Jadi tahun ini, di Blogger Buku
Indonesia (BBI) selain ada yang namanya baca bareng, juga ada opini bareng.
Seperti baca bareng, setiap bulannya untuk ikutan nge-post opini bareng ini anggota BBI harus mengikuti tema yang sudah
ditentukan sebelumnya. Saya nggak bisa ikutan baca bareng bulan Januari ini
karena temanya adalah buku dari Secret Santa, yang mana saya nggak ikutan event Secret Santa kemarin :D jadi
bulan ini cuma bisa ikutan nge-post
opini bareng. Semoga bulan depan saya bisa ikutan dua-duanya.
Nah, tema bulan ini yang ditentukan
adalah ekspektasi. Di dalam hidup ini kita tidak bisa lepas dari yang namanya
ekspektasi. Karena cakupannya luas, yang akan saya tulis di sini adalah
ekspektasi saya yang berhubungan dengan buku saja.
Saya termasuk jenis orang yang
sebelum saya membaca buku, saya sudah mengira-ngira akan saya beri bintang
berapa buku tersebut. Tak jarang analisis sotoy saya itu saya gunakan ketika
saya memutuskan untuk membeli buku apa di kala budget terbatas. Misalnya seperti ini; saya dihadapkan pada dua
pilihan, pertama buku “A” yang ditulis oleh pengarang yang saya belum pernah
membaca karyanya, tapi review di goodreads tentang buku tersebut cukup rame.
Pilihan kedua, buku “B” ditulis oleh pengarang yang karya sebelumnya sudah
pernah saya baca, dan saya suka. 80% kemungkinan saya akan memilih untuk
membeli buku “B”. Karena di pikiran saya, untuk penulis baru yang belum pernah
saya baca, jarang sekali yang benar-benar membuat saya puas dengan karyanya,
paling banter nanti buku “A” tersebut saya kasih bintang 4 (iyaa, itu salah
satu sifat buruk saya yang suka men-judge
duluan -___-). Sedangkan untuk penulis yang sudah saya sukai karya
sebelumnya, lebih besar kemungkinan saya akan lebih menyukai buku “B” tersebut.
Kesannya kayak “ogah rugi” yak? Hahaha...
Tapi setelah dipikir-pikir lagi,
pemikiran saya tersebut salah besar. Bukan hal yang tak mungkin kalau nantinya
buku karya penulis baru* tersebut akan sangat saya sukai (*baru di sini
maksudnya juga buat penulis yang belum pernah saya baca tulisannya ya, bukan
berarti penulis yang baru debut). Bukankah penulis-penulis favorit saya
sekarang juga sebelumnya saya tidak kenal dengan tulisan mereka toh? Contohnya:
Mitch Albom, John Green, Khaled Hosseini,
Dee Lestari, dll. Sebelumnya saya terlebih dahulu mencoba untuk pertama
kalinya “mencicipi” tulisan mereka baru kemudian menjadi penggemar mereka.
Begitu pula sebaliknya, tidak menutup
kemungkinan juga jika saya kecewa dengan karya terbaru dari penulis favorit
saya. Misalnya, Tere Liye. Beliau
adalah salah satu penulis Indonesia favorit saya. Hampir semua buku karyanya
saya suka, terutama Negeri Para Bedebah.
Tapi kemudian ketika membaca Negeri di
Ujung Tanduk, sekuel Negeri Para
Bedebah tersebut mengecewakan saya. Mungkin akibat berekspektasi terlalu
tinggi? Entahlah. Yang jelas sejak saat itu saya belum menemukan lagi karya
beliau yang saya beri 5 bintang alias sukak pake banget (saya belum baca Rindu, by the way).
Kasus lain, selain yang di atas
adalah tentang buku yang diadaptasi menjadi film. Apalagi kalau yang diadaptasi
adalah buku favorit sepanjang masa. Biasanya untuk kasus ini akan terbagi
menjadi dua kubu pembaca, pertama yang skeptis dan tidak rela bayangan mereka
dirusak begitu saja oleh (bakal) filmnya. Dan kubu yang excited tidak sabar menunggu filmnya keluar. Saya termasuk kelompok
kedua :D saya sama sekali tidak masalah buku favorit saya akan diadaptasi
menjadi film. Malah senang, karena yang suka filmnya nanti pasti banyak yang
jadi pengin baca versi bukunya juga ;)) selalu menyenangkan mengetahui orang
lain juga baca buku yang menjadi favorit kita.
Menurut pengamatan saya nih ya,
mengadaptasi buku menjadi film itu tidak mudah. Terutama untuk memuaskan
pembaca bukunya. Mulai dari masalah cast
yang tidak sesuai dengan imajinasi pembaca, juga plot atau detail lain yang
dirombak di sana-sini. Perlu diingat kalau film tersebut TIDAK HANYA ditujukan
untuk penggemar bukunya, tapi juga audience
yang belum baca bukunya. Namun, namanya juga ekspektasi ya, kadang tidak bisa
kita kendalikan. Komentar-kometar
seperti “Kok yang jadi si anu si ini sik?” atau “Adegan yang nganu kok
diilangin sik?” tidak bisa dihindari.
Saya termasuk yang tidak terlalu rewel
untuk urusan ini. Banyak kok film adaptasi yang berhasil memuaskan saya sebagai
penggemar versi bukunya. Seperti: Gone Girl, The Fault in Our Stars, Trilogi
The Lord of The Rings, The Hobbit (yang walaupun dipanjang-panjangin jadi
trilogi tetap memuaskan), Life of Pi, The Hunger Games, Divergent, If I Stay
dan masih banyak lagi. Bagaimana dengan
sebaliknya? Kalau nonton filmnya dulu baru kemudian baca bukunya? Kalau yang
seperti ini saya tidak pernah merasa kecewa, karena saya hanya tertarik baca
buku yang filmnya berkesan buat saya ;)) misal: The Help, The Perks of Being a
Wallflower, seri Harry Poter dan Carrie (yang versi lama, bukan remake).
Menurunkan ekspektasi itu perlu,
untuk menghindari kekecewaan. Tapi kadang ekspektasi tinggi juga bagus loooh.
Kalo buat saya sik. Karena jika misalnya nih ekspektasi kita sudah tinggi
terhadap buku yang akan kita baca, lalu buku tersebut nantinya melebihi
eskpektasi kita, rasanya... tak terbayangkan pokoknya. Mulai dari mengalami
yang namanya book hangover, sampai
bersemangat-empat-lima untuk mempromosikan buku tersebut biar lebih banyak
orang yang baca :D
*semua gambar (kecuali banner) bersumber dari fanpage The Reading Room