Judul: Telepon Pertama dari Surga (The First Phone Call
from Heaven)
Pengarang: Mitch Albom
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
“Berita-berita kehidupan biasanya disampaikan melalui
telepon. Kelahiran bayi, pertunangan sepasang kekasih, kecelakaan tragis di
jalan tol pada larut malam—sebagian besar penanda perjalanan hidup manusia,
bagus atau buruk, didahului oleh bunyi deringan.”
Di sebuah kota
bernama Coldwater, keajaiban terjadi. Beberapa orang yang tinggal di Coldwater tiba-tiba
mendapat telepon dari orang yang mereka kenal dan telah meninggal—yang mengaku
kalau mereka menelepon dari surga.
Katherine
Yellin, yang mendapat telepon dari almarhum kakak perempuannya, Diane,
memutuskan untuk tidak diam saja dan akan membagi ceritanya pada semua orang. Bisa
ditebak, ketika Katherine mengumumkan tentang mukjizat yang diterimanya di depan
Pendeta Warren dan orang-orang lain yang hadir di gereja, Coldwater tak lagi sama seperti sebelumnya.
Kota kecil itu
menjadi sorotan media. Apalagi orang-orang yang menerima telepon itu satu per
satu mengakui mukjizat yang mereka terima. Mulai dari anggota keluarga mereka
yang menelepon, bahkan mitra kerja.
Di saat
Coldwater menjadi semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang yang penasaran dan semakin
menjadi perhatian dunia, Sully Harding malah sama sekali tidak memercayai
telepon dari surga itu. Sully yang hidupnya hancur karena sebuah insiden besar
di suatu malam, kemudian memutuskan untuk menyelidiki secara rahasia kebenaran
di balik telepon-telepon itu. Sully ingin membuktikan kalau mukjizat itu hanya
omong kosong belaka.
Bagaimana hasil
penyelidikan Sully? Bagaimana kisahnya akan berakhir? Temukan sendiri
jawabannya di buku ini ;)
“Kata-kata yang tak diucapkan orang-orang lebih lantang
bunyinya daripada yang diucapkan.”
Harus diakui,
sebagai penggemar tulisan Mitch Albom, buku ini sudah sangat lama saya
tunggu-tunggu. Dan beruntungnya buku ini saya dapatkan secara gratis sebagai
hadiah #ResensiPilihan dari sang penerbit *malah pamer* x)).
Seperti biasanya,
Mitch Albom berhasil memerangkap pikiran saya untuk terus membaca kisah yang
dituturkannya, susah untuk berhenti ketika saya mulai membaca buku ini. Kisah yang
dituliskan kali ini tak kalah indah dari kisah-kisah yang lain.
Dan seperti karya
sebelumnya, buku ini kembali berbicara tentang faith; kepercayaan/keyakinan. Namun cukup berbeda dari karyanya
lain yang pernah saya baca, buku ini berhasil membuat saya deg-degan di
pertengahan cerita. Ada unsur misterinya sedikit. Beberapa bagian cukup membuat
saya tercengang, saya tak menyangka ada kejutan-kejutan yang ditebar di lembar-lembarnya.
Walaupun kisah
di buku ini bergulir tidak seperti apa yang sebelumnya saya ekspektasikan (awalnya
saya mengira kisah buku ini akan mirip seperti For One More Day), saya tetap merasa
puas dan tak menyesal membaca buku ini.
Saya suka
dengan cerita selingan sejarah tentang Alexander Graham Bell yang berhubungan
dengan apa yang terjadi pada karakternya. Juga dengan “kejutan manis” di bagian
akhir yang berhasil membuat saya tersentuh dan terharu (seperti biasanya(lagi)).
Untuk komentar unsur
fisiknya, saya suka kaver versi terjemahan ini yang lebih enak dilihat dari
kaver aslinya yang sangat simple. Terjemahannya
bagus walaupun ada beberapa kata/kalimat yang kurang pas dan kurang enak
dibaca. Typo-nya sedikit yang saya
temukan, yang saya ingat ada kesalahan penulisan pada nama karakter dan nama
kota, sisanya lupa x)
Dan pada akhirnya
Mitch Albom kembali menyerahkan kembali kepada pembacanya, percayakah kalian
pada surga? Benarkah mukjizat benar-benar nyata? Dan itu salah satu faktor saya
mengagumi tulisan-tulisannya, Mitch Albom bercerita tentang kepercayaan,
keyakinan tanpa terkesan sok tahu tentang itu.
Memorable Quotes:
- “Kau harus memulai lagi. Begitulah kata orang. Tapi hidup tidak seperti permainan papan, dan kehilangan seseorang yang kita cintai tak pernah benar-benar ‘memulai lagi’. Lebih seperti ‘melanjutkan tanpa’.” – Hal. 22
- “Kata orang, iman lebih baik daripada kepercayan, sebab kepercayaan adalah ketika orang lainlah yang berpikir.” – Hal. 54
- “Sewaktu kecil dulu, kita diajari bahwa kita mungkin pergi ke surga. Kita tak pernah diajari bahwa surga mungkin mendatangi kita.” – Hal. 63
- “Rasa takut adalah cara kita kehilangan hidup kita... sedikit demi sedikit... apa yang kita berikan pada rasa takut, kita mengambilnya dari... iman.” – Hal. 156
- “Kadang-kadang cinta menyatukan kita, bahkan apabila hidup memisahkan kita.” – Hal. 196
- “Ada dua cerita untuk setiap kehidupan; kehidupan yang kaujalani, dan kehidupan yang diceritakan orang lain.” – Hal. 218
- “Ada waktu untuk menyapa dan ada waktu untuk mengucapkan selamat berpisah. Itu sebabnya tindakan pemakaman terkesan wajar, sementara tindakan menggali pemakaman tidak.” – Hal. 232
- “Keinginan menentukan kompas kita, tapi kehidupan nyata mengemudikan jalannya.” – Hal. 390
- “Itulah yang terjadi ketika orang-orang terlalu cepat meninggalkan kita, bukan? Kita selalu mempunyai begitu banyak pertanyaan.” – Hal. 408
Tidak ada komentar:
Posting Komentar