Judul: Critical Eleven
Pengarang: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: September 2015 (Cetakan keempat)
Tebal: 344 Halaman
“Travel is a remarkable thing, right? Di pesawat, di bus, di kereta api, berjalan
kaki, it somehow brings you to a whole other dimension more than just the
physical destination. Di negara yang kita
kurang paham bahasanya, travel is learning to communicate with just a
smile. It’s where broken English is welcomed with a smile instead of being
greeted by a grammar Nazi.”
Dalam dunia penerbangan, dikenal
istilah critical eleven, sebelas
menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan
pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to
any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya
karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum
berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang
tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru
menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu
dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam
berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta
tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan
itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka
mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada
sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya
merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada
karakter-karakternya, atau justru keduanya.
“We were
lucky to have each other once, I know, but maybe finally our luck has run out
after all.”
Jika beberapa bulan ke belakang dunia
perbukuan Indonesia “dijajah” oleh novel terbaru Ilana Tan, In a Blue Moon,
belakangan ini ada satu judul novel yang best
seller di toko buku-toko buku di Indonesia termasuk yang online. Novel ini berjudul Critical
Eleven. Novel yang berasal dari sebuah cerpen berjudul sama yang terdapat di kumpulan
cerpen metropop, Autumn Once More.
Tidak berlebihan kalau buku ini diklaim terjual
1.111 copy dalam 11 menit lewat pre-order
bulan juli lalu. Sampai sekarang pun masih banyak yang nyari buku ini. Versi yang
saya pegang ini saja sudah cetakan keempat, hanya dalam beberapa bulan saja.
Luar biasa!
Sebelum membahas lebih jauh bukunya, saya
patut memuji orang-orang di balik meledaknya Critical Eleven, terutama penulisnya
sendiri. Menurut saya, di balik larisnya sebuah buku, selain faktor bukunya
yang bagus, strategi pemasaran dan promosinya juga sangat berperan. Salut deh
buat penulis dan penerbitnya yang berhasil memanfaatkan jejaring sosial untuk
mempromosikan buku ini sehingga menjadi hits.
Lalu, apa istimewanya Critical Eleven yang
membuatnya begitu spesial? Buat saya sendiri ada tiga hal yang membuat saya
jatuh cinta pada buku ini.
Pertama, ide besar yang diangkat. Nggak banyak
novel bertema pernikahan yang bikin saya betah bacanya, tapi ide besar dari
buku ini (yang tidak akan saya kasih tahu apa :p) berhasil bikin saya langsung
pengin tahu lebih banyak dengan apa yang terjadi pada Anya dan Ale. Terima
kasih kepada Kak Ika Natassa, yang cuma nge-tweet
review pembaca yang nggak spoiler di aku
twitter-nya. Seriously, kalo kamu
punya rencana untuk baca buku ini, hindari baca review orang (yang spoiler) deh.
Kayaknya ada yang kurang gitu kalo kamu udah tahu duluan tentang apa Critical
Eleven sebenarnya.
Kedua, saya jatuh cinta dengan cara Kak Ika
menceritakan kisahnya. Dengan nggak fokus ke satu alur, menyebar
informasi-informasi di sepanjang chapters
dalam buku ini. Kak Ika Natassa membiarkan pembacanya sendiri merangkai kisah
hidup Anya-Ale lewat kepingan-kepingan puzzle
yang ditebar. Saya tahu kalau teknik penulisan yang digunakan Kak Ika dalam
Critical Eleven ini tidak mudah. Terutama dalam hal memilih kepingan puzzle mana yang cocok dan nyambung
untuk ditempatkan di salah satu chapter.
Eh iya, di poin ini juga termasuk bagaimana Kak Ika membuat pembaca bisa relate ke dua karakter utamanya, bahkan
walaupun mereka sendiri mungkin belum mengalami apa yang dialami oleh mereka. Pembaca
dibuat seolah-olah udah kayak kenal secara pribadi dengan Anya dan Ale.
Terakhir, endingnya. Saya suka dengan
pemilihan endingnya. Yang lebih penting adalah nggak ada kesan terburu-buru
dalam menyelesaikan konfliknya. Semuanya ditulis dengan bertahap, mengalir, smooth.
Seperti yang dibilang orang-orang, Critical
Eleven adalah karya terbaik dari Kak Ika Natassa. Saya setuju, walau belum baca
semua karyanya. Lewat Critical Eleven saya sudah memutuskan untuk meng-upgrade posisi saya dari yang cuma
pengagum, sekarang resmi menjadi penggemar Kak Ika.
MEMORABLE
QUOTES:
- “Mungkin karena itu aku suka bandara. Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya tujuan dan memang punya tujuan. Bahkan tujuan itu tercantum jelas di secarik kertas. Boarding pass.” –Hal. 6
- “Toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela.” – Hal. 13
- “Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” – Hal. 31
- “To women, how you deliver the message is sometimes more important than the message itself.” – Hal. 187
- “Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita.” – Hal. 252
- “Jika ada satu hal yang aku ketahui pasti dari sekian belas tahun hidupku sejak pertama kali mengenal cinta, hati tidak pernah mau disuruh-suruh. Hati punya aturan dan caranya sendiri.” – Hal. 308
- “Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harusnya kuat hidup untuk dia.” – Hal. 324