Judul: Anak
ini Mau Mengencingi Jakarta? (Cerpen Pilihan Kompas 2015)
Pengarang: Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki,
Anggun Prameswari, Budi Darma, Dewi Ria Utari, Djenar Maesa Ayu, Faisal Oddang,
Gde Aryantha Soethama, Guntur Alam, Gus TF Sakai, Indra Tranggono, Joko
Pinurbo, Jujur Prananto, Martin Aleida, Miranda Seftiana, Ni Komang Ariani, Oka
Rusmini, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Tawakal M Iqbal, Triyanto
Triwikromo, Warih Wisatsana.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 256 halaman
“’Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing dekat buntalan
pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh di mana, Pa?’
Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakkan wajah manusia
bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
‘Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di
Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di
sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar
itu?’” (Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?
– Ahmad Tohari)
Kalau boleh mengaku-aku, saya adalah
penggemar kumpulan cerpen. Ada beberapa kumpulan cerpen yang masih meninggalkan
kesan bahkan setelah lama sekali saya membacanya, di antaranya semua kumpulan
cerpen karya Eka Kurniawan, Semua untuk Hindia, Rectoverso, 9 dari Nadira,
Cerita Cinta Indonesia, Dari Datuk ke Sakura Emas, Kumpulan Budak Setan, sudah,
hanya judul-judul tersebut yang saya ingat :D. Dan, setelah membaca buku
kumpulan cerpen ini saya berani ber-statement
bahwa “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” adalah kumpulan cerpen terbaik yang
pernah saya baca. Setidaknya terbaik sejauh ini.
Sebelum menyerempet ke cerpen-cerpen
di dalamnya, saya mau membeberkan beberapa hal yang menjadi poin tambah buku
ini, yaitu: judulnya yang akan langsung membuat siapa saja menoleh dua kali
ketika melihat buku ini berjejer di rak toko buku, sampulnya, ilustrasi di
setiap cerpen, dan terakhir kertas sampul yang tebal (sehingga tidak mudah
melengkung) dan kertas isinya yang juga lebih tebal dari buku-buku kebanyakan.
Kedua puluh tiga cerpen di dalamnya
sendiri beragam, dari genre sampai tema yang diangkat. Telah dituliskan di bagian
sampul belakang kalau kontributor dari kumpulan cerpen ini berasal dari generasi
berbeda mulai dari Ahmad Tohari sampai Faisal Oddang. Hebatnya, menurut saya semuanya
seimbang, tak ada yang jomplang,
meski tetap ada yang tidak menjadi favorit saya, tidak mengurangi kekaguman
saya pada tiap cerpennya. Murni saya menyalahkan selera.
Banyak cerpen-cerpen yang hanya sekadar
bagus di mata saya, tak sedikit pula yang istimewa. Sulit untuk menentukan
cerpen yang mana yang paling saya favoritkan, tapi kalau harus dipaksa memilih,
pilihan saya jatuh pada cerpen berjudul “Basa-Basi” karya Jujur Prananto.
Cerpen ini satirnya yang paling ngena, bercerita tentang seorang karyawan BUMN
yang sangat benci berbasa-basi, tapi keadaan menuntut sebaliknya.
“’Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?’ tanya Ratih. ‘Mendoakan orang
yang sakit kan bagus.’
‘Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu
benar-benar mereka jalani? Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska
itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja, di
wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan
kata-kata keyboard
smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku
yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!’
‘Jangan suka curiga....’
‘Mereka sendiri yang bicara.’” (Basa-Basi
– Jujur Prananto)
Selanjutnya diikuti oleh “Anak ini
Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari “Orang-orang dari Selatan Harus
Mati Malam Itu” karya Faisal Oddang di posisi yang sama, sedikit di bawah
“Basa-Basi”.
Yang paling saya suka dari “Anak ini
Mau Mengencingi Jakarta?” adalah adegan per adegannya yang berhasil memotret
sepenggal kehidupan orang pinggiran, terutama adegan makan mi instan. Didukung
pula dengan dialog yang kuat. Terlalu bagus untuk jadi cerpen pembuka.
Sedangkan “Orang-orang dari Selatan
Harus Mati Malam Itu” sudah membuat saya takjub sejak kalimat pembukanya: “Kami dipaksa menganut agama resmi,
mencantumkannya di KTP, dan dipaksa menjauhi Tuhan kami—Dewata Sewwae, tentu
kami tidak berdaya lantas harus menerimanya dengan dada lapang yang perih.” Cerpen
ini sekaligus berhasil membuat saya ngefans lagi pada Faisal Oddang setelah
sempat kecewa dengan salah satu karyanya yang baru-baru ini saya baca.
Sepanjang saya membaca cerpen ini, yang ada di benak saya adalah rasa kagum,
kok bisa ya kepikiran ide cerita sekeren ini?
Cerpen-cerpen lain yang bikin saya
iri setengah mati karena ide ceritanya ada “Dua Penyanyi” yang ditulis oleh
Budi Darma, “Lidah Ketut Rapti” oleh Ni Komang Ariani, “Batu Lumut Kapas” oleh
Gus TF Sakai, “Kebohongan Itu Manis, Vardhazh” oleh Indra Tranggono, “Linuwih
Aroma Jarik Baru” oleh Anggun Prameswari, “Sepasang Kekasih di Bawah
Reruntuhan” oleh AK Basuki, dan “Nomor” oleh Seno Gumira Ajidarma.
“Setelah aku mati diriku adalah sebuah nomor dalam telepon genggam.” (Nomor – Seno Gumira Ajidarma)
Di sisi lain saya malah agak heran
karena sedikit sekali yang mengambil isu LGBT, padahal biasanya isu ini yang
cukup laris diangkat. Mungkin hanya cerpen-cerpen tersebut ya yang layak masuk
dalam buku ini? Di buku ini ada dua (sebenarnya lebih, tapi kalau saya sebutkan
nanti malah hilang kejutan dari cerpen yang dimaksud) yaitu “Upacara Hoe karya Guntur Alam dan “Sebatang Lengkeng
yang Bercerita” karya Miranda Seftiana. Kedua cerpen tersebut untunglah cukup
memuaskan, terutama yang ditulis oleh Guntur Alam. Latar belakang adat
Tionghoa-nya itu lho. Thumbs up!
Singkat kata, kesimpulan dari review
ini: “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” akan melengkapi daftar bacaan terbaik
yang saya baca tahun ini :))
“Tidak mudah menjadi seorang perempuan. Sebab berkali-kali nyawanya harus
digadaikan pada meja persalinan. Bernegosiasi dengan malaikat maut demi sebuah
kehidupan lain. Pun tidak mudah pula menjadi seorang lelaki. Lantaran di tangan
kukuhnyalah kehidupan baru itu meminta ketentuan. Apakah berlanjut atau cukup
hingga air susu habis masanya?” (Sebatang
Lengkeng yang Bercerita – Miranda Seftiana)
“Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... sangat manis... begitulah
seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan
menanam kebohongan di mulut, orang macam kita bisa bertahan.” (Kebohongan Itu Manis, Vardhazh – Indra
Tranggono)