Judul: Gadis-Gadis
Misterius (The Girls)
Pengarang: Emma Cline
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Juli 2016
Tebal: 360
halaman
“Itulah kali pertama aku melihat
Suzanne—rambut hitam yang membuatnya berbeda, bahkan dari kejauhan, senyumnya
padaku yang terang-terangan dan menilai. Aku tidak bisa menjelaskan pada diri
sendiri, ada emosi yang melilitku saat melihatnya. Dia kelihatan seaneh dan
semurni bunga-bunga yang mekar dalam ledakan warna mencolok lima tahun sekali,
godaan norak dan mengganggu yang nyaris sama dengan keindahan. Dan apa yang
dilihat gadis itu saat menatapku?”
Mengambil setting
utama tahun 1969, dengan alur maju-mundur, The Girls bercerita tentang Evie
Boyd, seorang remaja berumur empat belas tahun. Dia anak semata wayang, ayahnya
meninggalkan Evie dan ibunya demi wanita lain. Sejak saat itu ibu Evie semakin abai
padanya, sibuk menghamburkan uang warisan nenek Evie dan bersenang-senang
dengan laki-laki baru.
Kali pertama
melihat sekumpulan gadis-gadis misterius itu, Evie terpesona. Gadis-gadis itu
menarik perhatian dengan pakaian lusuh yang mereka kenakan sekaligus aura
misterius ketika mereka berjalan melewati Evie. Tapi ada seorang gadis yang
amat menarik perhatiannya, belakangan diketahui gadis itu bernama Suzanne.
Lewat ketaksengajaan,
Evie suatu hari diajak oleh sekumpulan gadis itu untuk berkunjung ke tempat
mereka tinggal. Di peternakan tak terurus itu Evie semakin mengagumi kelompok
yang lebih menjurus ke sekte itu. Apalagi ketika Evie bertemu langsung dengan
pemimpinnya, Russel.
Di sana Evie
merasa diakui, diterima sebagai keluarga. Hal yang selama ini tak dia dapatkan.
Ditambah dengan hubungannya yang renggang dengan sahabatnya, Connie akibat
kesalah yang tidak sengaja dia perbuat. Evie memutuskan untuk tinggal dengan
kelompok tersebut. Dia ingin meninggalkan kehidupan remajanya yang kesepian dan
membosankan, menjadi seorang gadis yang punya kehidupan bebas dan tinggal
bersama gadis-gadis lainnya.
Evie menyadari
bahwa dia punya obsesi tak wajar pada Suzanne, dan itu menjadi alasan terkuat dia
memutuskan tetap tinggal. Tapi dia semakin melihat pemujaan yang begitu tinggi
Suzanne ke Russel. Dan rencana berbahaya Russel terhadap Mitch, seorang produser
musik yang ingkar janji, semakin membuat Evie kembali mempertanyakan
keputusannya.
“Kadang-kadang aku bermimpi, lalu aku
terbangun pada akhir mimpi dan menganggap suatu bayangan atau fakta itu benar,
membawa asumsi itu dari dunia mimpi ke kehidupan nyataku saat terjaga.”
Setelah selesai
membaca kisah Evie dan para gadis misterius di buku ini saya buru-buru mencari
tahu tentang Manson (Family) Cult,
saya penasaran sebab banyak reviewers
yang mengaitkan kisah di buku ini dengan “peristiwa tragis” yang dilakukan oleh
Manson Cult di tahun 1969 (sama
dengan setting di buku ini). Dan kesimpulan saya sehabis membaca beberapa
artikel dari hasil pencarian Google?
Sepertinya buku ini memang dapat dibilang terinspirasi dari kejadian tersebut.
Beberapa detail memang disamarkan namun tetap terasa mirip, kalau kamu anti spoiler dan punya rencana untuk membaca
buku ini dalam waktu dekat, sebuah keputusan bijak untuk tidak menjadi tahu
dulu tentang Manson Cult.
Membaca buku ini
bagai sedang melakukan perjalanan menarik namun melelahkan. Alurnya lambat.
Banget. Terutama di bagian ketika Evie mulai menjadi bagian dari gadis-gadisnya
Russel. Ini menjadi salah satu faktor utama kenapa butuh waktu lama untuk menyelesaikan
buku ini. Faktor lain yaitu: ada bagian-bagian yang membuat saya tidak nyaman
ketika membacanya, buku ini kurang cocok dibaca oleh remaja, banyak
bagian-bagian vulgar yang bahkan saya sendiri pun malu ketika membacanya.
Lalu gaya narasi serta
diksinya. Narasi dan diksinya amat unik, rumit, namun memesona. Kerumitannya
membutuhkan perhatian dan waktu ekstra untuk dicerna, tapi dis tulah pesonanya.
Hal tersebut tak lepas dari peran dari penerjemah buku ini yang telah melakukan
tugasnya dengan baik, tanpa terjemahan sebagus ini bisa jadi bukunya akan terasa
hambar. Sedikit saya kutip bagian dari
narasi yang saya suka:
“...Itu hanya bagian dari menjadi seorang
gadis—kau harus menyesuaikan umpan balik apa pun yang kaudapatkan. Jika marah,
berarti kau gila, jika tak bereaksi, berarti kau jalang. Satu-satunya yang bisa
kaulakukan adalah tersenyum dari sudut tempat mereka mendesakmu. Melibatkan
diri dalam lelucon, bahkan meskipun lelucon itu sellau tertuju kepadamu.” (Hal.
59)
Dan,
“Saat itu aku membayangkan pernikahan sebagai
sesuatu yang sederhana dan didambakan. Ketika seseorang berjanji untuk
menyayangi kita, berjanji bahwa mereka akan menyadari jika kita sedih, atau
lelah, atau membenci makanan yang terasa bagaikan dinginnya kulkas. Yang
berjanji hidup mereka akan berjalan paralel dengan hidup kita. Ibuku pasti tahu
tapi tetap tinggal, lalu apa arti cinta jika demikian? Cinta tidak akan pernah
aman—seperti refrein lagi sedih yang putus asa: kau tidak
mencintaiku seperti aku mencintaimu.
Satu hal yang paling menakutkan: Mustahil
untuk langsung mendeteksi sumbernya begitu keadaan berubah. Bagaikan melihat
punggung seorang perempuan bergaun rendah tapi disisipi kesadaran akan
kehadiran istri di ruangan lain.” (Hal. 85)
Setuju kan kalau
saya menggunakan istilah “memesona” untuk menggambarkan narasinya? ;) Dan yang
terpenting, bagian terfavorit saya adalah ending-nya. Tepatnya bab terakhir dari
Bagian Tiga dan Bagian Empat (yang menjadi penutup). Rasa penasaran saya kembali
muncul, saya bahkan tak berani untuk menebak-nebak bagaimana buku ini akan
diakhiri.
Untuk diketahui, manuskrip
The Girls ini sempat menjadi rebutan untuk dibeli hak terbitnya oleh beberapa penerbit
mayor. Bahkan jauh sebelum diterbitkan, The Girls sudah lebih dulu dibeli hak
ciptanya untuk diadaptasi ke layar lebar oleh produser terkenal, Scott Rudin
(No Country for Old Men, The Truman Show, The Social Network). Tak terlalu
mengejutkan sih, premisnya boleh dibilang segar dan jarang dijamah penulis
lain. Hmm.. jadi penasaran akan seperti apa film adaptasinya nanti.
“Sasha yang malang. Gadis-gadis malang. Dunia
menghujani mereka dengan janji akan cinta. Betapa besar mereka membutuhkannya,
dan betapa kecil yang akan didapat sebagian besar dari mereka. Lagu-lagu pop
semanis cairan gula, gaun-gaun dalam katalog yang digambarkan dengan kata-kata
seperti ‘matahari terbenam’ dan ‘Paris’. Kemudian, mimpi-mimpi mereka direnggut
oleh semacam kekuatan kejam; tangan yang membuka paksa kancing-kancing celana
jins, tidak ada yang menoleh pada lelaki yang meneriaki pacarnya di bus.
Kesedihan memikirkan Sasha mencekik kerongkonganku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar