Judul: Tempat Gelap (Dark Places)
Pengarang: Gillian Flynn
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 427 Halaman
“Aku
memiliki kekejian di dalam diriku, senyata organ tubuh. Iris perutku, dan
kekejian itu mungkin mengalir keluar, menggumpal dan gelap, jatuh ke lantai
supaya kau bisa menginjak-injaknya.”
Libby Day menjadi satu-satunya yang selamat
dari peristiwa pembantaian di malam naas yang menimpa keluarganya—yang terkenal
sebagai “Pengorbanan untuk Setan”. Well,
tentu saja selain Ben, kakaknya yang mendekam di penjara karena ditetapkan
bersalah sebagai pelaku pembunuhan itu. Dan seorang ayah tak bertanggung
jawab yang hanya-Tuhan-yang-tahu-di-mana-dia-berada, Runner Day.
Dua puluh lima tahun setelah kejadian itu,
Libby menerima surat dari klub yang menamakan diri mereka Klub Bunuh. Mereka
bermaksud untuk menyelidiki kembali kasus tersebut dan membuktikan kalau Ben
tidak bersalah. Libby yang awalnya enggan terpaksa menerima tawaran mereka
karena klub tersebut menjanjikan jumlah uang cukup besar, kebetulan Libby yang
tidak berminat mencari pekerjaan sedang mengalami masalah finansial.
Libby tak akan menyangka kalau keputusannya
untuk ikut menyelidiki kembali kasus tersebut akan membawanya pada fakta
mengejutkan tentang apa yang sebenarnya terjadi di malam itu.
“Dari dulu
orang-orang memang tertarik dengan ibuku. Mereka selalu ingin tahu: Wanita
macam apa yang dijagal oleh anak laki-lakinya sendiri.”
Suram, sadis, dan brutal saya rasa cukup menggambarkan
isi dari buku ini. Saya sudah menjadi penggemar Gillian Flynn sejak membaca Gone Girl. Makin nge-fans setelah
membuktikan “kesakitan” Sharp Objects.
Makanya cukup excited ketika tahu
terjemahan buku ini akan terbit, mengingat saya pernah mau coba baca versi
Bahasa Inggrisnya tapi pada akhirnya nyerah.
Seperti Gone
Girl dan Sharp Objects, di dalam
buku ini Gillian Flynn kembali bercerita lewat sudut pandang karakter utama
wanita ciptaannya yang bisa dipastikan “bermasalah”. Yang cukup beda adalah dengan
digunakannya dua sudut pandang penceritaan berbeda setiap pergantian timeline-nya. Ketika timeline penceritaannya mengambil masa
sekarang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama, yaitu melalui
Libby. Sedangkan ketika timeline
penceritaannya flashback ke 2 Januari
1985 (yang mana merupakan hari pembantaian keluarga Day), sudut pandangnya
menggunakan orang ketiga. Dan tanpa diduga penggunaan dua sudut pandang berbeda
ini nyatu banget. Ini memang bukan pertama kalinya saya melihat seorang penulis
menggunakan dua sudut pandang berbeda, tapi cara yang digunakan Gillian Flynn ini menurut saya paling
jenius yang pernah saya temukan.
Perlu diketahui sebelumnya kalau Dark Places
bukan jenis buku yang page-turner.
Akan lebih nikmat jika membacanya dengan perlahan-lahan. Bahkan saya sendiri perlu
waktu yang cukup lama hingga akhirnya bisa menyelesaikan buku ini. Berkali-kali
saya dibuat tidak tahan dengan banyaknya adegan disturbing ditambah deskripsinya yang berhasil menguasai imajinasi
saya.
Saya terkadang suka sok tahu tentang konsep ukuran
kebagusan dari terjemahan sebuah buku. Kalau yang dimaksud bagus itu adalah
yang enak dibaca dan tidak menghilangkan nyawa versi aslinya, berarti terjemahan
buku ini bagus. Selain enak dibaca terjemahannya mampu menyampaikan sisi suram,
gelap, misterius, sadis, brutal-nya. Namun sayang, jumlah typo di buku ini agak kebangetan, sudah masuk kategori cukup
mengganggu.
“Keluarga Day mungkin akan berumur
panjang
Andai otak Ben Day tidak mendadak
sungsang
Karena mengidamkan kuasa gelap setan
bengis
Dibantainya seluruh keluarga dalam
satu jam yang sadis
Michelle kecil dicekiknya saat malam
Lalu Debby dibacok: sungguh
pemandangan seram
Patty sang ibu dapat giliran
belakangan
Kepalanya meledak dalam tembakan
senapan
Bayi Libby entah bagaimana selamat
Tapi bertahan hidup setelah semua itu
tak bisa dianggap berkat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar