Judul: Aku, Audrey (Finding Audrey)
Pengarang: Sophie Kinsella
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 360 Halaman
“Dalam benakku yang rasional aku tahu bahwa mata tak menakutkan. Mata adalah
gumpalan jelly kecil mungil tak berbahaya. Mata itu bagian
amat kecil dari seluruh tubuh kita. Kita semua memilikinya. Lalu kenapa mata
menggangguku?”
Karena gangguan kecemasan yang dideritanya,
Audrey mengenakan kacamata sepanjang hari walau dia hanya tinggal di rumah saja.
Audrey tidak bisa melakukan kontak mata kepada siapa pun bahkan kedua
orangtuanya, kecuali adiknya yang berumur empat tahun, Felix. Bagi Audrey
tatapan mata Felix adalah yang paling membuatnya nyaman.
Kakak laki-laki Audrey, Frank sedang
tergila-gila pada game Land of
Conquerors dan ingin mengikuti turnamen
game tersebut. Salah satu rekan setimnya adalah Linus. Linus yang sering
datang ke rumah mereka untuk latihan persiapan turnamen game LOC membuat gangguan kecemasan Audrey kambuh ketika Audrey berhadapan
langsung dengannya.
Tapi, perlahan Linus, dengan caranya sendiri
berhasil mendekati Audrey dan membuat Audrey merasa nyaman untuk menceritakan
isi hatinya. Audrey pun melakukan tantangan-tantangan yang diberikan Linus
untuk mulai bisa bicara dengan orang asing walaupun tetap memakai kacamata
hitamnya.
Bertemu dengan Linus ternyata tidak hanya
menolong Audrey, tetapi juga keluarganya. Bagaimana kelanjutan hubungan Audrey
dengan Linus? Hal buruk apa yang menyebabkan Audrey menderita gangguan
kecemasan? Baca Aku, Audrey untuk mengungkap jawabannya.
“Tapi Audrey, begitulah hidup. Kita semua memiliki grafik bergerigi. Aku tahu
aku begitu. Naik sedikit, turun sedikit. Begitulah hidup.”
Sophie Kinsella adalah sedikit dari penulis
yang saya ketahui eksistensinya tapi belum pernah satu pun dari karyanya yang
saya baca. Aneh juga sih kedengarannya kalau buku pertama dari Sophie Kinsella
yang saya baca adalah young adult,
bukan chicklit, genre yang melambungkan
namanya sebagai penulis.
Beli buku ini pun nggak sengaja. Awalnya yang
kepingin saya beli adalah satu dari dua buku baru yang jadi incaran saya,
karena bingung saya memutuskan untuk melihat-lihat judul lain yang juga baru
terbit. Cover-nya langsung bikin saya
jatuh cinta. Seriusan, saya beli buku ini cuma karena cover-nya yang enak dipandang.
Ketika pertama baca, gaya bercerita yang lincah
bikin saya nggak bisa berhenti baca. Ditambah dengan terjemahannya yang oke dan
karakter-karakternya yang lovable dan
kocak. Karakter-karakter di buku ini punya ke-charming-annya sendiri. Dan sudut pandang bercerita lewat Audrey
menurut saya semakin menambah kekonyolan ke-charming-an mereka.
Kalau kalian sudah membaca Minoel-nya Ken
Terate, dan suka, saya jamin kalian juga akan suka buku ini. Begitu pula
sebaliknya, yang sudah baca buku ini, saya merekomendasikan Minoel buat kalian.
Bisa dibilang Finding Audrey adalah versi moderennya Minoel. Meski yang sama
hanya temanya, tentang remaja yang berusaha sembuh dari trauma pasca kejadian
buruk yang dialami.
Yang bikin saya agak jengkel sik, karena
POV-nya dari sudut pandang Audrey. Kejadian penyebab gangguan kecemasan yang
dideritanya nggak terlalu dijelaskan. Malah hanya berupa clue-clue yang mengharuskan pembacanya sendiri menyimpulkan.
Dan yang paling saya suka dari Finding Audrey
adalah bagian transkrip project film
dokumenternya Audrey. Bagian inilah yang paling sering bikin saya ngakak. Keluarganya
Audrey emang kocak. Saya jadi ngebayangin jika misalnya buku ini diadaptasi ke
film, pasti keren kalau filmnya ada campuran found footage-nya.
Empat bintang saya berikan untuk kisah singkat
Audrey dan keluarganya. Tambahan satu bintang untuk cover dan terjemahannya.
“Berhenti di tengah-tengah kalimat itu adalah hal terburuk yang bisa
dilakukan seseorang. Itu benar-benar pasif agresif, sebab kau tak bisa mendebat
apa yang mereka katakan. Kau harus mendebat sesuatu dengan apa yang menurutmu akan mereka
katakan.”
RATING 5/5