Senin, 03 Oktober 2016

[Book Review] I’m Thinking of Ending Things: Mencengangkan Tak Selalu Berarti Memukau





Judul: I’m Thinking of Ending Things

Pengarang: Iain Reid

Penerbit: Simon & Schuster

Tahun Terbit: Juni 2016

Tebal: 224 halaman (e-book)



“I’m thinking of ending things.

Once this thought arrives, it stays. It sticks. It lingers. It dominates. There’s not much I can do about it. Trust me. It doesn’t go away, it’s there whether I like it or not. It’s there when I eat. It’s there when I sleep. It’s there when I wake up. It’s always there. Always.”



Seorang wanita dan pacarnya yang bernama Jake sedang dalam perjalanan mengunjungi rumah orangtua Jake. Diam-diam sang wanita rupanya punya rencana untuk mengakhiri hubungannya dengan Jake, namun dia masih ragu karena hubungan mereka tidak sedang dalam masalah dan Jake adalah sosok pria ideal.


Setelah menghabiskan hampir separuh buku yang didominasi percakapan-percakapan panjang-panjang ketika dalam perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah orangtua Jake. Awalnya, semua tampak biasa saja bagi wanita itu, namun semakin lama berada di rumah itu dia semakin merasakan kejanggalan-kejanggalan. Kunjungan itu jauh sekali dengan apa yang dia bayangkan.


Semakin lama, makin banyak kejanggalan yang dialami oleh wanita itu, puncaknya ketika mereka dalam perjalanan pulang, dia mengalami hal yang semakin lama semakin aneh dan menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?



“I think that’s it. Maybe that’s how we know when a relationship is real. When someone else previously unconnected to us knows us in a way we never thought or believed possible.”



Tadinya saya hanya mau menulis review singkat buku ini di goodreads saja, tapi... rasa sia-sia yang ditinggalkan buku ini pada saya membuat saya jadi ingin menumpahkan keluh kesah saya dengan menuliskannya di blog ini.


Saya tahu tentang buku ini karena buku ini masuk ke dalam list Entertainment Weekly: 8 Seriously Scary Summer Reads. Plotnya terdengar menjanjikan. Saya tak menyangka bukunya akan semengecewakan ini.


Paruh awal buku ini membosankan, saya pernah bilang kan kalau saya orang yang kepo, dan saya benci dengan ketidaktahuan. Dan sialnya, buku ini pelit sekali dalam membagikan informasi mengenai kedua tokoh utamanya. Yang ada malah dialog-dialog (yang membahas hal-hal berat dan dalem) dan juga narasi yang tak kalah panjang (yang keduanya, saya yakin dari awal fungsinya adalah sebagai pengalih perhatian pembacanya).


“You will be scared. But you won’t know why…”, begitu katanya... lebih tepatnya bukan ketakutan yang saya rasakan, tapi kayak semacam perasan yang membuat saya tak nyaman ketika membaca buku ini, penginnya cepet-cepet kelar aja. Kalau menurut saya sih, yang bikin tak nyaman ya rasa ketidaktahuan tadi, saya ingin cepat-cepat tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan si tokoh utamanya dan Jake.


Saya benci endingnya. Saya benci twist-nya. Dan ini bukan karena tebakan-tebakan saya yang banyak sekali tentang twist-nya itu salah (saya malah membuka kemungkinan bahwa cerita di buku ini konsepnya kayak The Truman Show, atau salah satu episode Black Mirror >.<). Twist-nya juga enggak terkesan maksa. Tapi, ketika mengetahui kalau fakta sebenarnya seperti itu, mau tak mau saya merasakan kesia-siaan *setel lagu Cheap Thrills*. Waktu berharga yang sudah saya sisihkan untuk membaca buku ini, terbuang sia-sia. Waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menonton drama Korea saja T_T. Nyebelinnya lagi, masa penulisnya di ending menyiratkan bahwa untuk lebih mengerti ceritanya harus baca ulang dari belakang. Maaf ya Mas Reid, waktu yang saya miliki tak seluang itu -_-


Bisa jadi ini masalah selera karena banyak reviewers goodreads yang menilai buku ini brilian. Tapi untuk saya pribadi, baca buku ini buang-buang waktu. Tak ada faedahnya. Oh, kecuali satu. Saya jadi tergerak untuk menuliskan tentang buku ini di blog saya x))


Saya merekomendasikan buku ini untuk kamu yang punya banyak waktu luang untuk dibuang-buang.



“A memory is its own thing each time it’s recall. It’s not absolute. Stories based on actual events often share more with fiction than fact. Both fictions and memories are recalled and retold. They’re both forms of stories. Stories are the way we learn. Stories are how we understand each other. But reality happens only once.” 



"Sometimes a thought is closer to truth, to reality, than an action. You can say anything, you can do anything, but you can't fake a thought."






1 komentar: