarannya pulih, Alex mendapati bahwa dia telah disekap di dalam sebuah bangunan kosong. Tak sampai di situ, Alex juga disiksa dengan cara yang tak mampu dibayangkan bahkan oleh imajinasi terliarnya.

Camille Verhœven sang Komandan Polisi ditugaskan menangani kasus penculikan tersebut. Hampir tak ada petunjuk kecuali seorang saksi mata yang melihat seorang gadis dipaksa masuk ke dalam sebuah van. Camille punya kenangan buruk terhadap kasus penculikan, kalau bukan karena terpaksa, dia sudah akan menolak mentah-mentah jenis kasus yang dia hindari itu.

Ketika upaya pihak kepolisian mulai memperlihatkan kemajuan, sedikit demi sedikit fakta tentang Alex, Camille sadar bahwa Alex bukan gadis biasa. Dia kuat, cerdas, dan licin. Dan kasus penculikan ini, bukanlah kasus biasa seperti yang dibayangkannya.


“Penculikan merupakan tindakan pidana yang amat unik, korbannya tidak terlihat di depan mata seperti dalam kasus pembunuhan.”


Hal yang mencolok ketika saya mulai membaca buku ini adalah penggunaan “ia” dan “dia” sebagai kata ganti orang ketiga secara bersamaan. Seingat saya hal tersebut jarang (atau malah belum pernah?) saya temukan pada buku-buku yang pernah saya baca. 

Iya, emang kurang penting. Dan iya, saya orangnya emang kepo, agak parah malah. Saya sering gelisah kalau sudah penasaran pada satu hal, dan belum menemukan jawabannya. Kayak rasa gatal di tenggorokan, yang tak bisa digaruk, sedangkan berdeham dan batuk-batuk tak banyak membantu.

Berbekal kekepoan saya itulah saya lalu bertanya langsung ke editor buku ini lewat e-mail (saya nggak nemu alamat e-mail penerjemahnya). Dan ternyata dibales! Balasan Mbak editor ini kemudian berhasil mencerahkan kebingungan saya, secerah wajah Maudy Ayunda. Ternyata penggunaan “ia” dan “dia” di dalam buku ini sengaja dibedakan. Kata ganti orang ketiga untuk subjek menggunakan “ia”, sedangkan untuk objek menggunakan “dia”.

Lupakan yang kurang penting, mari membicarakan yang jauh lebih penting. Alex merupakan buku kedua dari seri Camille Verhœven, entah apa alasannya sehingga buku kedua ini yang pertama diterbitkan terjemahannya. Mungkin karena memang buku ini merupakan yang pertama diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari bahasa aslinya, Bahasa Prancis. Bisa jadi juga karena dibanding seri Camille Verhœven yang lain, buku inilah yang paling populer. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, langsung membaca buku kedua sama sekali tak membuat saya bingung dan kehilangan arah hingga merasa bagai butiran debu. Saya bahkan tak terlalu merasa bahwa buku ini bagian dari seri, kecuali ketika ada bagian-bagian yang saya yakini menyinggung buku pertamanya.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian yang akan menimbulkan sensasi berbeda untuk pembacanya. Bagian I berisikan tentang penculikan Alex. Bagaimana keadaannya ketika disekap, membuat saya mau tak mau bersimpati pada Alex. Bagian II, yang paling mengasyikkan, berisi fakta-fakta tentang Alex yang sedikit demi sedikit terbongkar. Bagian ini sukses membuat saya menyumpah-serapah. Bagian III, adalah bagian klimaks yang tak kalah mengejutkan dari dua bagian sebelumnya. Sebuah penutup yang sempurna.

Saya kira kisah di buku ini hanya akan berpusat ke upaya penyelamatan oleh Camille dan bagaimana Alex mencoba bertahan hidup dengan kondisinya yang mengenaskan. Saya hampir ingin menunda dulu membaca buku ini karena saya paling tidak tahan dengan kisah tentang perjuangan hidup melawan kematian. Ternyata, kisah di buku ini jauh lebih pelik. Penculikan hanya sebuah jalan pembuka cerita sebenarnya. 

Susah memang menemukan kekurangan sebuah buku jika sudah terjerat dengan jalan ceritanya, fokus ketika membaca hanya pada kelanjutannya kisahnya saja. Tapi jika dipaksa menyebutkan kekurangan di buku ini karena alasan bahwa review harus memuat sisi lebih dan sisi kurang sebuah buku, yang saya sadar hanya satu: typo-nya lumayan banyak. Tapi belum masuk ke dalam kategori yang mengganggu. Apalagi ketika sudah keasyikan membaca bagian II-nya yang mencengangkan.

Seperti yang sudah saya sebutkan di judul, twist yang dimiliki Alex berlapis-lapis, bahkan hingga di lembar terakhirnya! Dengan kejeliannya sang penulis berhasil menyusun twist ini tanpa meninggalkan kesan maksa. Dan saya pikir saya mulai suka dengan gaya penulisan Pierre Lemaitre. Saya harap seri Camille Verhœven yang lain juga diterjemahkan segera.


“Hah, kebenaran, kebenaran... siapa yang bisa mengatakan mana yang benar dan yang tidak, Komandan? Bagi kita, yang terpenting bukan kebenaran, tetapi keadilan, bukan?”



Jumat, 23 September 2016

[Book Review] Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi: Dongeng Kontemporer tentang Dendam Kesumat, Upaya Penyelamatan Kerajaan, dan Daging Sapi






Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Pengarang: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Tahun Terbit: Maret 2016
Tebal: 450 halaman

“Kemenangan terhebat dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati.”

Sungu Lembu menyimpan dendam kesumat pada Raja Gilingwesi, Watugunung. Kebetulan, di dalam perjalanan menuntaskan dendamnya itu, dia bertemu dengan Raden Mandasia yang tak lain adalah salah satu pangeran Kerajaan Gilingwesi.

Raden Mandasia sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Gerbang Agung. Dia sengaja melepaskan kehidupannya sebagai pangeran dan melakukan perjalanan ini demi rencananya untuk menyelamatkan Gilingwesi yang terancam.

Karena terikat janji pada seseorang yang dikasihinya ditambah dengan pertimbangan bahwa Raden Mandasia adalah jalannya untuk memenggal kepala Watugunung, Sungu Lembu bersedia menjadi teman perjalanan Raden Mandasia.

Yang tak Sungu Lembu ketahui, perjalanannya bersama Raden Mandasia yang punya kebiasaan unik terkait daging sapi itu perlahan membuatnya lupa pada dendamnya sendiri. Perjalanan menakjubkan mengarungi lautan, gurun pasir, berusaha menemui Putri Tabassum yang kecantikannya melegenda, hingga akhirnya terlibat dengan pertempuran dahsyat antara dua kerajaan hebat. Akankah Sungu Lembu berhasil membalaskan dendamnya? Atau dia malah memutuskan untuk melupakan dendamnya ketika melihat segalanya di sisi yang berbeda?

“Ia bertanya apakah aku orang yang berbahagia. Saat itu, aku menyeringai menganggap pertanyaannya terlalu keperempuan-perempuanan. Mana aku tahu soal kebahagiaan? Setelah menyaksikan wajah dua manusia unggulan di depanku berubah hijau, rasanya aku berani mengubah pendapatku: aku manusia yang berbahagia. Setidaknya hari itu.”

Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah dongeng dewasa yang kisah petualangan di dalamnya asyik untuk diikuti dengan setting kuat, world building megah, pelintiran kisah yang mengejutkan, dan deskripsi sempurna (terutama deskripsi tentang makanan, sukses bikin ngiler!)

Alasan mengapa saya menyebutkan dongeng dewasa tadi adalah tak lain karena buku ini memang diberi label dewasa. Jadi, yang masih di bawah umur sebaiknya jangan dulu baca ya x) tak hanya banyak kata-kata makian di dalamnya (terutama “anjing!”) tapi ada beberapa adegan vulgar yang belum pantas untuk dedek-dedek baca xP

Jika kali pertama mendengar judulnya saya kira tokoh utama buku ini adalah Raden Mandasia. Makanya di awal saya bingung kenapa diceritakan dengan sudut pandang orang pertama lewat Sungu Lembu. Ternyata, tokoh utama buku ini memang Sungu Lembu, dan memang hampir seisi buku menceritakan perjalanannya dengan Raden Mandasia.

Dua hal yang langsung menarik perhatian dari buku ini adalah alur penceritaannya, dan tokoh-tokohnya yang berjibun. Alur penceritaannya menggunakan alur maju-mundur, banyak flashback-nya terutama ketika Sungu Lembu menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh seorang tokoh padanya.

Tak hanya kisah utama, tapi kisah-kisah sampingannya juga menarik. Dikarenakan tokohnya yang berjibun, tokoh-tokoh pendukung ini berebut untuk membagi kisah mereka masing-masing, semuanya amat menarik. Yang menjadi favorit saya adalah kisah hidup Loki Tua dan legenda Putri Tabassum beserta teka-tekinya.

Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah jenis buku yang sengaja saya baca lambat-lambat agar tak cepat selesai. Jarang sekali saya menemukan buku yang seperti ini. Seringnya malah buku-buku yang ingin cepat saya selesaikan, entah itu karena penasaran dengan endingnya, atau karena bosan dan tidak tahan lagi untuk segera move on ke buku selanjutnya.

Memang saya belum membaca semua buku yang masuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16 kategori prosa, beberapa yang sudah saya baca ada O, Di Tanah Lada, dan Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi ini. Dan saya jelas menjagokan buku ini. Iya, buku ini memang sebagus itu hingga saya lebih memilih menjagokannya ketimbang bukunya Mas Eka Kurniawan x))

Oh, omong-omong saya cuma iseng nambahin “daging sapi” di judul review ini. Sebagai pemanis gitu. Karena peran “daging sapi” di buku ini juga untuk mempermanis dan menerbitkan air liur pembacanya. Bukan hanya daging sapi sih, tapi semua makanan di dalam buku ini dideskripsikan sedemikian rupa sehingga membuat saya yang membacanya jadi ngiler.  

Jika kamu bosan dengan buku-buku mainstream, sedang mencari buku yang beda dari lainnya, maka Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah jawabannya. Membaca buku ini membuat saya ingat pada kegemaran saya membaca dongeng-dongeng nusantara pas SD dulu, entah kapan lagi saya akan menemukan buku seunik dan seelok ini.

“Banyak orang paham memulai perang, tapi tak pernah benar-benar paham bagaimana mengakhirinya.”




Sabtu, 10 September 2016

[Book Review] Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu: Sehimpun Puisi Jokpin 1980-2012





Judul: Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu
Pengarang: Joko Pinurbo
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: Agustus 2016
Tebal: 136 halaman


“Mataku berhutang kepada matamu.
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita” – Kepada Helen Keller


Saya masih keukeuh memercayai anggapan bahwa buku itu sama kayak jodoh, kalo emang sudah ditakdirkan untuk kita baca, bagaimana pun jalannya pasti kita diberi kesempatan untuk membacanya. Bisa lewat nggak sengaja kebeli pas iseng mengunjungi toko buku, pinjaman dari teman, atau dapet gratisan. Buku kumpulan puisi ini juga, saya mendapatkannya dari SCOOP lewat kuis #SCOOPWishlist beberapa waktu yang lalu.

PUISI. P-U-I-S-I. Mungkin tak peduli berapa kali pun saya membaca buku puisi, dan mereview-nya, saya tetap akan membicarakan hubungan unik saya dengan puisi, bagaimana saya tetap berjodoh dengan buku-buku puisi meski jarang menemukan yang benar-benar bisa saya nikmati. Bagaimana sebuah buku kumpulan puisi bisa begitu memukau saya dengan ke-relate-annya dengan kehidupan saya. Bagaimana sebuah buku puisi meski sudah memusingkan otak saya ketika membacanya, tak membuat saya kapok untuk membaca buku kumpulan puisi yang lain.

Jika menengok lagi sejarah hidup saya, ketika saya masih di bangku sekolah, masih menjadi remaja kinyis-kinyis *silakan kalau mau muntah, saya saja yang nulis jijik sendiri kok*, saya paling benci diberi tugas menulis puisi. Saya jauh lebih suka tugas menulis cerpen yang cukup memerlukan imajinasi dan kata-kata sederhana untuk menceritakannya. Kalau puisi, entahlah sampai sekarang pun anggapan saya puisi adalah sesuatu yang sakral, salah pemilihan satu kata pun akan mengurangi esensinya, akan berkurang keelokannya.


Saya pernah, pake shampo lain, ketombe balik lagi *abaikan saja* memberikan puisi karya saya sendiri untuk seseorang yang sedang berulang tahun, sebagai hadiah. Katanya sih, dia suka, saya senang sih, tak peduli entah itu memang dari hatinya atau sekadar basa-basi demi kesopanan semata. Sudah ah, dilarang baper, saya kan sudah mupong x)) Mari bahas buku kumpulan puisi berjudul menarik ini saja.

“...
Pohon keramat itu selalu ramai dikunjungi peziarah
yang datang untuk memohon berkah dan tuah.
Dan kata orang, hanya yang kudus dan bersih hidupnya
boleh ke sana. Sedangkan aku seorang pendosa
yang ketika lahir saja sudah tega menyiksa
dan melukai seorang wanita.
...” – Pohon Perempuan

Berbicara mengenai buku puisi ini, cerpen-cerpen di dalamnya ditulis oleh Joko Pinurbo dalam kurun waktu 1980an-2012. Sebagian puisi-puisi yang ditulis dalam kurun waktu tersebut telah dihimpun di dalam buku puisinya yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, sebagiannya lagi ada di dalam buku ini.

Untuk puisi-puisinya, saya malu mengakui kalau sedikit sekali puisi di dalamnya yang saya sukai. Bukan. Bukan karena jelek, tapi puisi-puisi di dalam buku ini sudah berada di kelas berbeda dari yang bisa saya cerna. Sungguh, banyak yang tidak saya mengerti maksud puisi tersebut, terutama yang panjang-panjang sampai beberapa halaman. Makanya saya yakin, pencinta puisi sejati pasti akan menyukai buku ini.

Beberapa puisi yang saya suka di antaranya ada Tuhan Datang Malam Ini, Pohon Perempuan, Doa Mempelai, Selamat Tidur, Kepada Hellen Keller, dan Ingatan. Namun sayang, puisi yang kemudian dipilih menjadi judul buku ini terpaksa harus masuk ke kategori belum berhasil saya cerna sampai sekarang. Padahal sepertinya (((sepertinyaaa x))), puisi ini bagus dan punya makna mendalam.

Untuk puisi paling memukau, saya menjagokan puisi berjudul Selamat Tidur. Puisi ini ditulis di tahun 2003 ajaibnya amat sangat sesuai sekali dengan kondisi sekarang. Temanya biasa, tapi sindirannya amat terasa. Saya takjub sekaligus kagum. Keren deh. 

Terima kasih juga buat SCOOP atas hadiahnya, e-book memang menjadi solusi untuk berbagai persoalan pembaca buku mulai dari mood baca menurun (e-book bisa dibaca di mana saja, kapan saja), sampai rasa penasaran pada buku-buku yang baru terbit namun tak ingin kamu punya karena rak bukumu yang sudah terlalu penuh. Sebagai penutup review ini, saya sertakan puisi favorit yang telah saya sebutkan tadi.

Selamat Tidur
Telepon genggam mau tidur. Capek.
Seharian bermain monolog. Banyak peran.
Konyol. Enggak nyambung.

Paling pusing bicara dengan bahasa siluman.
Serba akronim dan singkat.
Maunya hemat waktu. Enggak hemat pikiran
dan perasaan. Sok cerdas. Pemalas.

Paling seru bisa ngakak-ngakak sendirian.
Ha-ha-ha. Atau mengumpat. Bangsat.
Brengsek. Asu. Gombal. Rasain. Mampus.
Paling berat bikin rayuan. Aduh cakepnya.
Pinjam senyumanmu dong. Mabuk yuk. Sip.

Paling senang sebelum tidur bisa memainkan
beragam musik yang semuanya sesungguhnya
hanya variasi suara tangisan seorang bayi.

Beethoven, telepon genggam mau tidur.
Boleh dong pinjam telingamu yang tuli
untuk menampung bunyi.

(2003)