Senin, 24 Februari 2014

[Book Review] Little Stories by Adeste Adipriyanti, dkk.






Judul: Little Stories
Pengarang: Adeste Adipriyanti, Faye Yolody, Rieke Saraswati, Rinrin Indrianie, Vera Mensana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 264 halaman

“Aku tak boleh lupa, ketika aku bersedia menjadi istri Gelar, artinya aku juga menikahi mama mertua beserta brongkosnya.”

Kumpulan cerpen ini terdiri dari 4 tema yang penulisnya “menyumbang” satu cerpen di setiap tema. Tema-tema tersebut adalah: kuliner, prompter, demonstrasi dan tema bebas.

Tema Kuliner : (Gohu Buat Ina, Bakcang Terakhir, Brongkos Mertua, Sup Suzie, Semangkuk Bakso Tahu)
Overall semua cerpennya menarik tapi saya kurang suka dengan cerita Bakcang Terakhir *ide ceritanya ya, bukan gaya penulisannya*, ada juga yang terlalu misterius (Sup Suzie). Dan cerpen favorit saya di tema ini adalah cerpen yang berjudul Semangkuk Bakso Tahu yang menguras emosi dan “Brongkos Mertua”.

Tema Prompter: (Pisau, Lemparkan Saja Ke Sungai, Melankolia, Sang Ilalang, Serunya Membunuh Orang Gila)
Tema prompter adalah tema yang kalimat awalan dari cerpennya telah ditentukan. Dan ada 2 kalimat awalan di tema ini. Keduanya amat sangat menarik. Dan cerpen favorit saya adalah cerpen terakhir; “Serunya Membunuh Orang Gila” yang ditulis oleh Faye Yolody.

Tema Demonstrasi: (Teror di Kaki Bukit, Menunggu Ayah, Surat yang Tak Pernah Selesai, Aparat, Firasat Sang Ayah)
Di tema ini cerpen yang berjudul “Aparat”-lah yang paling saya suka. Cerpen ini membawa pembacanya melihat peristiwa demonstrasi dari sudut pandang para aparat. Dan cerpen lain yang menurut saya unik adalah “Teror di Kaki Bukit” yang menceritakan demonstrasi dalam bentuk yang amat berbeda.

Tema Bebas: (Nama Untuk Raka, Berdua Saja, Pasien, Lorong, 12 Juli)
Dari keempat tema, tema inilah yang paling saya sukai. Cerpen-cerpennya semuanya punya ide cerita menarik. Dua paling favorit adalah “Nama Untuk Raka” dan “12 Juli”.

“Orang miskin seperti kami seharusnya memang tidak perlu sakit.”

Saya sangat kagum dengan kelima penulis yang berkontibusi di dalam kumpulan cerpen ini. Saya tidak tahu pasti apakah buku ini merupakan karya pertama mereka, tapi jika memang iya bagi saya pribadi tulisan mereka menjanjikan sebagai karya debut.

Semua cerpennya ditulis dengan sangat baik, kalimat-kalimatnya enak dibaca dan yang penting adalah tulisan mereka masing-masing punya karakter tersendiri. Yang paling mudah dikenali adalah tulisan mbak Rieke Saraswati. Walaupun cerpen-cerpennya yang absurd itu bukan selera saya. Tapi justru karena cerpen-cerpen absurdnya, mbak Rieke telah berhasil menonjolkan karakter tulisannya.

Cover-nya oke, dominasi warna hijaunya bikin adem. Typo-nya juga tidak terlalu banyak yang saya temukan. Cuma sedikit heran dengan label “Metropop” yang diberikan untuk kumcer ini. Menurut saya sik, kurang cocok. Karena cerpen-cerpennya jauh sekali dari kesan metropop *yah walaupun ada beberapa yang cukup cocok dengan label itu*, apalagi kalau dibandingkan dengan kumcer metropop yang pernah saya baca: Autumn Once More.

MEMORABLE QUOTES:
  • “Tujuh ribu pun terkadang mahal saat kau tak bisa membelinya.” – Hal. 74
  • Lha wong tempat tinggal orang yang masih hidup saja bisa digusur, apalagi yang sudah mati?” – Hal. 151
  • “Semua yang menyangkut kehidupan manusia bukanlah urusan kecil.” – Hal. 193
  • “Ternyata menjadi manusia, gila ataupun tidak, selalu dibatasi segala sesuatu.” – Hal. 207

RATING 4/5

1 komentar:

  1. Wah, saya malah belum selesai baca buku ini.
    Covernya emang bagus ya.. :)

    BalasHapus