Judul: Di
Tanah Lada
Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 244
halaman
“Menurutku, Papa mirip hantu. Papa mirip hantu
karena aku takut hantu, dan aku tahu Mama takut hantu. Dan aku takut Papa. Dan
aku tahu kalau Mama juga takut Papa.”
Salva—bukan
Saliva—atau biasa dipanggil Ava, adalah seorang gadis kecil berumur enam tahun
yang punya hobi membaca kamus Bahasa Indonesia. Kecintaannya tersebut tumbuh karena
Kakek Kia yang memberinya kamus itu di hari ulang tahunnya. Kata Kakek Kia,
orang yang berbicara dengan baik akan lebih disegani oleh orang lain. Setiap
hari Ava membaca kamusnya, mempelajari banyak kata-kata baru.
Namun Kakek Kia meninggal,
dia meninggalkan banyak uang untuk papa Ava. Papa Ava adalah seorang tukang
judi. Dia jahat, membenci Ava, dan selalu berbicara dengan jelek. Tidak seperti
mamanya, mama Ava cantik dan baik, dan sayang pada Ava.
Setelah
mendapatkan banyak uang, papa Ava menjual rumah mereka dan pindah ke Rusun Nero
yang letaknya dekat dengan tempat perjudian. Ava tidak suka dengan Rusun Nero. Tempatnya
kotor dan kumuh, dan di sana dia tidak punya kasur, apalagi sebuah kamar. Tapi
di sana dia bertemu dengan seorang anak umur sepuluh tahun yang hobi bermain
gitar, namanya P. Ya, namanya memang sependek itu, hanya satu huruf.
Mudah saja bagi
mereka untuk menjalin persahabatan. Dan persahabatan mereka ini nantinya akan
menjadi awal dari sebuah petualangan tak terduga yang akan mereka lalui
bersama.
“’Itu punya kamu?’ tanyaku, menunjuk sepeda
itu.
Dia mengangguk. ‘Iya. Aku dapat dari orang
sebelah.’
‘Ih, serem!’
‘Seremnya kenapa?’
‘Iya. Orangnya cuma sebelah, kan? Badannya...
cuma ada sebelah, kan?’”
Hmmm... dari mana
dulu saya harus membicarakan buku ini? Kesan saya setelah membacanya? Menurut
saya bukunya bagus, ide ceritanya menarik, dan diceritakan dengan menarik pula;
lewat narasi bocah berumur enam tahun. Tapi ada beberapa hal yang membuat
kekaguman saya pada buku ini berkurang. Di antaranya:
Karakter Ava yang
agak nggak masuk akal. Ini mungkin dibahas hampir oleh semua orang yang pernah baca
buku ini, menurut saya Ava di sini karakternya dibuat terlalu pintar untuk
ukuran anak kecil yang baru berumur enam tahun. Pertama, rasanya aneh saja
mengetahui hobi membaca kamusnya. Ini kamus lho, yang isinya tulisan
kecil-kecil nan rapat dan tidak terdapat gambar di dalamnya. Selanjutnya,
ingatannya yang amat sangat kuat, bisa hafal dengan kalimat-kalimat panjang
yang pernah diucapkan orang lain kepada dia sampai ke titik koma. Kalau saya
sih, seringnya melihat malah karakter Ava di sini bukan sebagai anak kecil yang
terlalu cepat dewasa, tapi malah kayak orang dewasa yang kekanakan.
Lalu mamanya Ava.
Saya nggak ngerti lagi deh sama pola pikirnya. Emang umurnya berapa sik? 17?
18? 19 tahun? Lalai bener -____-
Dan, ini juga
bisa dibilang sering jadi kendala jika menggunakan POV 1, di beberapa bagian
kelihatan sekali kalau penulisnya yang sedang bersuara, bukan si Ava-nya.
Endingnya. Untuk
pembenci ending tragis, saya amat tidak menyarankan kalian untuk baca buku ini
ya. Saya tidak benci endingnya kok, tapi tetep nggak tega bacanya T_T
Tapi terlepas dari
itu semua, buku ini sama sekali tidak bisa dibilang jelek, at least berhasil
bikin hati saya trenyuh. Mungkin saya aja bacanya terlalu serius ._. Hal-hal
yang saya suka dari buku ini seperti: percakapan Ava dan P yang lugu, kadang
kocak. Ketika P menceritakan pada Ava cerpennya Andy Weir yang berjudul The
Egg, yah meski percakapan mereka masih berasa terlalu dalem untuk anak seumuran
mereka. Dan ketika mereka membicarakan reinkarnasi. Satu lagi, judulnya. Saya takjub
pas baca bagian yang bikin saya sadar kenapa diberi judul "Di Tanah Lada". Keren
deh bisa kepikiran sampe sana.
“’Ditulisnya ‘M. Poirot’. Menurut kamu, ‘M’
itu apa, ya? Eh, apa mungkin itu cuma ‘M’ saja? Seperti namaku, P saja. Dia cuma
M saja. M. Poirot.’
‘Bukan. M itu kependekan Muhammad,’ kataku.
‘Teman-temanku di sekolah juga punya nama yang depannya ada ‘M’-nya. Mereka
bilang, itu kependekan dari Muhammad.’
‘Muhammad Poirot. Boleh juga, ya, namanya.’”
Ava di sini bukan sebagai anak kecil yang terlalu cepat dewasa, tapi malah kayak orang dewasa yang kekanakan.#jleb 😂
BalasHapusReview nya keren makasih 😊