Judul: Puya ke Puya
Pengarang: Faisal Oddang
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 218 Halaman
“Setiap
ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi sekaligus menuju pulang.
Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh,
semakin maut berjalan mendekat.”
Dalam kepercayaan orang Toraja, kematian
seseorang harus dirayakan. Upacara itu bernama rambu solo. Orang-orang akan berkerumun mengantar yang meninggal di
dalam peti untuk berjalan menuju puya,
alam tempat menemui Tuhan. Namun rambu
solo bukanlah upacara adat biasa, tak
sedikit jumlah uang yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, dan hal tersebut
menjadi tanggungan keluarga yang ditinggalkan.
Kematian Rante Ralla membuat anaknya, Allu
Ralla yang sedang berkutat menyelesaikan skripsi pulang ke Toraja. Dalam rapat
keluarga, Allu memutuskan untuk memakamkan ayahnya di Makassar, tanpa adanya
ritual rambu solo. Ibunya diam. Meski
tak begitu dengan saudara-saudara ayahnya. Bagi mereka, tidak melaksanakan rambu solo adalah aib bagi keluarga
besar, apalagi semasa hidupnya Rante adalah ketua adat. Sudah sepantasnya perjalanan
Rante menuju puya dengan menunggangi
kerbau belang dan diiringi puluhan kerbau serta ratusan babi.
Lagi-lagi Allu berkeras dengan alasan tak
punya biaya untuk mengadakan rambu solo
semegah itu. Sesungguhnya bukan tidak mungkin untuk mewujudkannya. Keluarga
besarnya bersedia membantu, dan tanah yang selama ini mereka tinggali telah
ditawar mahal oleh perusahaan tambang nikel. Namun Allu sadar kalau bantuan
dari keluarganya akan dianggap hutang. Dan dia tak mungkin menjual tanah yang
telah menjadi warisan turun-temurun itu.
Tetapi, kala muncul harapan untuk membuat
hidupnya bahagia meski di sisi lain membuatnya harus memikirkan lagi
keputusannya, jalan apa yang akan dipilih Allu? Lalu, apa yang akan terjadi
dengan rahasia kematian Rante yang masih dipendam rapat-rapat oleh istrinya?
Akankah dia goyah dan pada akhirnya tak sanggup lagi menyimpan rahasia itu?
“Inilah sebenarnya yang ditakutkan dari kematian. Sebagai orang Toraja,
aku takut pada kematian bukan karena membayangkan betapa sakit saat maut
merenggut, bukan itu. aku hanya takut menjadi mayat, dan menyusahkan keluarga.”
Siapa yang tidak tergiur dengan buku
ini ketika membaca pertanyaan besar “kenapa surga diciptakan?” di sampul
belakangnya? Ditambah label “Pemenang IV Sayembara Menulis Novel DKJ 2014”-nya.
Setidaknya, saya tergiur :D
Resep rahasia untuk langsung menikmati
buku ini dari awal adalah dengan mengetahui bagaimana point of view yang digunakan oleh penulisnya. Penulis bercerita
melalui empat narator berbeda, yang cara pembedaannya adalah dengan menggunakan
tanda “(“ dan “*”.
Rinciannya:
Untuk yang tidak bertanda adalah
milik narator serba tahu—yang di sini saya enggan untuk menyebutkan
identitasnya (baca sendiri yaa ;)))
(* digunakan untuk Rante Ralla yang
baru meninggal.
(** digunakan untuk Allu Ralla.
(*** digunakan untuk Maria Ralla,
adik Allu yang meninggal tujuh belas tahun yang lalu ketika masih bayi.
Yes,
you heard read it right. Penulis dengan gilanya menggunakan sudut
pandang orang pertama tidak hanya lewat karakternya yang masih hidup, tapi juga
yang telah meninggal.
Jika sudah paham dengan perihal pov-nya, niscaya akan mudah sekali
terhanyut dengan kisah di buku ini. Saya sendiri baru sadar akan keunikan pov-nya di halaman 20-an, sehingga tidak
puas rasanya kalau tidak mengulang lagi dari awal.
Ada yang pernah nonton film Korea The
Piper? Kalau pernah, sedikit banyak buku ini mengingatkan saya pada film
tersebut. Bukan. Tak perlu cemas buat yang fobia tikus *yang pernah nonton
pasti tau yang saya maksud*, buku ini tidak ada hubungannya dengan tikus. Hanya
saja feel yang dibangunnya mirip. Di
awal-awal disuguhi dengan drama, lalu di akhir akan dikejutkan dengan nuansa thriller yang cukup disturbing.
Satu kekurangan buku ini yang paling
menonjol, ketidakrapian pengetikannya, typo-nya
bertebaran :( malah semakin sering ditemukan mendekati lembar-lembar terakhir.
Jadi... kenapa surga diciptakan? Saya
tidak akan membocorkan jawabannya untuk kalian. Bisa jadi pendapat kita pada
jawaban atas pertanyaan itu akan berbeda. Saya anjurkan untuk baca, pahami, dan
temukan sendiri jawabannya.
“Di dunia tak ada yang abadi, tetapi kematian tidak pernah fana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar